Cerpen
Cerpen: Hadiah Ulang Tahun

Sumber: Kompasiana.com
Oleh: Namikus
Kringgg… Kringgg… suara alarm smarthphone
yang telah beberapa kali berdering, akhirnya membangunkan Septian. Tangan kanannya
mencoba menggapai sumber suara, sedangkan tangan kirinya terus mengucek matanya.
Kucekan itu terlampau keras, hingga merontokan beberapa bulu matanya yang
lentik. “Sialan”, ungkap Septian dengan
geram.
Septian ada kelas pukul 08.00 pagi, sementara
sekarang jam sudah menunjukan pukul 07.45, Ia pasti akan terlambat. Jarak
tempuh dari rumahnya menuju kampus adalah 8 km, dengan kondisi jalanan yang
macet di pagi hari, kota Jakarta, Septian hanya bisa memacu sepeda motornya dengan kecepatan rata-rata 20km/jam—Septian tentu
sudah paham betul bagaimana macetnya Ibu kota ini.
Dilain sisi, Septian tidak mungkin untuk tidak masuk
kuliah, bagaimanapun juga Septian telat karena harus bergadang mengerjakan
tugas yang dibebankan kepadanya dua minggu yang lalu. Bukan perkara mudah
memang mengarang sebuah makalah ilmiah, yang Ia lakukan hanya dalam waktu satu
malam, dan harus memalsukan hampir semua data, yang Septian susun dari jam 10 malam
sampai jam 3 pagi. Hal itu berakibat pada hasil kerjanya yang tak karuan,
makalah itu disusun tidak ubahnya seperti dongeng atau bahkan puisi, setiap
orang yang membacanya akan bingung dengan diksi aneh dengan argumen kering dan
cederung dipaksakan, tetapi sekali lagi, Septian bertekad untuk
menyelesaikannya—daripada harus kuliah dengan angkatan di bawahnya. Sekali lagi.
Untung saja Septian memiliki kemampuan luar biasa
dalam hal mempersiapkan diri, hanya butuh 5 menit untuknya agar Ia bisa siap
berangkat ke kampus. Tak perlu mandi, hanya gosok gigi, dan membasuh muka sudah
cukup. Untuk sarapan, masih ada dua batang rokok sisa semalam yang siap Ia
hisap dan itu bisa dilakukannya selagi berkendara.
Pukul 07.50, berangkatlah Septian dengan motor RX King keluaran tahun 1990 bewarna
hitam dengan ban gundul terkena panasnya aspal, padahal motornya belum sempat
dipanaskan, tapi Septian tak peduli. Walaupun Septian yakin dirinya akan
terlambat, Ia telah merencakan untuk memacu motornya secepat mungkin, dengan
jalan tikus yang Ia ketahui, hingga kemungkinan Ia akan sampai tepat pukul
08.15—batas toleransi keterlambatan yang telah disepakati semua murid.
Di jalanan, Septian bertingkah seperti orang
kesetanan, Ia memacu kendaraanya sangat kencang, beberapa lampu merah berhasil
Ia lewati tanpa hambatan, puluhan bunyi klakson tak Ia hiraukan. Lagi pula ini
hari ulang tahunnya, pikir Septian. Ya betul, hari ini tanggal 11 September
tahun 2018, adalah hari ulang tahunnya yang ke 20. Sebenarnya semalaman, salah
satu pemicu semangatnya yang menggebu-gebu mengerjakan tugas hingga larut
malam, adalah harapan ada seseorang yang mengucapkan ulang tahun padanya. Sayang
memang, siapa juga yang peduli terahadap orang yang tidak peduli dengan dirinya
sendiri.
“Ini hari spesial saya tau”, teriak Septian, sambil menengok ke belakang motornya untuk
menanggapi ocehan klakson mobil yang Ia salip secara tiba-tiba. Namun ketika Septian
menengok lagi kedepan, tiba-tiba seorang lelaki dengan tumpukan koran
ditangganya menyebrang di depan mototnya dan sreeettt… Septian menginjak rem dengan sekeras mungkin. Untung saja
motornya belum sempat menabrak lelaki itu.
