Cerpen
Am I Loser?
Sumber Gambar: lindamandarin.com.sg |
Oleh: Pri
"Jika
seorang siswa mempunyai suatu cita-cita dan mengupayakan segalanya untuk
mencapainya, bukankah itu hal wajar? Tapi terkadang, usaha yang mereka gunakan
tak bisa ditebak."
*----------*
Aku
Indriana Verinska, biasa dipanggil Indri. Aku seorang siswi kelas 2 sekolah
menengah atas di kota ku. Aku menjalani kehidupan sekolah dengan memperjuangkan
otak ku agar dapat mencapai tujuan sebagai siswi yang berprestasi. Memaksakan
belajar? ya, aku membombardir diriku sendiri dengan segala materi dan teori
yang diajarkan di sekolah. Tujuannya satu, aku ingin selalu menjadi yang
terbaik.
"Indri,
ke kantin yuk." ajak teman sebangku ku namanya Sella.
"hmmm."
aku hanya bergumam sembari terus mencari kalimat yang tepat untuk melengkapi
isi cerpen ku yang ditugaskan oleh guru sastra 30 menit yang lalu.
"Ndri,
oy. serius banget sih. Ayo lah emangnya kamu nggak laper?"
"Aku
nitip aja. Aku harus nyelesein tugas ini secepatnya karena nggak ada waktu
lagi."
Aku
sungguh heran, mengapa sulit sekali membuat dan memilih suatu kata yang
menyentuh.
"Yaelah,
kan dikumpulinnya minggu depan. Masih ada banyak waktu."
Sella
berusaha melihat tulisanku namun aku membatasi penglihatannya dengan sedikit
menutupi tulisanku dengan tempat pensil.
"Besok,
lusa sampai minggu depan aku harus ikut berbagai les dan olimpiade
matematika."
"Otak
kamu kan encer banget Ndri, ngapain pusing-pusing sih, emangnya sastra itu
susah buat seorang Indriana Verinska?"
Setelahnya
aku hanya menghela nafas dan aku lihat Sella memilih keluar kelas
meninggalkanku. Aku memang dikenal sebagai siswi yang sudah banyak
menyumbangkan gelar juara pada sekolahku.
"Wahh...
Bella, cerpen kamu bagus banget dan cepat lagi selesainya."
Aku
mendengar dari arah pojok depan, seorang teman sekelasku sedang memuji hasil
cerpen Bella. Namanya Tsabella Nasution, ia adalah seorang siswi yang menjadi
rival ku dan aku akui memang aku kalah darinya dalam bidang sastra.
Aku
mengepalkan tanganku erat, aku tidak bisa terus dikalahkan seperti ini. Aku
harus mempunyai cara agar aku lebih baik dari dia. Aku memang sangat ambisius
apalagi jika rival ku selalu saja mencoba menyerangku dalam diam. Hingga aku
belum pernah mengenal yang namanya 'Cinta', teralalu sibuk hingga malas untuk
mengenalnya.
*--------*
Flashback On
Hari-hariku
datar, tak ada cokelat dari kekasih, ucapan manis dan dusta dari makhluk
berjenis kelamin laki-laki. Aku tidak pernah merasakannya, namun aku terlampau
sering memnyaksikan kasus demikian. Yang kemudian membuatku malas mengenalnya.
Hingga suatu ketika, sesuatu datang padaku dengan tak terduga.
Alvin
Setiawan, laki-laki dengan pesona wajahnya yang membius siapa saja. Dia satu
dari siswa kelas sebelahku yang tidak pernah berprestasi kecuali dibidang
musik. Tiba-tiba sosoknya datang padaku saat aku bersiap pulang dan keluar dari
kelas.
"Hai," Sapanya, aku ingat betul dengan senyum
menawannya namun aku abaikan.
"Em...
Bella udah pulang belum ya?" Ia mendekati ku yang berada di ujung pintu
keluar kelas.
'Ada
hubungan apa dia dengan Bella?' batinku sembari menatap wajahnya curiga.
"Kamu
bisa lihat sendiri di dalem." Aku berjalan lurus melewatinya begitu saja.
"Eh,
Indri. Hari minggu ada waktu?"
Apa-apaan
ini, ia menahan lenganku dan bertanya demikian, langsung saja aku hempaskan
genggamannya.
"Maaf,
sibuk. Aku ada les."
