Hasil gambar untuk perempuan di depan cermin kartun
Sumber Gambar: IDN Times

Oleh: PF

Pernah merasa memalukan?

Duh, Aku setiap hari. Rasanya dikutuk cermin, karena setiap kali menatap, hanya ada monster yang terpantul sebagai bayangan. Uh, Aku tidak ada cantik-cantikknya sama sekali. Pinggangku tidak sempit, atau melekuk seperti biola. Pahaku selebar bantal guling, pun betis ke bawah. Bahuku juga kelihatan terlalu lebar dan menggembung, makin kelihatan lapang kalau kupakai kerudung yang menjuntai sampai siku. Apalagi wajahku. Mungkin sama putih seperti bakpau. Tapi sama gembulnya juga seperti roti yang baru selesai dipanggang. Ada titik-titik arbei mungil yang menyebar di sekitar hidung atau hamparan jidat menonjol. Gah, ditambah kacamata, rasanya sudah cukup untuk para manusia lain lebih tertarik melihat gagang plastik itu, dibanding langsung menatap wajahku, yang lebih enak dilihat dengan lensa buram kena percikan hujan.

Aku meringis.

Aku memalukan. Ya, memang. Sifatku menambah kadar memalukan jadi luar dalam. Aku bukan temanku yang tidak dandan tetap cantik. Aku ragu inner beauty itu ada. Mungkin sama bohongnya dengan mitos-mitos Yunani soal kuda terbang berkepala singa. Nyatanya, yang punya inner beauty ya tetap saja yang cantik atau manis dulu wajahnya. Mungkin dikatakan tidak punya inner beauty itu adalah ketika ada orang cantik tapi sifatnya ketus dan jutek. Baru Aku percaya. Sisanya, kalau wajahnya pas-pasan, apalagi seperti Aku, inner beauty itu tidak berlaku. Sama layaknya seperti para model. Mungkin cantik itu relatif, mungkin Mereka punya ciri khas masing-masing yang disukai para desainer baju. Namun tetap saja, untuk jadi seorang model yang diterima industri, sudah pasti ada STANDAR-nya. Makannya, kecantikan dari dalam itu ya harus cantik dulu di luar.

Eh, sampe mana tadi.

Oh, ya sifatku. Sama memalukannya dengan rupaku, mungkin? Kali ini Aku tidak bisa menghindar. Sial. Kadang Aku sangat kesal pada Tuhan yang menciptakan bahwa fitrah manusia itu adalah sosial. Aku pernah mencoba, sejujurnya. Mencoba melupakan rupaku sejenak. Menguatkan diri bahwa seorang monster sepertikupun harus bergaul dengan para peri dengan kerlap-kerlip warna-warni di mata dan pipi. Lalu yang kudapat apa? Mungkin karena Aku sok bisa bergaul, Aku malah kena sial. Ah, agaknya definisi sosial Kita itu berbeda ya. Aku seperti emmm, apa ya. Kaku. Sebatang pohon kayu tua yang Cuma bisa mematung, atau sekedar tempat berteduh peri-peri dengan baju berenda yang manis, yang tentu saja tak akan muat di tubuhku, hhh.

Saat Mereka mulai cerita-cerita soal cerita di layar lebar misalnya, Aku diam saja. Saat mereka bincang-bincang soal gaya juga, aku masih sama. Atau ketika Mereka cakap-cakap soal kumbang-kumbang yang mengejar Mereka, Aku mau tenggelam saja di tanah. Huhuuu. Ada di sekitar mereka membuatku makin sadar kalau Aku ini memalukan. Tak tahu apa-apa, tak paham apa-apa, tak bisa apa-apa. Aku ini buat apa sebenarnya?

Memalukan. Rasanya mau pergi saja.

Tidak ada yang bagus dariku. Aku kacau. Tapi Aku juga makhluk hidup yang membutuhkan sesuatu seperti aktualisasi diri. Atau mungkin sebuah pengakuan. Makanya Aku ikut kompetisi. Lomba yang tak perlu ada wajahku sebagai syarat utama. Aku bukannya berharap lolos, tapi Aku mau bukti bahwa sebenarnya, Aku punya sesuatu yang bisa kulakukan disini.

Mungkin kasusku tidak seberat orang lain yang punya mental illnes. Sakit mental, kecemasan berlebihan, dan lain sebagainya. Tapi Kau tahu, Kau tidak bisa sembarangan berkata ‘ini mudah. Masa gitu aja ga bisa,’ pada siapapun. Ingat. Aku tidak sekuat kalian yang punya gangguan pada jiwa. Dan kalianpun belum tentu sekuat Aku yang tidak bisa menerima diriku sendiri apa adanya. Kita sama disini. Sama-sama punya masalah yang orang lain kadang tidak mengerti. Masalah yang sebenarnya, hanya Kita sendiri yang bisa menemukan solusi.

Tapi Aku mau keluar. Aku mau berhenti berpikir bahwa diriku memalukan. Makanya, Aku harus melawan.

Aku ikut kompetisi. Lalu...
Aku lolos.