Dengan napas yang terengah-engah dan muka memerah, Septian
menatap dengan tajam pria itu, orang itu adalah si penjual koran kampus. Sementara
itu, si Tukang koran melihat ke arahnya sembari melempar seyum, kemudian
berkata, “Korannya mas”. Septian sama sekali tak menanggapi dan bergegas menuju
parkiran kampus.
“Siapa yang mau membeli koran di zaman
sekarang”, gerutu Septian.
Larilah Septian dari parkiran menuju gedung tempat
kelasnya dilaksanakan. Dari kejauhan Ia sudah melihat puluhan mahasiswa
mengantri di depan lift. Sial sekali,
kelas Septian ada di lantai 10—lantai paling akhir. Akhirnya Ia memutuskan
untuk menaiki tangga, tetapi baru saja di lantai dua, Ia berhenti, dan
memutuskan untuk turun menggunakan lift,
liciknya sesampainya di lantai satu Septian naik ke lantai 10 tanpa antri—trik yang
bagus, namun tentu tidak boleh dilakukan dari segi etika, karena merugikan
orang lain. Mahasiswa yang mengantri bermenit-menit menatap sinis Septian,
tetapi apa salahnya, ini hari ulang tahunnya.
Sesampainya di atas, benar saja, kelasnya sudah
tampak sunyi, itu artinya pasti sudah ada dosen. Perlahan Septian membuka pintu
dan langsung disambut dengan tatapan tajam dosen mata kuliah Kewarganegaraan,
Ibu Dorizza.
“Kenapa Kamu telat”, sentak Ibu Dorizza
dengan suara yang tidak enak di dengar.
“Anu Bu, Eee…, motor Saya bannya bocor”,
Septian mencoba mengelak.
“Bohong Kamu”, suaranya semakin tidak
enak didengar.
“Tidak Bu”, Septian semakin tertekan.
“Mana buktinya”
Septian kebingungan, sementara teman sekelasnya
berbisik-bisik di belakang. “Ini Bu, Saya foto”. Dengan raut wajah memelas
mencoba meyakinkan. Sementara itu, Ibu Dorizza memperhatikan foto itu dengan
seksama. “Baiklah duduk sana”.
Huh, untung saja Septian masih menyimpan foto
motornya sedang ditambal ban minggu lalu. Bergegas Ia mencari tempat duduk
paling belakang, tetapi tiba tiba.
“Septian”, Ibu Dorizza kembali memanggil
namanya.
“Kekenapa Bu”
“Hari ini kan bulan September, itu
artinya”, Ungkap Ibu Dorizza sebelum di potong oleh jawaban Septian.
“Artinya apa Bu?”, Septian berpikir
bahwa mugkin Dosennya akan memberikan kejutan kepadanya, karena ini hari ulang
tahunnya.
“Itu artinya Kau harus segera membayar
uang buku, sebentar lagi Ujian Akhir Semester, Penanggung jawab kelas sudah
memberi laporan ke Ibu, bahwa hanya kamu di kelas ini yang belum membayar”, tampaknya
memang Ibu Dorizza sangat membenci Septian.
“Baik Bu”, Ia tidak mau memperpanjang
masalah ini. Setelah beberapa kali menyelip di bangku kelas yang penuh sesak, Septian
menemukan tempat duduk strategis untuk duduk, tentunya di belakang dan
terhalang murid lain, bagaimanapun juga Ia harus meneruskan tidurya. Tetapi
sebelum benar-benar duduk, kembali namanya di panggil dengan suara yang tidak
enak, lagi.
“Septian”, Ibu Dorizza kembali memanggil
kali ini dengan suara yang lebih keras “Kenapa kamu tidak menggunakan kemeja?”
