Cerpen
AZALEA

Sumber Gambar: Home Depot
Oleh:Aulia Seftiari
Namaku
Azalea, hanya Azalea tak lebih. Sebuah nama yang diberikan Ibuku 26 tahun yang
lalu. Saat bunga azalea bermekaran di sebuah desa di Jepang. Itulah mengapa aku
diberi nama Azalea, dengan harapan aku bisa tumbuh menjadi seorang perempuan
yang memiliki kecantikan, kelembutan serta tangguh seperti bunga azalea yang
tumbuh diatas semak yang rimbun.
Meskipun
aku dilahirkan di negeri yang indah, aku sama sekali tak bahagia. Semua
kenangan buruk berawal dari sana. Ibuku menikah dengan pria berkebangsaan
Jepang saat itu, ya dia adalah ayahku. Yang telah pergi meninggalkan kami saat
kepindahan kami ke Indonesia. Ia hanya berkata bahwa ada tugas yang harus ia
kerjakan di Jepang. Sejak saat itu ia telah pergi meninggalkan kami tanpa
kabar.
Begitu
berat kehidupan yang aku jalani, sampai aku lupa apa itu bahagia. Orang-orang
berkata bahwa besok adalah hari bahagiaku, namun aku? Aku masih belum
merasakannya. Di sinilah aku, dengan pena dan buku diary kecilku, di bawah
cahaya bulan yang mulai meredup. Cerita ini harus usai, sebelum matahari
kembali terbit.
***
Gerimis
kembali menghiasi jalan, setelah tadi siang diikuti hujan lebat, sore ini hanya
gerimis yang tersisa. Hari ini tepat hari ulangtahunku yang ke-19 tahun, namun
tak ada yang spesial bagiku, selain lelaki itu. Aku membuka buku novelku,
berusaha mencari kesibukan di sela-sela menunggu. Di tempat inilah aku terduduk
sejak satu jam yang lalu, menunggu seseorang yang telah berjanji akan tiba
setengah jam yang lalu. Namun ia masih belum tiba. Setidaknya Ibu penjaga
perpustakaan tidak marah aku berlama-lama di sini.
"Azalea!
Maaf aku terlambat"
Aku
menoleh ke arah sumber suara. Sontak saja aku segera menutup mulutku terkejut.
Saat ini lelaki yang aku tunggu sudah tiba dengan pakaian yang basah terkena
air hujan. Namun bukan itu yang membuatku terkejut, melainkan karena Ibu
penjaga perpustakaan sudah berdiri tegak di belakang Axel, lelaki yang ku
tunggu. Seakan siap kapan saja untuk mengusirnya dari perpustakaan.
"Di
halte ujung jalan hujan lebat, maafkan aku. Aku sudah berusaha berlari namun
aku masih terlambat" Axel menunduk, ia sangat menyesal karena terlambat.
Aku masih tak bisa bicara apa-apa.
"Azalea,
kamu marah?" Kali ini Axel menatapku berusaha menyadarkan aku yang sedari
tadi melamun menatap seseorang di belakang Axel.
"Axel"
Ucapku pelan, memberi kode agar Axel menengok ke belakang. Namun semua
terlambat.
"Silakan
keluar! Kalian membawa keributan di sini. Terutama kamu! Pakaian basah
berani-beraninya masuk ruangan ini!"
Axel
dan aku saling tatap, kami segera pergi meninggalkan perpustakaan. Ruangan itu
menjadi horor seketika.
"Dasar
Ibu perpus, baru segitu aja udah marah!" Celetuk Axel. Aku tersenyum
sebentar menahan tawa. Ia cukup mengenaskan dengan rambut hingga ujung sepatu
yang basah kuyup, belum lagi ia harus menerima amarah dari Ibu perpustakaan.
Cukup sudah penderitaannya.
"Kok
kamu malah ketawa sih?" Axel menatapku cukup jengkel karena aku malah
mentertawakannya.
"Tapi
gak apa-apa deh, yang penting kamu gak marah lagi" Kali ini tawaku semakin
menjadi, Axel memasang senyuman anehnya, menunjukan setiap baris giginya yang
rata. Ya senyuman itu adalah senyuman yang aku suka darinya sebelum senyuman
itu hilang dan aku amat merindukannya.
