Jenis Tulisan: Cerpen
Oleh: Arina Indah Listriani (Pendidikan Sosiologi 2015)

Sekelibat cahaya merah menyapu tanah sore itu. Aku berlari sekencang mungkin untuk sampai di suatu tempat tujuanku. Napasku memang sudah tak kuat lagi. Tapi aku harus segera sampai sebelum semuanya terlambat. Walau kakiku terasa begitu lelah karena aku sudah berlari sepanjang jalan raya ini. Sekitar tiga kilometer jauhnya. Aku rasa ini sebuah perjuangan. Untuk menunjukan bahwa aku benar-benar anak baik dimata ibu.
“Ugh..” aku berhenti.
Rasanya sudah tak tahan lagi melangkahkan kakiku walau pelan. Aku lelah sekali. Ku putuskan untuk berhenti dan sesekali menghela napas. Aku tetap harus terus berlari. Ibu sangat membutuhkan ini untuk nanti malam. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatannku. Kulanjutkan berlari dengan pikiran bahwa sesuatu yang baik akan segera terjadi.
Akhirnya, Sampai juga. Aku tiba disebuah toko emas di sebuah pasar. Untunglah belum tutup. Rasanya memburu waktu agar sampai sebelum toko ini tutup benar-benar membunuhku. Aku memilih toko ini karena menjual emas di toko ini terbilang cukup mudah. Kita tidak perlu menunjukan kwitansi pembelian sebelumnya. Kita hanya perlu menunjukan emas kita sampai mereka akan menimbangnya dan kemudian memberikan uang penjualan sebanyak berat emas yang kita jual.
“jadi 150.000”  ucap penjual emas tersebut. aku tersenyum mengangguk seraya menunggu penjual emas itu memeberikan uangnya. Aku melangkah keluar. Berharap bahwa hari ini ibu dapat tersenyum melihat hasilku.
Aku melangkah memasuki pintu rumah. Rumah dengan lebar tiga kali lima meter ini aku tinggali bersama ibu dan kedua adiku. Aku melangkah masuk. Menuju ke dapur melihat ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk kedua adikku.
“Bu, Hari ini aku menemukan emas dijalan. Aku jual terus aku dapat uang.” ujarku jujur. Aku harap ibu tersenyum dan merasa lebih baik. Tetapi reaksi beliau berbeda.  Beliau hanya diam tanpa sepatah katapun. Pergi begitu saja meninggalkanku dan menemui kedua adikku diruang TV.
“Sarah, Nia. Kalau kalian menemukan sesuatu dijalan sebaiknya kalian cari tahu siapa pemiliknya. Bukan malah dijual dan uangnya dipakai. Itu tidak baik” ibuku berucap kepada kedua adikku yang berumur dua dan lima tahun tersebut. Seakan beliau menyindirku.
“Bu, aku sudah coba mencari pemiliknya. Tapi nggak ketemu-ketemu. Kata orang di pasar, sudah ambil saja mungkin itu rezekimu. Jadi aku putuskan untuk menjualnya.” Ujarku melanjutkan.
Ibu tetap saja tidak menjawab perkataanku. Tepatnya ibu memang tidak pernah menjawab perkataanku walaupun aku selalu mengajaknya bicara. Ibu memang tidak pernah menganggapku ada dirumah ini. Walaupun aku selalu menceritakan apapun padanya. Aku tidak tahu apa penyebanya tapi yang kutahu, ibu memang tidak pernah menyukaiku sejak dulu.
Aku terdiam. Memilih untuk tetap bergeming sembari memikirkan perkataan ibu tadi. Perlu kalian tahu. Tadi adalah satu-satunya respon yang pernah ibu berikan terhadap perkataanku. Selebihnya bahkan ia mendengarkan saja tidak. Aku yakin, ibu melakukan ini karena suatu sebab. Aku tidak tahu apa itu. Yang terpenting. Aku harus melakukan yang terbaik untuk ibu. Aku ingin menunjukan padanya bahwa aku bukan anak yang tak berguna. Aku akan melakukan apapun untuk memebuat ibuku melihat keberadaanku. Aku akan selalu menceritakan apapun yang aku alami sehari-hari agar setidaknya ia mengerti kehidupanku. Agar ia tahu apa masalahku. Meskipun ia tidak pernah memeberikan respon atas itu.
Aku tidak pernah membenci ibu. Aku justru sangat bersyukur memiliki ibu. Ibu adalah satu-satunya orang tua yang aku milki. Karena ayah sudah tak lagi bersama kami sejak tiga tahun yang lalu. Menurutku ibu masih terpukul dengan kepergian ayah. Dan itu juga menjadi salah satu alasan atas sikapnya kepadaku.
Aku bersiap seperti biasa. Sehabis mandi dan memasak sarapan untuk diriku sendiri. Aku menuju pasar untuk bekerja. Aku bekerja di sebuah toko baju di pasar. Memang tidak seberapa. Tetapi ini cukup untuk membiayai hidupku dan adik-adik serta memebantu ibu.
“Ibu aku berangkat.” Aku berpamitan. Seperti biasa ibu tidak memeberi reaksi apapun. Tetapi tidak apa-apa setidaknya beliau tahu kalau aku sudah berangkat bekerja.
Seperti biasa rutinitasku. Aku berkerja dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Tidak ada yang spesial.  Semua berjalan dengan biasa dan cenderung monoton. Tidak ada yang berkesan di hidupku. Tapi aku tetap bersyukur karena hari ini aku masih bisa menghasikan sedikit uang untuk ibu.

