Secangkir Kopi,Cinta & Penantian
Secangkir Kopi,Cinta
& Penantian
Oleh : Prayoga Dwi
Wibowo
Jenis Tulisan: Cerpen
Disini, dimeja perjamuan, aku menunggumu. Menunggumu
disudut penantian untuk mengkalimatkan rindu yang ingin aku bisikkan tepat
ditelingamu. Tiba-tiba kamu memenuhui ruangku dengan rindu yang bernyanyi.
Tanpa praduga kamu ikut meramaikan sepiku setelah senja terlelap payah.
Sementara masih belum kubaca dengan tuntas isi pikiran dan hatimu. Ah,kamu
selalu saja hadir dengan sejuta tanda tanya yang tidak bisa aku jawab.
Aku merindukanmu dengan terluka. Aku merindukanmu
sekaligus dengan sekuat tenaga meniadakan hadirmu. Begitulah rindu mengusik
kesepian. Aku akan selalu ingat tentang aku dan kamu menjadi “kita” walaupun
hanya sekejap saja.
Setiap hari, setiap saat aku berkunjung ketempat
sini. Aku selalu memesan pesanan yang sama. Memilih tempat duduk yang sama, aku
suka tempat duduk yang berada dilantai dua yang menghadap kearah Danau yang
tidak jauh dari kafe ini. Aku suka dekorasi kafe ini sengaja dibuat dengan
artistic yang begitu memukau. Tidak lupa dengan alunan musik mendayu-dayu yang
berada dilantai dasar yang sengaja diadakan untuk penghujung setia kafe ini
saat musim cinta tiba.
Aku selalu membawa laptop ataupun novel-novel
favorit menemaniku saat aku berkunjung ke kafe ini. Bukan terlihat ngenes
ataupun apa, kenapa saat aku berkunjung ke kafe ini nyaris aku tidak pernah
mengajak pasangan untuk diajak ngobrol. Hanya saja, kalian tidak akan pernah
tahu. Ada bagian yang terasa sesak untuk dibahas. Aku tidak akan
menceritakannya. Tidak akan pernah aku bahas kembali. Tidak akan pernah
membaginya.
Disini, di antara gelapnya malam dan penantian, aku
menulis lagi tentangmu, tentang kita yang dahulu ingkar pada semesta. Bukan.
Bukan maksud, mengusikmu kembali. Bukan maksud, menganggu setia ketentraman
hidupmu. Hanya tidak mudah bagiku untuk melupakanmu seutuhnya dan pergi menjauh
dari kehidupanmu.
Saat aku tengah
sibuk memenjarakanmu dalam cerita yang aku buat. Aku dikejutkan dengan
kehadiran pelayan kafe ini yang menyapaku begitu hangat. Sama halnya pada saat
kamu menyapaku setiap paginya.
“permisi kakak, maaf menggangu waktu kakak sebentar.
Kakak mau pesan apa yah ?” tanya pelayan itu dengan hangat. Pelayan itu membawa
menu kafe ini dengan celemek yang mengikat ditubuhnya. Jangan lupa dengan penutup
kepala yang terlihat seperti koki berdiri gagah diatas kepalanya.
Aku menghentikan aktivitasku sejenak, “saya pesan
secangkir kopi hangat dengan taburan whipped
cream diatasnya, gulanya seperempat sendok, saya engga suka gulanya terlalu
banyak, cukup whipped creamnya aja
kalau boleh ditambahkan” ucapku sambil menyebutkan pesanan favoritku yang sudah
aku hafal di luar kepala.
Pelayan yang sedari tadi berdiri di hadapanku, sibuk
mencatat pesanan dibuku menu. “apa ada lagi yang ingin dipesan?” tanya pelayan
itu kembali.
Aku menggelengkan kepala. “cukup itu aja..” kataku
menutup pesanan.
Pelayan itu pergi ke barista mengantarkan pesananku.