Sambil mengeplak kepalanya sendiri Septian
berkata, “Maaf Bu, Saya benar-benar lupa, tadi Saya buru-buru”.
“Tidak ada toleransi, keluar kamu
sekarang”, Ibu Dorizza tampaknya memang benar-benar sangat membeci Septian.
Septianpun lemas dan keluar dengan perasaan yang
sangat kacau, belum lagi di sepanjang jalan turun, Ia bertemu dengan tampang
sinis pengguna lift yang Ia liciki
beberapa saat yang lalu. Kantuknyapun seperti dendam yang mesti terbalaskan, Ia
memutuskan untuk tidur di gudang fakultas teknik, tempat nyaman yang biasa Ia
gunakan untuk tidur.
***
Perutnya yang keroncongan membangunkannya dari tidur
yang sangat pulas. Septian bangun pukul 13.00 dan memutuskan untuk pergi ke
kantin. Sesampai di Kantin, Ia sengaja memilih tempat paling pojok, karena
disitu terletak Warteg yang belum Ia hutangi, itu bagus untuk keuangannya hari
ini. Beberapa kali matanya melihat ke kiri ke kanan, tanpa Ia sadari bahwa ternyata
di depannya duduklah seorang gadis yang sangat Ia cintai, Rosa namanya. Seorang
anak dari Fakultas Seni. Septian megenalnya atau mungkin lebih tepat
melihatnya, ketika Rosa berlatih teater di malam hari, Ia langsung terpikat
dengan wajah wanita yang centil dengan rambut dikepang ke belakang dan tanpa
sentuhan make up itu.
***
Septian memang sering menghabiskan malamnya duduk di
bawah pohon beringin, sembari menikmati penampilan teater dari Fakultas Seni,
baginya itulah hiburan yang bisa Ia nikmati selain buku. Di bawah pohon itu, Ia
bisa menikmati Romantisnya percintaan Romeo dan Juliet, Mengharukannya cerita Death of a Salesman, atau drama Mencari
Keadilan karya Bertolt Brecht yang diterjemahkan W.S Rendra.
Dan siang itu, Septian benar-benar bertemu dengan
Rosa, pemeran Juliet dalam drama yang Ia saksikan beberapa hari yang lalu. Siang
itu, Rosa menggunakan make up tipis
bewarna merah muda dibawah kelopak matanya, hingga pipinya terlihat sangat
licin dan rapuh. Sementara itu, entah apa yang iya oleskan di matanya, yang memancarkan
ketajaman sekaligus mengundang rasa penasaran. Tangganya yang terus mencoba
untuk menghalau rambutnya yang terurai terus memaksa turun, semakin menunjukan
betapa menakjubkannya Rosa hari ini, indah sekali pemandangan ini untuk Septian.
Beberapa menit menatap Rosa, Septian yang sudah
merasa menjadi seorang Romeo, memutuskan untuk mencoba berkenalan dengan Rosa. Meski
kakinya gemetar dan otaknya dipenuhi hormon dopamin yang membeludak, Septian
berusaha tangguh dan anggun seperti Romeo, untuk tetap tenang dan mengumpulkan
tenaganya. Hingga akhirnya mulut Septian terbuka untuk menyapa, tiba-tiba
seseorang lebih dulu menyapanya.
“Mas, Korannya Mas”, ungkap si Tukang koran kepada Septian.
Tukang koran pagi itu kembali bertemu dengannya dan kali ini Septian dibuat lebih
kesal lagi olehnya. Baru saja Septian akan mengucapkan sesuatu, Tukang koran
itu langsung memotong pembicaraannya dari belakang, kurang ajar memang. Selain
itu, si Tukang koran terus saja berbicara dengan nada memelas bahwa daganganya
hanya terjual beberapa lembar saja hari ini. Benar saja, memang korannya tidak
banyak berubah dari pertama kali Septian melihat pagi tadi. Tetapi tetap saja,
hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk mengganggunya.