Dengan segala hal memalukan yang Aku punya dari ujung ubun-ubun sampai ujung kuku kaki.
Rasanya Aku mau banting gawai-ku saat itu. Memaki. Mengumpat siapa saja yang membuat si makhluk memalukan ini lolos. AAAAAAAAAAA. Aku mau teriak! AAAAAAAA-cukup. Hei, hei! Kalian lihat? Kalian lihat?? Bahkan makhluk memalukan sepertikupun lolos! Bukannya Aku mau bilang kalau kompetisi ini panitianya buta, atau kompetisi untuk orang memalukan. Kau tahu, orang sepertiku tak pernah menyalahkan keadaan. Porsi yang paling besar, selalu, selalu dan tentu saja, menyalahkan diri sendiri. Makanya saat Kutahu si memalukan ini bisa lolos kompetisi...

AAAAAAAAA!
Bahagia! Senang! Takut juga...

Takut? Ya. Tentu saja! Artinya, Aku harus maju dengan diriku yang memalukan ini kan???
AAAAAAAAA!

Tidak ada tempat untuk orang memalukan sepertiku! Tapi kenapa Aku terus melaju? Duh, Aku tidak habis pikir. Mungkin saja... Semesta sedang berkonspirasi membuat diriku semakin memalukan. Memebuat jalan cerita tragis agar si memalukan mati dalam keadaan memalukan. Atau jadi gila karena  di akhir cerita, Aku dibuat sadar bahwa Aku memang the number one memalukan in the world. Yang mana? Yang mana? Aduhh aku tidak siap... huhu.

Rasanya jadi mau menangis.

Tapi bagaimana ini? Si memalukan yang sedang merangkak, haruskah mundur lagi?
Rasanya mau menyepi di gunung berapi. Huhu, menangis sendiri di bawah sinar bulan, barangkali kebagian cantiknya dewi purnama supaya Aku berani, lebih percaya diri. Sayangnya dongeng-dongeng itu sungguh hanya manis di mulut. Cerita cinderella yang jadi cantik karena ibu peri juga bohong, memang dasarnya aja cinderella cantik. Power of make up. Apalagi.. mana ada ibu peri?
Intinya... Aku tidak bisa lari. Kecuali ada tsunami. Apa sih.

Sampe mana tadi? Ah, ya. Aku tidak bisa lari.

Aku harus ganti kacamata. Menatap jalan yang terbentang tak lurus mulus seperti jalan tol becakayu tempatku biasa lewat. Jalan berliku. Parahnya, penuh cermin yang mengingatkan bahwa setiap centi fisikku, maupun rohaniku adalah bentuk memalukan.

Bentuk busuk menjijikan yang lahir dari nol-nya rasa Syukur kepada Tuhan.

Dunia harus dibalik. Bukan dunia secara bulatan planet, Aku tak berniat mempercepat kiamat, lagipula Aku tidak akan kuat. Dunia itu ada di dalam kepalaku. Dibalik tempurung tengkorak yang rapuh. Penuh sulur-sulur syaraf abu yang menyambung terus sampai ke qalbu. Tidak tahu bagaimana implus-implus listrik itu berloncatan kesana kemari. Pokoknya, harus dibalik.

Negatif menjadi Positif.
Coba buat jadi sederhana.

Mungkin saja.. mungkin saja diriku yang bisa lolos ini bukan karena Aku memalukan. Melainkan.. melainkan titik awal.. bahwa Aku sudah bukan makhluk memalukan... (Bahkan tidak pernah diciptakan memalukan)... Kalaupun.. kalaupun Aku memang maju karena Aku memalukan... Berarti ini memang diriku. Aku bisa maju. Dan itu sama sekali tidak memalukan. Karena sebenarnya.. yang memalukan itu bukan fisik. Tapi mental ingin kabur.

Jadi, kalapun nanti Mereka mentertawakan kompetisiku itu karena terdengar seperti lelucon yang memalukan, Aku tinggal ikut tertawa saja. Lalu menjawab,

“Bukannya berarti Kita ini sama memalukan? Kita lolos di kompetisi yang sama. Meski masih panjang jalannya, setidaknya dititik ini, derajat Kita sama, bukan? Dengan kata lain, kalau Aku yang memalukan ini bisa sejajar berdiri dengan Kalian,

Berarti Kita sama-sama memalukan!

Level Kita sama. Seberbeda apapun bahan obrolan, jasmani, apapun. Kalau Kau sudah bisa berdiri di antara mereka, berarti Tuhan sudah memberi tahu bahwa tingkat Kita dan sekitar Kita adalah sama. Jangan merasa rendah! Kubenamkan dalam-dalam di kepalaku.

Aku disini, artinya Aku tidak memalukan!
Atau kalau memang Aku memalukan, berarti Kita sama-sama memalukan! Kenapa? Karena Kita sama-sama ada disini!

Tertawa! Tertawalah! Karena memalukan yang sesungguhnya itu adalah ketika Kau tak bisa membaca nikmat Tuhan! Jangan lagi merasa memalukan meski rasa itu tak bisa hilang begitu saja. Kalau memang rasa itu sesekali datang lagi, katakan saja,

‘Aku memang memalukan! Tapi dunia ada disini bersamaku!’

Dari yang kurang bersyukur
Jakarta, 5 Mei 19

0 Komentar