Oleh: Muhammad Almaida Alfarizi



Sumber : Pinterest


Pada suatu desa di daerah Amerika terdapat sebuah keluarga yang cukup kaya. Di dalam keluarga tersebut hanya terdiri dari Ibu, satu anak perempuan dan juga seorang pembantu yang hanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Sang anak yang bernama nala terlihat sangat dekat dengan sang ibu; wajar saja nala telah ditinggalkan oleh ayahnya yang tewas dalam peperangan besar. 

Suatu hari sang ibu menyewa seseorang yang dikenal dengan sebutan “Doll”. “Doll” merupakan sebutan yang ditujukan untuk seseorang yang memiliki kemampuan untuk menuliskan dan menyampaikan perasaan melalui sebuah surat. Walaupun begitu “Doll” yang disewa oleh ibu Nala adalah seorang perempuan yang sangat mahir dalam merangkai kata-kata yang sulit, tetapi masih belum memahami perasaan secara sempurna karena hal itupula ia mengabdikan hidupnya pada sebuah peperangan. Sehingga pada saat peperangan telah berakhir dan perdamaian telah tercapai, ia tidak mengetahui kemana ia harus mengabdikan hidupnya lagi.

Hadir sang “Doll” disambut dengan bahagia oleh sang ibu, namun tidak dengan Nala itu sendiri. hal itu dikarenakan waktu bermain Nala dengan sang ibu akan semakin sedikit. Setiap kali Nala sedang bermain diluar dan mencari serangga, terdengar suara mesin ketik manual yang terkadang terdengar syahdu dan terkadang pula terdengar menyedihkan dengan diikuti oleh suara batuk sang ibu yang kian terasa menyakitkan.

“Apakah ibu baik-baik saja?” sahut sang “Doll” setiap suara batuk ibu terdengar.

“Iyaa, aku baik-baik saja. Mari kita lanjutkan? Aku harus bisa menyelesaikan surat yang aku ingin buat sesuai dengan masa sewamu” Jawab ibu dengan suaranya yang lembut namun menyakitkan.

“Doll” itu pun melanjutkan jemarinya untuk menjelajahi permukaan mesin ketik manual tersebut dengan elegan sembari menanyakan pertanyaan yang tidak dapat didengarkan oleh Nala. Nala yang sedari tadi sudah memperhatikan mereka pencarian serangganya ia hentikan tiba-tiba setelah mendengar suara batuk ibunya. 

“Apakah ibu baik-baik saja, bi?” tanya Nala kepada pembantunya.

“Sepertinya baik-baik saja, non. Lagipula didalam ada “Doll” yang luar biasa hebatnya” jawab pembantu menenangkan. Walaupun ia juga sama khawatirnya dengan Nala. Ia memberhentikan pekerjaannya ketika mendengar suara batuk dari ibu.

“Kenapa ibu bareng sama “ia” ya, bi? Apakah Nala nakal?” tanya Nala penasaran dan sedikit kesal.

“Mungkin ibu sedang perlu sesuatu, non. Lagipula nona anak baik, nanti ibu akan bermain sama nona lagi” jawab pembantu menenangkan Nala.

Peristiwa tersebut tidak hanya terjadi satu kali saja tetapi berkali-kali bahkan semakin memburuk. Hingga suatu, ditaman yang ditutupi oleh kanopi dan meminum secangkir kopi yang sudah disediakan. Nala yang sedari tadi memperhatikan mereka dari seberang pintu kaca, pandangannya terpaku kepada sarung tangan yang menyembunyikan rahasia dari “Doll”. Pada saat itu pula Nala menyadari dari mana asalnya suara merdu dari mesin ketik tersebut hadir. 

Tak lama setelah itu, tangan dan suara mesin ketiknya saling bersahutan menghasilkan suara yang menenangkan hati. Namun, fokus Nala kembali buyar ketika suara batuk dari sang ibu menggema ruangan tersebut, suaranya kian terasa menyakitkan seperti sedang menghirup gas beracun. Suara batuknya tidak hanya merusak fokus Nala tetapi semua orang yang ada disana. Dengan terus mengingat pesan sang ibu

“Jangan ganggu ibu ketika sedang bersama dengan “Doll” ya? tanya sang ibu kepada Nala.

Nala yang kebingungan menjawab “Kenapa? Apa karena aku nakal?”

“Bukan, bukan karena itu, nak. tapi ada hal penting yang sedang ibu lakukan dengan “Doll”” jelas ibu.

“Janji?” lanjutnya.

“Iyaa, janji itu” jawab Nala terpaksa. 

Namun, mendengarkan suara sang ibu yang kian menyakitkan hatinya membuat Nala melupakan janjinya dengan sang ibu. Bergegas ia membuka pintu kaca tersebut dan secepat mungkin berlari menuju ke arah sang ibu.

“Ibu… Ibu kenapa?” tanya Nala khawatir.

“Kenapa kamu masuk kesini?” tegur ibunya.

“Tapi..” belum Nala menyelesaikan.

“Bukannya sudah ibu bilang untuk jangan ganggu ibu ketika lagi bersama “Doll”” lanjut sang ibu memotong jawaban Nala.