Selama ocehan si Tukang koran berkumandang di
telinga Septian, Rosa sang pujaan hati, memutuskan pergi bersama teman-temanya,
hal ini membuat semakin naas perasaan Septian. Iapun memutuskan pergi sambil
membungkus makanannya yang sudah Ia pesan sedari tadi dan meninggalkan si Tukang
koran yang memikul puluhan koran di tangganya.
***
Si Tukang koran terus menyusuri seluruh kampus,
sembari berteriak, “Koran… Koran… Koran…”, namun tak seorangpun peduli. Di era
digital sekarang, semakin jarang orang membaca koran. Berita sudah disediakan
di internet secara gratis, untuk apa mengeluarkan uang untuk hal yang bisa Kau
dapatkan secara gratis. Padahal membaca koran memiliki banyak hal positif,
kurang lebih itu yang sering dikatakan orang yang masih sering membaca koran.
***
Septian memutuskan untuk pergi ke taman, Ia ingin
menenangkan dirinya dengan sepotong rokok sisa pagi tadi. Septian merasa
hancur, harinya sangat berantakan, padahal ini adalah hari ulang tahunnya. Perlahan
Ia mulai memikirkan nasibnya, bagaimanapun Ia sudah beranjak dewasa, tepat 20
tahun hari ini. Ia mencoba berandai andai, mengapa Ia harus pergi ke kampus,
kenapa Ia lupa memakai kemeja, kenapa Ia mendapat omelan Bu Dorizza.
Satu-satunya yang membuatnya bersyukur hari ini adalah bertemu dengan Rosa,
tetapi lagi-lagi, Sial sekali, Ia memikirkan si Tukang koran. “Dasar idiot, Dialah
sumber masalahku hari ini”, Septian menggerutu.
Jika saja Ia tidak bertemu dengan Tukang koran itu,
mungkin Ia bisa sampai lebih pagi dan menghindari omelan Bu Dorizza, atau jika
Ia tidak bertemu dengan si Tukang koran, mungkin sekarang Ia sudah kencan
dengan Rosa. “Sialan, ahhh”, Hardiknya dengan teriakan penuh amarah.
***
Dibangku taman yang sejuk, angin menghembus dengan
keras dan dingin, menyentuh rambut Septian yang tebal lurus diikat ke belakang.
Septian hanya sendiri di Taman kampus, Ia tidak tahu bahwa seluruh mahasiswa
hari ini sedang mengadakan orasi untuk menuntut rektor yang korup, tetapi bahkan
jika Iapun tahu, tentu Septian tidak akan peduli. Padahal Rosa, sang pujaan
hati sedang melakukan aksi teater di depan Rektorat sebagai bentuk orasi
menuntut keadilan, itulah sebabnya sepanjang mata memandang Septian tak
menemukan kelompok teater yang berlatih hari itu.
***
Beberapa menit berdiam diri di taman, Septian
pun merasa gusar. Kemudian tiba-tiba datang dari arah barat tempat matahari terbenam,
seorang lelaki dengan koran ditangganya, betul Ia adalah si Tukang koran. Namun
kali ini, dengan wajah yang sangat berbalik dengan pagi tadi, tanpa menawarkan koran,
si Tukang koran tiba-tiba duduk disamping Septian. Sebenarnya Septian ingin
segera pergi atau bahkan memaki si Tukang Koran itu, tetapi sungguh wajah si Tukang
koran tidak bisa dibenci, kusut dan sangat terlihat sedih, bahkan iblis pun
mungkin akan iba terhadap wajah itu. Dengan sedikit kepedulian, Septian tetap
duduk di kursi taman itu.
“Koran Saya masih banyak Mas” si Tukang koran
membuka pembicaraan.
Merasa senasib dengan melihat wajah si Tukang koran
yang kusut, Septian menjawab, “Memang kenapa Mas?”, ungkapnya, irit.