"Kamu
pulang aja, aku gak tega lihat tampang kamu yang mengenaskan seperti itu"
Ucapku pelan.
Axel
mengacak-acak rambutku, ia kembali tersenyum. "Gak apa-apa, lagi pula ada
hal penting yang ingin aku katakan" Ucapnya.
"Apa?"
Aku menoleh ke arahnya, ia hanya tersenyum dan lanjut berjalan "Nanti
saja".
Aku
mempercepat langkahku menyamakan langkah dengan Axel, entah ia akan pergi
kemana, aku merasa ia akan mengucapkan hal yang penting, sangat penting yang
menjadi awal mula rasa sakit ini.
Di
sinilah kami, di bawah pohon linden menatap kosong gerimis yang sesekali
menerpa wajah. Axel memberikanku minuman hangat yang ia beli di toko seberang jalan.
Banyak ruko-ruko dan kendaraan yang berlalu lalang, namun di taman kosong ini
semua terasa sepi. Di bawah pohon linden, tempat pertama aku dan Axel bertemu 6
tahun lalu. Awal dari munculnya harapan yang mampu menerpa kenangan burukku.
"Kau
mau bilang apa?" Tanyaku. Axel menoleh, ia kembali tersenyum menatapku
yang sedang mencoba menghangatkan telapak tangan.
"Pakailah,
ini sudah kering kok" Axel melepas jaketnya, memberikannya kepadaku. Aku
enggan menerimanya, bagaimana mungkin aku harus menerima jaket itu sedangkan
Axel sendiri kedinginan. Namun Axel sudah terlanjur meletakan jaket itu di
punggungku, mau tak mau aku pun memakainya.
"Aku
akan pergi"
"Kemana?!"
Tanyaku kaget. Tak biasanya Axel mengatakan ia akan pergi, dan tak biasanya
pula ia berkata seakan izin kepadaku. Mungkinkah Axel akan pergi jauh?
Meninggalkanku dan perasaan aneh ini?
"Keluargaku
akan pindah ke Jepang. Mau tak mau aku harus ikut" Jawabnya seolah
meyakinkan bahwa aku harus kuat tanpanya.
"Apa
kau akan kembali?" Tanyaku bergetar, berusaha menahan genangan air mata
agar tidak terjatuh.
"Aku
akan kembali, menemuimu dan membawakan bunga azalea. Bukankah kau sangat
menyukai bunga itu? Persahabatan kita tak akan berakhir, tenang saja. Akan ku
sempatkan mengunjungimu" Ucapnya kembali meyakinkan. Begitulah ia
menganggapku, seorang gadis kecil yang sedang menangis di bawah pohon linden 6
tahun lalu, awal mula persahabatan kami di mulai. Dan juga awal mula aku
mengerti apa itu cinta setelah bertemu dengannya dan menjalani hari bersama.
Tetesan
air hujan mulai berjatuhan, membuat daun lebat pohon linden tak mampu
menahannya. Air mataku lolos begitu saja, bersama derasnya air hujan. Aku tak
berani menatap Axel, bagaimana bisa aku menatapnya dalam keadaan terisak
seperti ini. Meskipun air hujan mampu menutupi air mataku, namun tidak bagi
hatiku. Hatiku seakan hilang sebagian.
***
Hujan
deras kembali menyelimuti kota, udara terasa dingin membuat jendela kamarku
tampak berembun. Aku menatap kosong jalan di luar sana. Kendaraan berlalu
lalang di antara hujan deras, membuat cipratan air amat terlihat. Ruko-ruko
pinggir jalan pun mulai di penuhi pengendara motor yang berteduh, membuat
orang-orang merasa enggan untuk keluar rumah.
Dua
minggu semenjak kepergian Axel, tak banyak kegiatan yang bisa aku lakukan.
Sekadar untuk melupakannya sering kali aku mencari kesibukan dengan membaca
buku, menulis puisi atau bahkan membantu Ibu penjaga perpustakaan merapikan
buku. Meskipun yang lebih sering aku lakukan adalah berdiam diri, mengingat
semua kenangan aku dengannya. Terutama saat hujan seperti ini, kenangan itu
terasa amat menyakitkan saat ku ingat Axel meninggalkanku tepat saat hujan
turun.