Aku kembali dengan rutinitasku - menulis novel yang akan diterbitkan dalam waktu
dekat ini. Sejurus kemudian, aku mengeluarkan handphone dari saku celanaku.
Hanya sekedar memastikan saja, apakah ada pesan yang masuk atau tidak. Benda
mungil itu, aku masukkan kembali kedalam saku celanaku.
Tidak butuh waktu lama, pelayan itu membawakan
pesananku.”ini kak, pesanannya sudah tiba” ucapnya dengan ramah sambil
meletakkan secangkir kopi pesananku diatas meja.
Aku tersenyum simpul. “terima kasih” jawabku
Pelayan itu kembali pergi ke barista mengambil
pesanan pengunjung lain. Tidak ada tanda-tanda keanehan yang di kerjakan oleh
pelayan itu. Bahkan, aku tidak memikirkan hal itu. Malam semakin larut, jam
terus berdetak menghitung detik-detik. Satu persatu pengunjung kafe ini pergi
meninggalkan kafe ini. Hanya tinggal beberapa orang saja, yang masih betah
berlama-lama berada di kafe ini. menikmati wifi gratis ataupun menikmati
secangkir kopi khas dari kafe ini dengan aroma kopi yang menggoda.
Secangkir kopi pesananku sudah menyisahkan dua teguk
saja. Aku menyesapnya kembali hingga tidak tersisa sedikitpun. Aku merapihkan
laptopku – berkemas untuk pergi meninggalkan kafe ini. Saat aku hendak membuka
knop pintu kafe, salah seorang pelayan kafe tersenyum ramah melihat kepergianku.
Aku membalasnya dengan senyuman ciri khasku. Walaupun agak sedikit, umm..
terpaksa. Mungkin.
***
Langit menghitam. Kemerlap bintang-bintang sudah
bertaburan di angkasa. Tidak ada kehadiran bulan menemani bintang diatas sana.
Angin malam begitu terasa ditubuh. Bahkan aku ingin secepat mungkin tiba di
kafe favoritku menikmati secangkir kopi hangat yang menjadi minuman favoritku.
Malam ini aku akan kehadiran tamu special yaitu editor dari penerbit yang
menerima novel yang aku buat untuk dipublikasikan.
Aku masih
memilih tempat yang sama. hanya saja aku tidak sibuk seperti biasanya dengan berbagai
aktivitas menulis. Sesekali aku menyapu sudut-sudut kafe ini. melihat
pengunjung yang sudah semakin ramai datang ke kafe ini. Sesekali pula, aku
mengamati parkiran dan orang yang berlalu-lalang dari atas sini. Sekaligus,
memastikan Mba Gita – editor sudah tiba.
Pelayan kafe ini datang menghampiriku dengan membawa
buku menu. “permisi kakak, mau pesan apa ?” tanyanya memberikan buku menunnya.
“sebentar yah, saya lagi tunggu teman saya. Saya
pesannya nanti yah” ucapku memberikan jawaban sekaligus kepastian.
Pelayan kafe itu tersenyum ramah, senyuman yang
pernah aku kenali tetapi aku tidak senyuman milik siapa yang sama dengannya.
“baik kakak, kakak bisa memanggil saya kembali” ucap pelayan kafe itu pergi
meninggalkanku.
Aku menatap punggung pelayan kafe itu hingga
menghilang saat pengunjung lain lewat.Mba Gita sudah berdiri tepat dihadapanku
tanpa menganggu. Aku masih menatap pelayan kafe ini dengan tatapan yang penuh
heran.
“hei.. kamu sedang apa ?” tanya Mba Gita membuyarkan lamunanku.
Aku tersadar, melihat Mba Gita sudah berdiri
dihadapanku. “mba sudah dateng toh, kupikir mba terjebak traffic jam” ucapku dengan segaris senyum.