“Tidak tahu” Jawab si Tukang koran.
“Memang sudah berapa tahun berjualan Koran”,
Septian mulai penasaran.
“Sejak Pak Harto lengser, Saya lupa
sudah berapa tahun itu”
“Apa? Yang benar saja, itu artinya sudah
20 tahun Bapak berjualan koran, kok masih betah jualan Koran? Memang cukup
untuk keluarga?”, ungkap Septian, semakin penasaran.
“Tidak ada pilihan Mas, lagipula Saya
belum berkeluarga, sejak usia 15 tahun Saya sudah jualan koran disini, paling
Saya suka mahasiswi sini saja, tapi tak berani”, si Tukang koran masih sempat
melempar senyum. “Mas namanya siapa?”, ungkap si Tukang Koran.
“Saya Septian Mas”, sambil keheranan,
bagaimana mungkin Ia bisa akrab dengan orang yang membuatnya sial seharian ini,
tapi Ia tak peduli setidaknya Ia melihat sosok yang lebih tidak beruntung
darinya dan itu membuatnya sedikit bersyukur.
“Oh, Mas Septian, kalau begitu selamat
ulang tahun Mas”, ungkap si Tukang koran dengan polos.
Sementara itu, mata Septian melotot dan kupingnya
mengacung, apa Ia tidak salah dengar. “Kok Mas bisa tahu ulang tahun Saya”, Septian
keheranan, dengan tatapan tajam memandang si Tukang koran.
“Oh itu mas, mudah saja. Nama Mas Septian
kan. Teman saya Septiadi dan Ayah Saya, Septiajo lahir di bulan September, ya
Saya kira-kira saja, pasti mas lahir di bulan September juga” Si Tukang Koran dengan
bangga. “Ini mas, koran hari ini, Saya berikan satu”.
“Tapi Saya tidak punya uang Mas”.
“Sudah ambil saja, anggap saja hadiah
ulang tahun”
Septian tertegun, kemudian mengambil makan siang
yang Ia bungkus tadi siang, “Ini mas, Saya bayar pakai nasi bungkus”.
Mengambilnya Ia dari tasnya.
Lalu, kemudian keduanya larut dalam keheningan,
tanpa sepatah katapun terucap.
***
Sore itu di taman kampus, angin semakin deras
disertai gemericik hujan mulai membasahi dedawunan sebelum akhirnya sampai ke
kulit Septian yang berdaki, warna airnyapun berubah coklat ketika selesai
melewati kulitnya. Sementara itu, Si Tukang koran berlari dengan koran ditangan
kiri dan nasi bungkus di tangan kanannya. “Ayo mas berteduh”, peduli si Tukang koran. Tetapi
Septian terus duduk termangu di bangku taman, sembari membuka dan mebaca
halaman utama koran tertulis, “Ribuan Orang Mengikuti Aksi untuk Menyuarakan
2019 Ganti Pemimpin”. Septian kembali menutup koran itu. Hujan pun semakin
deras, tetapi Ia tetap terduduk di bangku Taman.
Septian tetap tak bergerak, ini merupakan hari yang
aneh baginya, koran itu satu-satunya kado yang beharga bagi hidupnya dan yang
memberikan adalah si Tukang koran—si pengacau sekaligus satu-satunya orang yang
tahu hari ulang tahunnya. Perlahan, air matanya mengalir dibawah hujan, tidak
ada yang tahu dan tentu tidak ada yang peduli. Baginya, hari itu, memang sungguh
Ia tidak peduli tentang pergantian pimpinan negara, yang tercetak dalam berita
utama koran ataupun demo pergantian rektor, di depan Rektorat. Sungguh, yang Ia
peduli hanyalah pergantian pemikirannya.
2 Komentar
Jadi inget bu doriza apa ini sebjah cocokologi? Dosen yang agak menyebalkan wkw
BalasHapushiya hiya hiya
Hapus