"Oh
yaudah, aku cari Bella dulu."
Aku
berjalan begitu saja hingga meninggalkan jauh kelasku. 'si rival dengan lelaki
tampan disekolah, pertemuan yang bodoh. lebih bodoh lagi jika ada cinta diantaranya.'
batin ku masih memikirkan suatu yang bisa saja terjadi antara Bella dengan
Alvin.
Flashback Off
*-------*
'ting'
bunyi notifikasi ponsel ku yang kulihat pengirimnya adalah Alvin.
Aku
yang tadinya sedang fokus membuat kalimat yang tepat untuk cerpenku menjadi
sedikit teralihkan untuk melihat sejenak isinya.
"Semangat
bikin cerpennya, aku yakin kamu pasti bisa. 2 bulan lagi ada lomba cerpen
nasional, bersainglah dengan Bella di acara itu. Aku dukung kamu"
Kira-kira
itulah isi pesan yang aku terima, tentunya tanpa berniat membalasnya. Entah
bagaimana hingga Alvin mendapat nomor ponsel ku dan sudah 2 minggu terakhir ia
mengirimiku pesan-pesan bernada baik sarat dengan perhatian. Aku hanya
tersenyum tipis membacanya, apakah ia ingin mencoba meluluhkan hatiku? tidak
masuk akal, bukankah ia dekat dengan Bella.
Sepulang
sekolah, ku lihat Alvin berada di depan kelasku dengan membawa gitar nya. Aku
yang memang berniat untuk keluar berjalan santai saja. Hingga kurasakan suatu
lengan menahanku lembut.
"Indri,
aku mau ngomong sama kamu bentar aja boleh?"
"5
menit." jawabku singkat
"I-iyaa,
tapi jangan di sini, ikut aku bentar ya."
"Tersisa
4 menit 45 detik." Balasku
"I-iya
oke oke, makanya buruan." ia menarik ku agar berjalan beriringan dengan
langkah kakinya.
"Tersisa
4 menit."
"Indri,
kamu tuh bener-bener. Ini tempatnya masih jauh, masa perjalanan ke sana kamu
itung.”
"Aku
anggap semua kata yang keluar dari mulut kamu adalah waktu yang aku kasih ke
kamu buat bicara."
Dan
kulihat Alvin hanya mendengus kesal, setelahnya aku tak mendengar ocehannya
lagi mungkin takut waktu yang aku berikan habis. Diam-diam aku terkikik geli
dengan tingkahnya.
Hingga
akhirnya kita sampai disebuah tempat yang tak asing disekolahku. Ruang eskul
musik. Kita berhenti sejenak dan saling berhadapan, ruangan ini sepi hanya
berisi alat-alat musik yang berbaris dan tertata rapi.
"Waktu
kamu tinggal 3 menit 30detik." ucapku, kemudian ikatan tangan kami
terlepas, Alvin menatapku dalam, entah apa maksudnya. Ia menghirup nafas dalam
dan mengeluarkannya perlahan.
"Aku
suka sama kamu Indriana Verinska." Lengkap sudah namaku terucap fasih dari
mulutnya.
Aku
terdiam, berusaha mencerna ucapannya, apa dia gila.
"Kenapa?"
tanyaku
"Ha?,
kenapa? ya karena.. karena aku udah merhatiin kamu lama sebenernya dan aku
berusaha deketin kamu akhir-akhir ini biar aku bisa semakin deket sama
kamu."
"Alasan
klasik, menyukai seorang Indriana Verinska nggak sesederhana itu."
"Kenapa?
karena kamu terlalu tabu mengenal hal yang bernama cinta? Ayolah ndri, hidup
tanpa cinta itu-"
"Aku
hidup dengan otak ku." Aku memotong ucapannya dan ia hanya menatap tak
percaya dengan sanggahanku barusan.
"Ndri,
apa hati kamu udah mati?, aku bakal berusah buat kamu nyaman dan buat kamu
ngerasain gimana itu cinta. Aku cinta sama kamu."
Sejujurnya,
hatiku tak bisa berbohong jika memang aku mulai merasa nyaman dengan Alvin,
setiap hari mendapat perhatian darinya yang tak aku dapatkan dari kedua orang
tuaku.
Kami
terjebak dalam keheningan beberapa detik,
"Aku
pikirin lagi, aku nggak tahu sebenernya maksud kamu apa tiba-tiba ngomong gitu
ke aku."