"Tunggu
aku, Azalea" Kalimat itu terus berputar dalam ingatanku. Kalimat terakhir
yang diucapkan Axel. Begitu sulit bagiku untuk mengerti apa arti kalimat itu.
Axel ingin aku menunggunya? Bukankah kami hanya bersahabat sejak 6 tahun yang
lalu? Aku tak ingin terlalu berharap, kehadiranmu akan selalu ku tunggu, meski
kau hanya hadir sebagai seorang sahabat. Itu sangat berarti bagiku.
Axel,
kau sedang apa? Aku sedang menatap turunnya hujan. Mengingat betapa sulit
merelakan kepergianmu, aku mulai merindukanmu. Tak bisakah kau kembali
sekarang?
***
Aku
menggenggam erat ponselku, mengetik sebuah nomor yang akan aku hubungi. Namun
lagi-lagi aku tak memiliki keberanian untuk melakukannya. Apa aku harus
menghubunginya lebih dulu? Berkata bahwa aku merindukannya? Ah tidak. Ia pasti
sibuk dengan kehidupan barunya. Aku tak ingin mengusiknya.
Tapi
kenapa kau memintaku menunggumu? Sejak satu tahun kepergianmu, aku masih
menunggumu. Kau tenang saja, perasaan ini akan ku kubur perlahan. Persahabatan
kita tak boleh hancur hanya karena diriku.
"Azalea,
tolong periksa buku di rak kedua! Apa sudah lengkap? Huh, anak-anak itu selalu
merepotkanku. Meminjam buku tapi lama mengembalikannya" Gerutu Ibu
perpustakaan. Aku segera melakukannya. Memeriksa buku di rak kedua, bagian buku
cerita.
Semua
buku terlihat rapi sejajar. Aku tersenyum menahan tawa, di kembalikan atau
tidak, Ibu perpustakaan akan tetap marah-marah. Mungkin saja Ibu perpustakaan
lupa bahwa anak-anak itu sudah mengembalikan bukunya. Atau barangkali anak-anak
itu sengaja mengembalikan buku secara diam-diam karena takut melihat Ibu
perpustakaan. Ada-ada saja. Tapi setidaknya membantu Ibu perpustakaan sedikit
banyak membantuku mengalihkan pikiran tentang Axel.
Ruang
perpustakaan mulai lengang, hari sudah semakin sore. Ibu perpustakaan bersiap
untuk segera pulang. Ia berpamitan denganku dan memberikan kunci perpustakaan kepadaku.
Selain membantunya, aku juga sudah dianggap sebagai orang kepercayaannya.
Rumahku tak jauh dari perpustakaan ini. Perpustakaan kecil yang berada di
pinggir kota. Oleh sebab itu, Ibu perpustakaan mempercayaiku untuk membuka
perpustakaan lebih awal.
Lagi-lagi
tanganku kembali mengetik nomor itu. Apakah aku harus menghubunginya kali ini?
Setidaknya akan membuat rasa rinduku berkurang. Tapi apa ia juga rindu
kepadaku? Ia sudah berjanji akan menghubungiku, memberikan kabar mengenai kehidupan
barunya. Tapi sejak satu tahun kepergiaannya, ia belum menghubungiku sama
sekali. Memberi pesan pun tidak. Aku segera melempar ponselku ke sembarang
arah, berharap dapat membuang perasaan rindu ini jauh-jauh.
Axel,
kau sedang apa? Aku sedang di ruang perpustakaan menunggumu. Tak bisakah kau
memberiku kabar? Agar rindu ini bisa sedikit terobati.
***
Lima tahun berlalu, aku memilih menutup perpustakaan lebih awal. Suasana hatiku
memang tak sebaik hari-hari kemarin. Semakin aku berusaha mengakhiri perasaan
ini, semakin dalam pula perasaan ini kepadanya, mengakar dan semakin sulit ku
cabut. Aku memilih untuk mengunjungi pohon linden. Pohon besar itu sudah
semakin tua saat ini. Namun Axel masih tak kunjung kembali. Mengenang setiap
rinci kejadian, mungkin akan membuat perasaanku lebih baik.
