Kajian
Jalan Panjang Demokrasi
Sumber: Suara Nasional
Oleh: Namikus
Kehendak bebas individu adalah sebuah
kekonyolan jika Anda mengatakannya kepada semua orang di Eropa abad ke-6 hingga
15. Otoritas tertinggi yang menguasai manusia pada saat itu adalah sebuah
rencana kosmis di luar manusia—setiap orang adalah aktor dari sebuah drama besar
yang telah ditulis oleh rencana kosmis, kita hanya mengikutinya saja. Bahkan,
jika hampir semua orang mati karena wabah penyakit menakutkan, semua orang akan
menganggap hal itu adalah rencana kosmis yang akan berakhir baik, paling tidak
di akhirat.
Ketidakpercayaan pada kehendak bebas
individu didasarkan pada kepecayaan bahwa manusia adalah makhluk yang mortal. Di
pagi hari dia bisa sangat menyukai sesuatu, di siang hari dia membecinya, dan
di malam hari dia mati. Sulit sekali menjadikan kehendak bebas manusia sebagai
sebuah aturan universal agar dunia ini teratur, selain aturan kosmis.
Akibatnya, otoritas dipegang oleh sebuah
hal yang berada diluar manusia—seperti Tuhan atau para Dewa. Namun karena zat
tersebut tidak bisa langsung menyampaikan kehendaknya, maka sang perantaralah
yang mendapat otoritas—di Eropa abad kegelapan orang-orang itu adalah para Paus
yang menguasai hampir semua bidang kehidupan, dari mulai politik, ekonomi,
etika, hingga estetika.
Setelah berabad-abad dalam kegelapan,
tejadi zaman yang disebut sebagai abad pencerahan, yang terbagi kedalam dua
babak, yaitu Renaissance dan Aufklarung. Meski sama-sama memiliki arti
pencerahan, perbedaan keduanya terletak dari pengaruh yang dihasilkan. Apabila
Renaissance hanya berdampak pada kemajuan pada humaniora, filsafat, politik,
seni, sastra serta hukum, Aufklarung berdampak pada kemajuan dibidang ekonomi.
Tetapi intinya, keduanya memiliki
persamaan pada hal yang paling dasar dan paling penting yang menjadi latar
belakang lahirnya manusia modern—yaitu berpindahnya otoritas dari kosmis menuju
individu—ke dalam diri setiap manusia. Renaissance dan Aufklarung adalah
perjuangan untuk memperjuangkan kebebasan Individu yang diperjuangkan oleh
filsuf-filsuf besar abad pencerahan—seperti misalnya, Imanuel Kant, Francis
Bacon, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Voltare. Semua perjuangan mereka
terangkum dalam semboyan abad pencerahan, “Sapere
Aude!” yang berarti “Beranilah Berpikir Sendiri”.
Apabila awalnya segala hal duduk perkara
ditentukan oleh pemegang otoritas yaitu para pemuka agama, berikutnya individu
diberi kepercayaan untuk menentukan nasibnya sendiri. Dari sinilah benih-benih
demokrasi yang dahulu sempat muncul di zaman Yunani kembali bangkit. Bagai
sebuah sulap yang menakjubkan, kepercayaan diri manusia pada kemampuan mereka
sendiri bersambut sebuah kemajuan yang luar biasa, terutama dari segi
pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada meningkatnya jumlah populasi manusia
secara drastis yang disertai dengan angka harapan hidup yang membaik, karena
banyak ditemukan obat-obat yang bisa menyembuhkan penyakit yang dahulu pasrah
saja diterima.
Karena manusia sudah mulai percaya pada
diri sendiri, maka berikutnya gerakan-gerakan kebebasan individu terus
berkembang. Dari mulai kesetaraan ras kulit putih dengan kulit hitam dan
gerakan sosial feminis, semuanya berhasil di abad ke dua puluh, dan
dilatarbelakangi oleh sebuah mantra dasar, “Percayalah kepada hatimu sendiri”.
Pada akhirnya, ide demokrasi—yang
memberikan kebebasan terhadap individu untuk bisa berkontribusi, dengan
semboyan, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat membawa manusia abad 21
sebagai abad paling damai yang pernah di rasakan manusia. Jika pada masyarakat agrikultural
awal, kekerasan manusia terhadap manusia lain menyebabkan 15 persen dari semua
kematian manusia, pada abad ke-20 itu menyebabkan 5 persen, saat ini hanyalah
sekitar 1 persen.[1]
Demokrasi sebagai sebuah sistem telah
menjamin hak warga negara untuk bisa berekspresi. Berawal dari sebuah
perpindahan otoritas kosmis menuju diri individu, manusia justru berhasil
membentuk keteraturan sosial yang luar biasa—hal itu dibuktikan dari membaiknya
taraf hidup masyarakat dunia. Tidak ada tawar menawar lagi untuk menegakan
demokrasi, setiap perilaku untuk membatasi hal itu berarti membawa kita kembali
ke belakang, dimana manusia di kekang, dan menghambat pertumbuhan.
Namun ada satu hal yang mungkin menjadi
pertanyaan banyak orang. Bagaimana cara demokrasi menjadi baik untuk semua
orang, artinya seberapa bebas kita dalam berdemokrasi—bukankah bebas-sebebasnya
juga tidak baik.
Betul, saya sendiri mempercayai bahwa
kita tidak sepenuhnya bebas di dunia ini, terutama dalam berdemokrasi. Kebebasan
kita dibatasi oleh hak orang lain, itulah kenapa sebenarnya demokrasi harus
memegang teguh moral humanisme—karena memang demokrasi dan humanisme berasal
dari akar yang sama—yaitu penghargaan pada diri individu.
Moral humanisme dalam mengatur hubungan antar
manusia adalah “Jangan pernah lakukan suatu hal yang tidak ingin orang lain
lakukan terhadapmu”. Membunuh, berselingkuh, rasis, dan laiinya—semua orang
pada hati terdalamnya tidak ingin dilakukan seperti itu, meski ada yang
menginginkannya, apakah benar-benar betul seperti itu—pada dasarnya semua
manusia memiliki rasa kasih meski hanya secuil, hal itu mengalir dalam gen
kita. Ituah sebabnya nenek moyang kita yang belum belajar moral sekalipun punya
kasih sayang, bukan dari kitab suci, tetapi memang mengalir dari nurani.
Tetapi seringkali sekarang ini manusia
gampang sekali kelewat baper, sedikit-sedikit
melaporkan, meski terkadang tidak terlalu tersakiti atau terampas haknya.
Barangkali ini yang menjadi masalah, sekaligus paradoks dalam berdemokrasi.
Disatu sisi ada orang yang merasa dirugikan disisi lain kita merenggut
kebebasan berekspresi orang lain. Tapi penulis sendiri berpendapat, jikalau memang
hal itu masih dalam ranah ide atau bahkan tataran
tidak ada maksud menyinggung, tidak ada salahnya, barangkali juga kritik
itu penting untuk kemajuan bangsa bukan.
0 Komentar