"Kamu
masih ragu sama perasaan aku ke kamu?"
Aku
hanya terdiam, tiba-tiba aku teringat dengan masa lalu ku, aku memang tidak
pernah mendapatkan apa itu yang namanya cinta, kedua orang tuaku sibuk bekerja
dan melupakanku, mereka hanya memfasilitasiku dengan barang-barang yang
menunjang pendidikanku tanpa mengenal harganya. Namun Cinta adalah hal yang
belum pernah terasakan oleh ku.
"Kamu
mau jadi pacar aku?" sekarang dia menggenggam tanganku erat sekali,
sungguh aku tak pernah merasakan genggaman tangan yang seperti ini. Seolah-olah
tak akan membiarkanku pergi.
"Kamu
mau jawab sekarang? waktu aku tinggal 30 detik buat ngomong sama kamu."
sekali lagi, tatapannya kini yang mencoba meyakinkanku. Apakah ini adalah
keputusan yang tepat? Sungguh baru kali ini seorang Indriana Varenska merasa
bingung dan tak tahu menjawab apa, ini lebih sulit dari soal fisika dan
matematika bagiku.
"Tinggal
10 detik ndri.."
Dan
akhirnya aku mengangguk pelan
"Iya,
aku mau."
Alvin
menatapku tak percaya, dan semakin mengeratkan genggamannya padaku.
"Kamu
serius kan?" Ia mencoba untuk memastikan. Aku mengangguk sebagai
jawabannya, kali ini aku mencoba menatap tepat matanya.
"Yesssssss."
Ia melompat kegirangan dan berlarian ke penjuru ruangan musik ini tak lupa
dengan tangannya yang tak henti memainkan seluruh alat musik yang ada di
ruangan ini. Aku tertawa melihat tingkah konyolnya.
"Kamu
ketawa ndri? Ya ampun aku berhasil buat seorang Indri ketawa. Makasih ya, aku
sayang sama kamu."
*--------*
Singkatnya,
aku menjalin hubungan dengan Alvin sudah sebulan lebih, banyak hal yang berubah
dalam hidupku. Aku lebih sering tersenyum karena tingkahnya, aku menjadi orang
yang dianggap berharga, selain oleh kepala sekolah dan guruku karena aku adalah
siswi berprestasi. Namun aku merasa ada yang hilang dari diriku saat
kebahagiaan lain itu datang, aku mulai malas belajar dan banyak menghabiskan
waktu dengan Alvin, Alvin bilang ia ingin mengenalkanku dengan kehidupan sosial
yang sesungguhnya agar tak melulu berkutat dengan tumpukan buku dan keyboard
pc.
Hingga
datang sebuah surat peringatan padaku, teguran wali kelas karena nilai mata
pelajaran ku yang turun. Aku sempat sedih namun aku yakin akan kembali meraih
prestasiku karena ada Alvin yang selalu memberiku semangat.
Aku
merasa kurang enak badan hingga aku memilih untuk ke UKS dan beristirahat
sebentar sebelum satu jam lagi akan dimulai pembelajaran di kelas. Aku
berbaring pada ranjang khusus perempuan dan menutup tirai nya agar tak terlihat
oleh orang lain, namun tak lama aku melihat ada dua orang laki-laki dan
perempuan yang sedang bercakap-cakap.
"Thanks
ya Vin, berkat kamu. Si Indri itu sekarang nilai nya turun dan aku yang jadi
pemegang nilai tertinggi dikelas sekarang. Hahaha, aku salut deh sama kamu,
kamu apain sih memangnya dia?"
"Aku
cuma sering ngajak dia jalan keluar aja sampe dia mulai jarang buka buku sama
belajar hahaha."
APA!
aku kenal sekali suara dua orang itu, Bella dan Alvin, apa-apaan mereka.
Aku
berusaha menahan emosiku untuk mendengar kelanjutan obrolan mereka.
"Jadi
kapan kita pacaran resmi nya Bell? Aku udah mulai capek nih pura-pura cinta
sama Indri."
"Sampai
Indri bener-bener jatuh dan aku yang menjadi siswi berprestasi di sekolah
ini,"
Sungguh,
ingin sekali aku berkata kasar. Ternyata mereka sudah menipuku selama ini,
mengelabuhi ku dengan jebakan suatu hal yang bernama cinta, aku saja sudah
mulai jijik menyebutnya detik ini juga.