Sore
ini langit terlihat cerah, jalan tak seramai biasanya dan tak banyak pula
anak-anak bermain di taman ini. Cocok bagiku untuk bisa berlama-lama di tempat
ini. Aku menyandarkan punggungku ke pohon besar itu. Menatap betapa kokoh dan
rimbun daunnya meskipun sudah puluhan tahun tumbuh. Bunga-bunga kecil tampak
berterbangan di tempat ini. Dan.. Astaga! Itu bukan bunga yang biasa. Itu bunga
azalea! Mungkinkah? Axel!
Aku
segera mencari darimana bunga itu berasal. Tak seorang pun aku lihat membawa
bunga itu. Hatiku terasa tercekat. Ada perasaan bingung sekaligus bahagia di
sana. Mungkinkah Axel berada di tempat ini?
"Kau
mencari bunga ini?"
Sontak
aku membalikan tubuhku, melihat siapa seseorang yang berada di belakangku.
Seseorang yang membawa bunga itu. Suara berat yang tak ku kenal. Dia bukan
Axel.
"Sudah
ku tebak. Kau pasti menyukai bunga ini. Azalea pecinta bunga azalea" Orang
itu tertawa pelan. Aku menunduk, mendengus kesal. Harapan itu seakan musnah
begitu saja. Harapan Axel kembali.
"Hei!
Azalea, perkenalkan namaku Zearon. Aku sering memperhatikanmu di perpustakaan
yang berada di pinggir kota ini" Orang itu kembali berbicara padaku. Aku
tak menjawab, segera berjalan menjauh darinya. Lagi pula siapa yang menanyakan
namanya. Aneh!
"Kau
mau kemana? Hei! Aku bertanya padamu! Kau mengabaikan aku?"
Terdengar
suara itu semakin berteriak memanggil namaku. Aku tak peduli. Ia merusak
suasana hatiku. Lebih tepatnya aku yang terlalu berharap, hingga tak mau diusik
oleh siapapun. Gerimis turun seketika, bersamaan dengan air mataku yang entah
lolos sejak kapan.
***
Hari
ini suasana hatiku semakin memburuk. Aku memilih berdiam diri di rumah. Setelah
tadi pagi aku membuka pintu perpustakaan dan menyerahkan kunci itu kepada Ibu
perpustakaan. Aku tak ingin diganggu oleh siapapun.
"Azalea!
Ada temanmu di depan!"
Ibuku
berteriak memanggilku. Aku menoleh sekilas, enggan membuka pintu kamarku. Lagi
pula teman yang mana? Aku tak punya teman. Temanku hanya Axel, walaupun aku
mengharapkan lebih dari teman. Tapi tunggu dulu, mungkin saja Axel sudah
kembali. Aku segera berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan cepat. Dan
lihat! Lagi-lagi dia bukan Axel. Orang yang kemarin. Darimana ia tahu rumahku?
"Azalea,
ini untukmu" Orang itu menyerahkan buket bunga azalea berwarna merah muda.
Darimana ia tahu bunga azalea merah muda adalah bunga kesukaanku?
"Aku
menyukaimu"
Mataku
membelalak sempurna. Apa tadi dia bilang? Suka? Secepat dan semudah itukah
mengatakannya? Lagi pula siapa dia aku tak mengenalnya. Aku saja ingin
mengatakan suka kepada Axel terasa begitu berat. Namun ia? Seenaknya berbicara
seperti itu. Tidak wajar!
"Pulanglah.
Aku tak ingin diganggu. Aku tak mau ada orang asing ke rumahku" Ucapku
pelan, berusaha sesopan mungkin mengatakannya. Bukan karena tersentuh karena
bunga itu, melainkan tak enak jika aku memaki dirinya di rumah ini. Terlebih
ada ibuku.
"Oh
iya, mungkin kau lupa namaku. Perkenalkan namaku Zearon" Ia mengulurkan
tangannya, aku enggan menjabat tangannya.
"Aku
bilang pulanglah"
Kali
ini mata ia yang membelalak sempurna. Ia tercengang, namun seketika ia kembali
tersenyum.
"Aku
akan kembali besok. Menunggu jawabanmu"
Aku
tak peduli, membiarkan punggung tubuhnya semakin menjauh. Kembali atau tidak
kembali. Aku tak akan menerimanya. Hatiku hanya untuk Axel! Bukan orang lain!
***
Benar
saja, orang itu kembali. Kali ini ia menemuiku di perpustakaan. Ia berjalan
seirama dengan Ibu perpustakaan. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak
peduli.