“yah begitu lah, berkerja dikota metropolitan. Kamu
baik-baik saja bukan ?” tanya Mba Gita kembali mencemaskan kondisiku saat ini.
Aku menggelengkan kepala.”yah, saya baik-baik kok
mba. Tidak perlu dikhawatirkan dengan kondisi saya hehe” jawabku sambil tertawa
renyah.
“syukurlah, soalnya tadi aku melihat kamu sedang
memandang pelayan kafe ini. apakah ada yang membuatmu tertarik ?” goda Mba Gita
sambil mengangkat kedua alisnya.
“ahh..Mba Gita, kalau boleh tau bagaimana
perkembangan dengan naskah saya yah mba ?” tanyaku kali ini berusaha
mengalihkan pembicaraan.
“eh..iyah untung diingetin. Naskah kamu udah engga perlu
direvisi lagi. Saat ini lagi dibuat design
sampulnya. Masalah royalti nanti..” ucap Mba Gita sebelum meneruskannya
kembali.
“saya tidak pernah mempermasalahkan royalti mba.
Yang terpenting, buku yang saya tulis dibacabanyak orang dan bisa
menginspirasi”jawabku memetong ucapan Mba Gita.
Mba Gita menghempaskan ke udara.”andai saja, semua
penulis sama seperti kamu yah..” kata Mba Gita sambil mengusap tanganku.
“maksud mba apa yah ?” tanyaku sedikit tidak
mengerti apa yang dimaksudkan Mba Gita.
“maksud mba, kamu mau pesan apa ? biar mba yang
pesanin dan bayarain”ucap Mba Gita mengulang kembali maksudnya.
“engga usah mba, biar saja aja yang pesan sendiri
dan saya bayarin mba..”
Semua sudah terlambat. Mba Gita sudah beranjak pergi
ke Barista memesan makanan dan minuman. Setelah selesai memesan, Mba Gita
kembali lagi.
“saya jadi engga enak sama mba gita” kataku sambil
memberikan senyuman sebagai ungkapan terimakasih.
Mba Gita hanya membalas senyuman simpul dari
wajahnya. “engga apa apa kok” jawab Mba Gita dengan tulus.
Pelayan kafe ini mengantarkan beberapa pesanan yang
dipesan oleh Mba Gita. Saat pelayan kafe ini tengah menaruhnya diatas meja.
Tiba-tiba..
BRUUGG..
“maksud mba apa? numpahin ke pakaian teman saya?”
tanya Mba Gita terlihat geram melihat pelayan kafe ini menumpahkan secangkir
kopi pesanannya.
Pelayan kafe ini sibuk membersihkan cairan kopi yang
tumpah ke lantai dan membasahi sebagain pakaianku. Pelayan kafe ini hanya
tertunduk diam.
“sayaa.. harus berbicara sama atasan..” ucap Mba Gita
yang begitu marah. Sayangnya, Mba Gita tidak langsung menemui karena ada
panggilan telepon.
“terimakasih..” ucapku sambil membersihkan pakaian
yang tersiram kopi dengan dibantu oleh pelayan kafe itu menggunakan tissue.
“seharusnya saya yang meminta maaf ke anda..” ucap
permohonan maafnya dengan suara lirih.
“tidak perlu meminta maaf” kataku.
Mba Gita yang selesai berbicara dengan seseorang
dari sambungann telpon kembali lagi. Tidak terlihat raut wajah marah yang
diperlihatkan Mba Gita kepada pelayan kafe ini yang dengan cerobohnya
menumpahkan pesanannya membasahi pakaianku.
“aku ada urusan dadakan. Kita atur ulang jadwalnya
lagi yah. See You” ucap Mba Gita merapihkan tasnya berlalu pergi meninggalkan
kafe ini dengan terburu-buru.
Aku hanya memadang punggung Mba Gita dengan penuh
tanda tanya. Sementara pelayan kafe itu pun kembali lagi ke Barista. Tidak
lama, pelayan kafe ini membawakan kembali pesanan yang sama.