Ibu sudah pulang.
“Ibu aku sudah pulang.” Ujarku. Ibu hanya diam,  tetap memasak makanan. 2 telur ceplok untuk kedua adikku. Aku sudah biasa melihat tidak ada bagianku di atas meja. Aku tidak pernah merasa sakit hati atau marah akan hal itu. Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Aku hanya menginginkan perkataannya untuku. Ucapan apapun. Dari mulutnya. Aku butuh diperhatikan dan didengarkan.
Malam berjalan seperti biasanya. Tidak ada percakapan apapun antara aku dan ibu. Aku tidak pernah berani memaksanya untuk bicara karena aku telalu takut. Dan sedih.
Hari ini aku tidak bekerja. Memang setiap minggu toko baju tutup karena suatu alasan. Jadi aku hanya dirumah merapikan dan membereskan rumah. Ibu masih bekerja. Beliau biasa bekerja hingga pukul 4 sore. Sejujurnya aku sedih melihat ibu harus tetap bekerja untuk kami. Sejak kepergiaan ayah. Ibu harus membayar biaya sekolah kedua adikku. Ibu memutuskan untuk bekerja sebagai buruh cuci dirumah tetangga. Itulah mengapa ia selalu terlihat sangat lelah dan lemas sepulang kerja. Dan mungkin itu salah satu alasan beliau tidak banyak berbicara.
Aku mendengar pintu terbuka. Ibu pulang. Kedua adikku sudah pulang lebih dulu. Mereka sedang tidur siang. Aku melihat muka ibu sangat lelah aku mencoba memapahnya berjalan. Tapi ibu menolak. Aku tetap memaksanya. Tapi ibu justru mendorongku kesamping. Menghempaskan tanganku. Aku tidak marah pada ibu sekarang. Tapi aku marah pada keangkuhannya.
“Sampai kapan ibu seperti ini?” aku berteriak. Merasa bersalah setelahnya. Karena sudah berteriak kepada ibu. Tapi aku geram. Aku tidak sanggup melihat ibu terlihat lemah dan sakit seperti tadi. Aku terlalu sayang untuk membiarkan. Terlalu peduli utuk mengacuhkan. Tapi keangkuhan ibu benar-benar membuatku tidak tahan lagi.
“Aku tahu ibu kecewa padaku setelah kematian ayah 3 tahun silam. Aku tahu karena aku, ayah tidak ada. Aku terlambat datang untuk memeberikan donor darah kepada ayah. Aku tahu. Tapi apa ibu akan membenciku selamanya?” Aku menangis. Aku tidak tahan lagi. Aku juga terluka dengan kepergian ayah. Dan merasa sangat bersalah. Tapi, sekarang ibu adalah satu-satunya orang tua yang aku punya. Aku juga mebutuhkan ibu.
“Ibu hanya tidak sanggup melihatmu..” ibu terisak. Aku mendengar itu. Tubuh ibu bergetar. Aku bangkit dan mendekati ibu. Aku memeluknya.
“Selalu ada bayangan menyedihkan setiap aku melihatmu. Kenangan-kenangan pahit tentang ayah. Selalu ada ketika ibu melihatmu. “ ibu menangis tersedu. Aku tetap memeluknya erat. Ini adalah pelukan pertamaku dengan sejak 3 tahun silam setelah kepergian ayah. Rasanya seperti serpihan hatimu yang retak kembali seperti semula. Rasanya seperti kau menemukan duniamu kembali. Rasanya nyaman. Hingga kau tak ingin melepaskan.
“Maafkan ibu, ibu memang masih belum bisa menerima kepergian ayah. Ibu sangat terpukul. Tapi percayalah.” Ibu tetap terisak, tetapi kini sudah semakin reda. Aku terdiam. Gemetar tidak bisa berkata apapun. Rasanya lidahku kelu dengan semuanya. Aku hanya ingin pelukan ibu. Aku memaafkan segala alasan ibu tadi. Aku memahami semua itu. Yang terpenting sekarang. Aku bisa memeluk ibu lagi, aku bahagia.
“Tidak bu, Tania tidak pernah marah pada ibu. Tania hanya butuh pelukan ini. Sudah cukup” aku memeluk ibu erat. Ibu mengelus rambutku. Rasanya aku tidak ingin melepas ini.
Terimakasih ibu. Kau selalu yang terbaik dihidupku. Maafkan aku, aku belum bisa menjadi apa yang ibu harapakan. Tapi ingatlah. Aku akan selalu berusaha untuk membuat ibu bahagia.


Selesai.

0 Komentar