"Azalea,
perkenalkan ini Zearon" Kali ini Ibu perpustakaan yang memperkenalkan
orang itu. Aku menatapnya sekilas. Memberi pandangan tak suka.
"Kami
sudah saling kenal, Bu" Ucapnya semringah. Ibu perpustakaan tersenyum
lebar.
"Baguslah
kalau begitu. Oh iya Azalea, Zearon ini anak dari Pak Fatah. Ia yang akan
mengurus perpustakaan ini. Maksudku, ia adalah donatur perpustakaan ini. Bukan
hanya perpustakaan ini, tapi perpustakaan lainnya di kota ini" Ibu
perpustakaan menjelaskan panjang lebar. Aku hanya diam menunduk.
"Baiklah
Zearon, silakan kau lihat-lihat perpustakaan ini. Barangkali kau ingin
menambahkan beberapa rak buku di perpustakaan ini" Ibu perpustakaan
terkekeh pelan. Ia mengedipkan mata ke arahku. Haruskah aku menghormati lelaki
itu?
"Azalea,
bagaimana jawabanmu? Apa kau mau menjadi kekasihku?"
Lagi-lagi
mataku membelalak sempurna. Kemarin ia hanya berkata bahwa ia menyukaiku, dan
sekarang ia ingin aku menjadi kekasihnya? Hei, kau pikir aku ini apa.
"Aku
tidak mau" Jawabku ketus. Meskipun ia donatur perpustakaan ini, bukan
berarti aku harus menerimanya. Lagi pula aku hanya membantu Ibu perpustakaan
saja di sini, sekaligus mengenang kenanganku dengan Axel.
Lelaki
itu tertawa.
"Baiklah-baiklah,
mungkin terlalu cepat. Aku akan tetap menunggumu" Ucapnya santai.
Ia
berjalan menjauh dariku setelah meletakan buket bunga Azalea di tanganku.
"Zearon
kau mau kemana?" Ucap Ibu perpustakaan.
"Besok
akan aku bawakan 2 rak buku beserta buku-bukunya. Agar perpustakaan ini semakin
ramai" Ucap lelaki itu semakin menjauh.
Ibu
perpustakaan amat semringah, begitupun dengan anak-anak yang sedang membaca
buku di perpustakaan. Namun tidak bagiku. Musykil. Itu berarti aku akan kembali
melihatnya besok.
***
Hari-hari
berlalu begitu cepat. Selama 2 tahun ini, lelaki itu selalu mengejarku.
Menungguku untuk menjawab pertanyaan yang sama. Meskipun aku sudah berulang
kali berkata "Tidak", sepertinya itu tidak berpengaruh apapun
untuknya, ia tetap mengejarku. Selama 2 tahun ini pula, lelaki itu selalu
memberikanku bunga azalea. Meskipun selalu ku buang, ia akan menggantinya
dengan buket bunga azalea yang baru. Entah darimana ia selalu mendapatkan bunga
itu, aku tak peduli.
Sudah
7 tahun aku menunggu Axel, menutup hati untuk selalu setia kepada Axel.
Meskipun Axel tak mengetahui perasaanku. Namun yang ku tunggu tak kunjung
datang, melainkan lelaki menyebalkan itu yang selalu tiba! Hatiku tercekat. Air
mataku kembali mengalir.
"Jadi
begini, kedatangan saya hanya ingin meyakini Azalea dan Ibu. Saya sudah lama
mencintai Azalea. Tolong izinkan saya untuk tetap mencintainya" Ucap
lelaki itu sembari menggenggam tangan ibuku. Apalagi yang akan ia lakukan.
Berlogika di atas logika? Aku tak melarang ia mencintaiku. Hanya saja aku
melarang hati ini untuk terbuka menerima hati yang baru, setelah 7 tahun lalu
sepotong hatiku pergi jauh.
"Pulanglah"
Ucapku lirih. Ibuku menatapku, seakan berkata bahwa mengusir seorang tamu
adalah hal yang tak sopan.
"Baiklah.
Aku akan tetap menunggumu, Azalea" Lelaki itu tersenyum, senyuman yang
tulus, aku dapat merasakannya. Ia pergi begitu saja setelah berpamitan dan
mencium tangan ibuku. Apakah aku terlalu jahat?