"Maaf,
obrolan kalian mengganggu anak-anak yang sedang beristirahat di UKS ini."
Aku mendatangi mereka dengan ekspresi dingin, terelebih aku menatap benci Alvin
dan kemudia menatap tajam Bella. Ingin rasanya aku musnahkan kedua makhluk ini
dari bumi.
"I-Indri.."
Alvin syok melihatku
"Ini
bukan waktu yang tepat buat Indri tahu, kita belum berhasil buat dia jatuh
sejatuh jatuh nya." Ucap Bella, sungguh perempuan licik.
"Gila
ya kalian semua."
"Indri,
aku-" Alvin mencoba untuk menjelaskan namun buru-buru aku menyela nya.
"Nggak
usah capek-capek nyari kata buat jelasin ke aku. Nggak perlu." Kemudian
aku melangkah keluar UKS dengan perasaan kecewa namun aku berusaha menutupinya.
Aku
benar-benar kecewa, aku merasa dikhianati dengan mudahnya. Nilai ku turun
karena seorang laki-laki menyebalkan seperti Alvin, tapi bodohnya aku sedang
berada di fase aku mulai mencintainya. Akhirnya, aku menangis hal yang sangat
aku benci. Menangis karena sebuah kebohongan. Bodoh... bodoh.....
Aku
tak boleh menyedihkan seperti ini, aku harus bisa membalas kebusukan Bella.
Apapun caranya. Hingga aku teringat suatu hal, lomba cerpen nasional. Aku
melihat ponsel ku, masih ada waktu satu minggu lagi untuk pengumpulan lomba
itu. Ini saat yang tepat untuk mengalahkan juara sastra tak tahu diri itu. Aku
akan mengikuti lomba cerpen dan mempermalukan si licik Bella dan membuat
menyesal seorang Alvin.
Dengan
tekad dan semangat untuk membalas perbuatan mereka berdua, akhirnya aku
mati-matian belajar sastra dan menuangkan segala emosiku pada cerpen yang aku
buat. Entah kebetulan atau bagaimana tema yang diambil adalah cinta, aku semakin
bersemangat untuk mencurhakan segala rasa kecewa sedih dan kesal ku pada cerpen
tersebut.
*--------*
Hingga
akhirnya tiba hari pengumuman pemenang lomba cerpen nasional.
Tertera
dengan jelas nama Indriana Varenska sebagai juara 1 mendapat uang tunai 5 juta
rupiah dan paket liburan gratis ke Belanda. Tapi sayang, aku tak membutuhkan
semua itu, dengan mempermalukan Bella saja aku sudah puas. Mereka pikir mudah
menjatuhkanku.
"Indri..."
Laki-laki itu datang lagi padaku, dengan seragam SMA lengkapnya dan sebuah
buket bunga tulip.
"Maaf,
untuk semuanya, tapi jujur-"
"2
menit, aku nggak mau nyia-nyiain waktu cuma buat orang pengecut kayak
kamu."
"Jujur
aku, aku merasa bersalah banget, setelah kejadian itu, aku terus mikirin kamu.
Apalagi kamu udah blok semua kontak aku dari kamu sampai aku nggak tahu gimana
keadaan kamu."
"Penting?,
semuanya udah basi."
"Tapi
Ndri, aku bener-bener sayang sama kamu, aku kacau setelah kamu bener-bener
pergi dari aku. Kita belum putus kan?"
"Kamu
udah nggak ada harga nya buat hidup aku, aku nggak butuh laki-laki kayak
kamu."
Alvin
menunduk, masih memegang erat buket bunga yang aku pun tak tahu itu untuk
siapa.
"Oke,
satu permintaan aku, Maafin aku Ndri. Aku sayang sama kamu."
Aku
hanya diam
"Ini
bunga buat kamu, selamat ya kamu berhasil menangin lomba cerpen ini. Aku bangga
sama kamu."
"Urus
aja Bella, aku maafin kamu tapi anggep kita nggak pernah kenal sama sekali. Aku
nggak butuh bunga dari kamu."
Aku
meninggalkannya begitu saja, sudah muak dengan suaranya yang menjijikan untuk
aku dengar. Penipu dan pendusta seperti itu untuk apa masih di hargai. Tanpa
cinta aku bisa hidup dengan otak ku.
0 Komentar