“ini kak, pesanannya saya sudah ganti dengan yang
baru” kata Pelayan itu dengan nada lembutnya.
“tidak perlu” kataku sambil tersenyum dan beranjak
pergi dari Kafe ini.
***
Senja sudah terlelap di kaki cakrawala. Cahaya
bintang-bintang sudah menghias dilangit penantian. Dan benar,kita memang masih
terjabak di ruang kemungkinan antara pergi dan bertahan,saling melambaikan
perpisahaan. Aku memilih untuk bertahan dan melanjutkan cerita yang tersendat
di perjalanan. Aku masih melakukan hal yang sama seperti hari-hari biasanya.
Menyesap secangkir kopi dengan ditemani cahaya bintang-bintang yang sesekali
berkedip mesra.
Tiba-tiba..
Salah seorang pelayan kafe ini membawakan secangkir
kopi. Padahal, aku sama sekali belum memesan. Pelayan kafe ini menaruh
secangkir kopi itu tepat diatas meja. Aku yang sedari bingung menatapnya dengan
heran.
“maaf mba, saya belum memesan apapun. secangkir kopi
ini utuk siapa yah ?” tanyaku sambil menunjuk secangkir kopi dengan aroma yang
begitu mengganggu indera penciumanku.
“untuk kamu..” kata pelayan itu sambil mengangkat
kepalanya menatapku. Aku pun begitu terkejut saat melihat pelayan kafe itu
ternyata. Ratna. Perempuan yang pernah mampir dipelabuhan hati saat itu dan
Ratna adalah mantan isteriku. Perpisahaan aku dan Ratna bukan persoalan orang
ketiga ataupun factor ekonomi. Perpisahaan aku dan Ratna disebabkan karena aku
tidak bisa memberikannya keturunan seperti impian ayah Ratna. Hingga akhirnya,
aku dan Ratna memutuskan untuk berpisah. Walaupun aku tahu, Ratna begitu berat
berpisah denganku.
Aku masih terdiam dan tidak percaya dengan ini
semua. “Enji, maukah kamu kembali tinggal bersamaku ?” tanya Ratna begitu
mengejutkan.
Aku menarik napas dalam-dalam mengajak diriku
berbicara sebentar. “Ratna, kau tahu aku tidak bisa memberikan kebahagian yang
seutuhnya. Aku tidak bisa memberikan keturunan seperti yang ayah kamu
inginkan.” Jawabku.
“tapi kita bisa melakukan bayi tabung. Enji” ucap
Ratna kembali.
Ratna benar. Apa yang dikatakan Ratna memang benar
adanya. Seharusnya aku dan Ratna melakukan program bayi tabung yang tidak
pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku menatap kembali wajah Ratna dengan penuh
harap. Rambut-rambut kecil mengganggu wajahnya dan rasanya aku ingin
merapihkannya. Hingga akhirnya, aku memberanikan diri untuk memeluknya.
“kita seharusnya selalu bersama” ucapku lirih
ditelinganya sambil memeluk dengan erat.
Seharum kopi, aroma cintaku masih mengecap di meja
penantian. Sekarang, biarkan malam yang bercerita. Tentang rindu kita yang
berdiam dalam diam. Dan diam-diam masih menginginkan penyatuan. Setidaknya
begitulah kenyataan rinduku.
Prayoga Dwi Wibowo, Lahir di Jakarta,06 November
1997 silam mengawali hobby menulisnya pada tahun 2011. Penulis yang biasa
disapa Yoga ini sudah banyak menulis cerita pendek dan cerita yang membawanya
juara 1 lomba menulis cerpen yaitu “Daylight”. Yoga saat ini sedang menempuh di
salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta. Yoga bisa ditemui di akun
facebooknya: Prayoga Dwi Wibowo ataupun di akun Ig: prayogadwi97
0 Komentar