"Tunggu,
Azalea" Ibuku meraih tanganku saat aku hendak bangun dari kursi. Aku
menoleh kepadanya, tatapannya memintaku untuk tetap duduk.
"Zearon
begitu baik, kau tidak bisa memperlakukannya seperti itu" Ucap ibuku,
dengan suara yang amat lembut.
"Aku
hanya tidak mau memberinya harapan, Bu" Ucapku lirih. Mataku mulai
berkaca-kaca.
"Kenapa?
Apa karena kau masih mengharapkan lelaki itu?" Ibuku berkata lantang. Aku
cukup terkejut mendengarnya. Darimana ibuku tahu bahwa aku masih mengharapkan
Axel?
"Sudahlah
Azalea. Lupakan Axel. Bahkan lelaki itu pun tak tahu bagaimana perasaanmu
terhadapnya. Jangan biarkan waktumu tersita hanya untuk menunggunya"
Lanjut ibuku.
"Bukankah
Ibu juga sama sepertiku? Menunggu Otousan(Ayah) dan berlarut-larut dalam
kesedihan" Ucapku lantang, air mataku mulai mengalir. Ku tatap wajah Ibuku
sekilas, matanya mulai berkaca-kaca.
"Azalea,
sejatinya cinta adalah kepastian. Bukan menunggu hal yang tak pasti. Boleh jadi
yang kau tunggu itu adalah hal yang pasti bagimu, namun pada kenyataannya
tidak. Hanyalah hal yang semu yang hanya dapat menghambat hidupmu. Seperti Otousan,
yang telah menghambat hidup kita. Ibu sudah tak mengharapkannya, Nak. Jika
memang ia mencintai kita, ia akan kembali. Namun nyatanya ia tak kunjung
kembali, memberi kabar pun tidak" Ibuku menyeka ujung matanya. Hatiku amat
tercekat. Aku memeluk ibuku erat. Karenanya aku bisa hidup hingga saat ini.
Perjuangan seorang ibu yang sangat luar biasa.
"Telepon
dia, Azalea. Kau tak bisa terus menerus menunggunya. Jika ia memang tak kunjung
memberimu kabar" Ibuku melepas pelukanku, menyerahkan ponsel miliknya.
Tanganku
gemetar mengetik nomor Axel. Sudah 7 tahun aku tak berani menghubunginya. Dan
saat ini aku harus bisa melakukannya. Ibuku benar, aku tak bisa terus berlarut
dalam hal seperti ini. Aku mulai meneleponnya. Menunggunya mengangkat
teleponku.
"Bagaimana?"
Tanya ibuku penasaran. Aku memeluknya erat. Nomor Axel tak dapat dihubungi.
Padahal hanya nomor itu satu-satunya harapanku.
"Waktu
akan membantumu melewati ini, kamu harus bisa" Ibuku membalas pelukanku.
Ia berusaha menenangkanku.
"Kejarlah
ia, sebelum ia pergi seperti Axel" Aku menatap lamat-lamat wajah ibuku.
"Temui
Zearon besok, berilah ia kepastian yang amat pasti. Jika memang kau tak
menyukainya, mintalah ia untuk menjauhimu dengan ucapan dan hati yang lantang.
Jika kau ingin menerimanya, terimalah dengan hati yang tulus. Jangan biarkan ia
seperti kita. Menunggu hal yang tak pasti" Ibuku kembali menasihatiku. Aku
mengangguk mantap.
***
Siang
ini aku hanya duduk di perpustakaan, menatap anak-anak yang sedang asyik
membaca buku, sesekali anak-anak itu berebut untuk membaca buku yang sama.
Namun keributan itu dapat mereka selesaikan dengan baik. Aku tersenyum
menatapnya, masa kanak-kanak adalah masa yang indah, meskipun masa-masa itu
adalah masa yang amat sulit aku jalani, aku harus mengikhlaskannya.
Sudah
pukul 2, lelaki itu tak kunjung datang. Biasanya ia selalu datang pukul 9,
mengusikku dengan tatapannya yang tiada henti menatapku. Namun kali ini batang
hidungnya pun tak terlihat.
"Mungkin
aku terlambat" Gumamku pelan.
