Fungsionalisme: Pentingnya Persamaan dan Kontestasi Era Modern
Fungsionalisme: Pentingnya Persamaan dan
Kontestasi Era Modern
Oleh: Filman Zulfikar (Pendidikan Sosiologi 2015)
Berasal dari nama “Kartini” mengingatkan
saya akan pentingnya peran perempuan dalam peradaban manusia dari dulu,
sekarang bahkan mendatang. Melalui Kartini, beberapa stigma yang kurang bisa
diterima oleh kaum perempuan kini berubah di kalangan masyarakat.
Beberapa ungkapan negatif yang kemudian
menjadi kekerasan simbolik tertanam melalui mekanisme budaya patriaki yang
melekat di kalangan masyarakat. Beberapa ugkapan seperti “perempuan adalah
makhluk yang lemah” memang tidak bisa diterima oleh banyak perempuan.
Hebatnya adalah, semua stigma negatif
tentang perempuan berhasil dipatahkan oleh pahlawan Indonesia seperti Kartini.
Melalui tulisannya “Habis Gelap Terbilah Terang” yang kini dikenang oleh semua
lapisan masyarakat membuat mata terbuka betapa tingginya ketimpangan Gender
yang terjadi. Kemudian Kartini melalui karyanya tersebut berhasil membangun
emansipasi (persamaan dan kesetaraan hak perempuan).
Tidak hanya Kartini, diujung Barat
Indonesia juga lahir seorang tokoh luarbiasa yakni Cut Nyak Dien, dan Cut Mutia
juga secara langsung menyuarakan persamaan hak dan kesetaraan perempuan,
tentunya dengan perjuangan yang luarbiasa. Begitupun di wilayah Timur Indonesia
melalui nama, jiwa dan raga seorang Martha Christina Tiahahu yang ikut di medan
perang bersama pejuang laki-laki lainnya.
Gambaran diatas menegaskan dan
membuktikan bahwa perempuan juga berperan penting dalam peradaban, dengan kata
lain perempuan juga terlibat kuat dalam kontestasi di masyarakat. Lalu hingga
saat ini apa yang membuat kaum perempuan di-inferiorkan?
Pendekatan sosiologis amat sangat lekat
dengan kajian gender, dan berikut opini penulis berusaha melihat dan berbagi
pandangan menurut teori fungsionalisme.
Fungsionalisme berasumsi bahwa melihat
masyarakat sebagai sebuah sistem, terdiri dari unit kecil organisme (individu/aktor)
kemudian berkelompok dan diatur oleh norma (tertentu) dan memiliki nilai-nilai
di dalamnya. Satu dan lainnya saling keterkaitan, berkesinambungan dan
ketergantungan. Hal ini yang kemudian muncul pendapat bahwa makhluk sosial. Tak
luput dari hal sekecil apapun, Fungsionalisme melihat sesuatu pasti memiliki
fungsi yang akan memunculkan sebab dan akibat tertentu. Hal ini kemudian juga
dapat membentuk nilai dan norma yang kemudian ditaati dan diikuti secara
Voluntiristik oleh masyarakatnya.
Parson dalam (Ritzer, 2012) , menggunakan peran dan status di masyarakat dalam sistem sosial, dalam
penjelasannya mengenai status,
mengacu kepada suatu komponen struktural. Sedangkan, Peran diartikan sebagai apa yang dilakukan sang aktor dalam posisi
yang demikian di dalam struktur sosial. Selanjutnya Parson juga menyambung
tindakan aktor terhadap sistem sosial, ia berpendapat bahwa nilai dan norma
yang telah diinternalisasi kerap melekat kuat dalam diri aktor tersebut. Parsons
juga membahas Sistem budaya yang berfungsi merekatkan kepribadian dan sistem
sosial dan juga berpengaruh besar pada interaksi dan tindakan sosial.
Yang menarik dari penjelasan sebelumnya
adalah, bahwa citra aktor yang pasif. Artinya para aktor sekan akan didorong
oleh struktur sosial yang didominasi oleh kebudayaan (Ritzer, 2012, p. 420) .
Dari uraian diatas maka saya berpendapat
bahwa status dan peran perempuan selama ini terbentuk karena struktur sosial
secara turun temurun, hal ini yang kemudian dianut dan dilakukan terus menerus
tanpa adanya penolakan. Bagaimana seharusnya?
Maka yang perlu dilakukan adalah merubah
stigma seperti apa yang dilakukan Kartini dan pahlawan wanita lainnya dalam
terjun langsung kepada arena kontestasi, khususnya di era ini dengan ikut
langsung kepada arena kontestasi modern yang berpeluang kepada persamaan
kedudukan laki-laki dan perempuan.
Alasannya adalah perbahan jaman, dari
era konservatif tradisional (dalam hal ini sifat kebudayaan masih melekat erat
dan kental) kepada arah modern (sifat budaya lebih sedikit dan pudar)
dikemukakan oleh Neo-fungsionalisme. Fenomena ini bisa menjadi kesempatan untuk
selanjutnya menciptakan suatu paham/tatanan/struktur sosial baru yang
berorientasi pada persamaan kedudukan, kaum perempuan dapat mengambil peran
yang lebih dari sebelumnya. Jika dilihat kenyataan memang dalam masyarakat
Minang pun dikatakan tidak ada bentuk kekuasaan perempuan, tapi setidaknya kaum
perempuan Minang mendapatkan derajat sayng sama (hal ini masih dipengaruhi
budaya).
Dalam fungsionalisme parson berpendapat
bahwa dalam konteks etnis, Ke-etnis-an bisa hilang dari diri individu karena
factor modernisasi. Fenomena ini yang kemudian dilengkapi oleh Neo-Fungsionalisme
bahwa peleburan tadi akan membentuk suatu solidarias baru yang lebih kuat. Lalu
yang dimaksut adalah memanfaatkan peristiwa ini untuk kemudian
meng-internalisasikan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Catatan: Asusmsi dasar diambil dari
beberapa catatan, refleksi kuliah dan beberapa buku yang berkaitan dengan teori
Struktural fungsional, penulis berusaha memasukan konteks perempuan dan
kontestasi kedalam konten tulisan dan berusaha mengkorelasikan, walaupun dalam
sosiologi terdapat bahasan khusus dalam Sosiologi Gender yang membahas secara
konferhensif. Maka sumber yang penulis cantumkan dan dapat dibaca adalah:
References
Hidayat, R. (2011). Sosiologi Kurikulum.
Jakarta: Rajawali Pers.
Malesevic, S.
(2004). The Sociology of Ethnicity. London: SAGE Publication Ltd.
Ritzer, G.
(2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern (Delapan ed.). (S. Pasaribu, Trans.) Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
0 Komentar