Aku
berpamitan pulang lebih awal kepada Ibu perpustakaan. Lebih tepatnya bukan
pulang, melainkan aku ingin mengunjungi pohon linden, pohon besar yang telah
mempertemukan aku dengan kedua lelaki itu.
Langit
terlihat mendung, aku tak peduli jika hujan turun. Aku bisa bebas menangis
dalam hujan. Aku memilih bersandar kepada pohon itu, pohon yang amat ku suka.
Tak lama aku bersandar, rintik hujan mulai turun membasahi taman dan seisi
kota. Aku menutup mataku, merasakan hujan yang amat tulus turun ke bumi. Dan..
Kenapa hujannya berhenti?
"Menangislah
sesukamu, jangan jadi pengecut yang hanya bisa menutupi air mata dalam hujan"
Aku
mendongak, menatap seseorang dengan payung merah miliknya, ia melindungiku dari
hujan. Seketika sebuah senyum mengembang di wajahku. Entahlah, aku segera
memeluk orang itu.
"Hei,
kau kenapa? Kau mulai menyukaiku?" Ucapnya dengan logika ajaibnya.
"Jangan
tinggalkan aku" Ucapku pelan.
Ia
menyeka ujung mataku dengan jarinya. Tersenyum menatap wajahku.
"Aku
tak akan pernah meninggalkanmu, Azalea"
Hujan
kali ini terasa begitu indah, aku kembali memeluknya dengan ketulusan. Ya, aku
mulai menyukainya. Aku tak mau ia pergi dalam hidupku seperti lelaki itu.
Lelaki yang berjanji akan kembali, namun nyatanya tidak.
***
Inilah
aku, Azalea. Setelah semalaman aku menulis dalam diary, membiarkan diary ini
penuh oleh kenangan pahitku. Aku menguburnya, mengubur diary itu dalam-dalam di
bawah pohon linden.
Hari
ini adalah hari bahagiaku, begitu pula lelaki yang berada di sampingku. Dengan
busana pengantin yang senada, kami melangkah keluar ruangan, menyambut para
tamu yang hadir dalam acara pernikahan kami. Aku meminta Zearon untuk merayakan
resepsi dengan sederhana, di taman pohon linden dengan bunga azalea yang
bertaburan.
"Azalea,
ada temanmu di sana. Ia menunggumu. Kenapa kau tidak bilang bahwa kau punya
teman dari Jepang" Zearon menatapku, ia tetap tersenyum.
"A-apa?
Je-Jepang?"
"Temuilah"
Lanjut Zearon. Aku mengangguk.
Kakiku
amat berat untuk melangkah. Dan kini langkahku terhenti tak jauh darinya.
Musykil untuk melanjutkan. Lihatlah, lelaki berjaket merah itu terdiam tepat di
bawah pohon linden dengan menggenggam sebuah buket bunga azalea berwarna
kuning, tanda persahabatan. Ia tersenyum ke arahku, melangkah mendekatiku.
"Kau
amat cantik, Azalea. Maaf aku baru bisa menemuimu. Rupanya aku datang di waktu
yang tepat" Lelaki itu tersenyum dengan tawa yang tampak dipaksakan.
"Ini
untukmu, aku sudah menepati janjiku. Menemuimu dengan sebuket bunga
azalea" Ucapnya lagi. Mataku mulai berkaca-kaca. Lelaki yang ku tunggu
selama 7 tahun kini sudah berada di depanku, berkata santai seolah tak terjadi
apa-apa.
"Maaf
aku terlambat. Jadilah Azalea yang baik, periang dan penuh semangat. Selamat
tinggal"
Hatiku
seakan amat tertusuk. Ucapan selamat tinggal kembali ia ucapkan. 7 tahun aku
menunggunya, dan sekarang ia menemuiku tak lebih dari 7 menit. Bahkan aku tak
sempat berkata apa-apa. Aku menatap kosong bunga azalea dalam genggamanku,
sebuket bunga azalea berwarna kuning tanda persahabatan. Dan.. Setangkai bunga
azalea merah, tanda cinta.
Meskipun
begitu, aku tak menyesal menikah dengan Zearon. Ia amat tulus dengan hati yang
bersih. Aku berjanji akan menjaga hatinya dengan ketulusan. Inilah akhir
penantianku. terimakasih Axel, kau telah menepati janjimu.
0 Komentar