“A-aku khawatir sama ibu. Semenjak ada “Doll” ibu nggak mau bermain sama Nala lagi. Kenapa harus menulis surat? Kenapa batuk ibu juga nggak sembuh-sembuh?. Katanya ibu akan sembuh” suara Nala meninggi seraya menahan air matanya untuk keluar dan kemudian ia pergi meninggalkan ruang yang tertutup kaca transparan tersebut.

Seakan-akan tidak peduli dengan sang anak, ibu berniat untuk melanjutkan kalimatnya.

“Nyonya…” jawab pembantu penuh dengan rasa khawatir.

“Sebaiknya ibu beristirahat terlebih dahulu. Biarkan saya menyelesaikannya sendiri” lembut suara “Doll” meyakinkan ibu.

Saran yang diberikan oleh “Doll” seketika diterima oleh ibu tanpa adanya perlawanan yang berarti. Dengan bantuan dari pembantu, akhirnya tibalah mereka di kamar sang ibu yang hanya tersisa sebuah ranjang tempat ibu beristirahat. “Doll” yang sudah keluar dari kamar ibu memutuskan untuk menaiki anak tangga sembari menyusuri jalan kecil menuju kamar Nala.

“Tok...tok…” terdengar suara benturan kayu dengan sebuah besi.

“...” sunyi tanpa jawaban.

“Nona, aku ijin masuk ya?” tanya “Doll” sembari perlahan membuka pintu kayu bertuliskan “Kamar Nala”.

“Mau ngapain kamu..?” suara kecilnya masih menandakan Nala masih dalam keadaan bersedih.

“Aku hanya ingin bercerita” Jawab “Doll” singkat.

“...” kembali tidak terdengar suara dari Nala.

“Aku adalah seorang tentara perempuan yang tidak bisa menunjukkan perasaanku sendiri. Karenanya aku memilih untuk menjadi seorang tentara yang hidup untuk perdamaian. Namun, ketika terjadi peperangan terakhir, aku kehilangan kedua tanganku bersamaan dengan kawan-kawan seperjuanganku” “Doll” melepaskan sarung tangannya yang menyembunyikan tangan prostetik besi.

“Setelah hal tersebut, tanganku digantikan dengan tangan prostetik ini. Banyak hal yang tidak bisa aku lakukan setelahnya tetapi salah satu atasanku merawatku dan beliau membantuku untuk mempelajari mesin ketik manual” lanjut “Doll” sembari menutup tangannya kembali. 

“Tanganmu benar-benar sebuah besi?” tanya Nala dengan bersemangat.

“Iyaa nona” Jawab “Doll”.

“Wow, keren. Wajahmu sangat cantik dan tanganmu terbuat dari besi sama halnya sebuah boneka dalam cerita ibu!” lanjut Nala dengan sangat senang (Nala tersenyum)

“Tapi, aku memang “Doll”” jawab “Doll” kebingungan.

(Doll memiliki arti yang sama dengan boneka).

Keduanya terdiam sejenak.

“Tapi menurutmu “Doll”, apakah ibu marah kepadaku? atau ibu membenciku?” tanya Nala penasaran.

“Ibu tidak marah kepadamu, mungki ibu hanya menyayangimu seperti yang seharusnya dan ibu sedang menyiapkan hadiah untukmu” Jawab “Doll”.

“...” tidak pula terdengar suara dari Nala (Mata Nala kembali berair).

“Lagipula mengapa ibu harus membencimu?” Tanya “Doll” kepada Nala dengan penasaran.

“Kau tahu? Aku sangat menyukai serangga tetapi ibu tidak menyukai serangga sama sekali dan aku selalu saja mengajak ibu untuk bermain bersamaku atau mencari serangga bersamaku” suara Nalu kembali sedu dan kian tenggelam di dalam tangisnya.

“Ibumu bukan orang yang seperti itu, ibu seringkali menceritakan seberapa senangnya ia ketika bisa bermain bersamamu. Oleh karena itu kau tidak perlu lagi memikirkan tentang itu karena hal itu tidak akan pernah terjadi” jawab “Doll” menenangkan diikuti oleh pelukan darinya dengan tangan besinya yang diselimuti sarungan tangan sepanjang siku yang memiliki corak putih bunga.

Perlahan tapi pasti, Nala mulai tertidur di dalam pelukan “Doll”. Sejak saat itu pula Nala dapat terbuka kepada “Doll” dan tidak mengganggu ibu ketika sedang bersama “Doll”. Hingga akhirnya kesepakatan yang sudah ada sejak awal pemesanan berakhir pada hari itu. Perpisahan mereka terasa sangat menyedihkan ditandai dengan awam yang kian menggelap dan perlahan menghilangkan bayangan “Doll” yang semakin jauh. 

“Nala? kamu yakin tidak mau menyampaikan salam perpisahan dengannya?” tanya ibu dengan lembut (menaruh tangannya diatas kepala Nala).

“...” tak terdengar jawab yang berarti dari mulut Nala.

Hingga akhirnya Nala memutuskan untuk mengejar bayangan dari “Doll”.

“DOLL!” teriak Nala kencang.

“Ada apa Nala?” tanya “Doll” diikuti dengan suara langkahnya yang menghilang.

“Doll” terimakasih karena sudah bersedia menemaniku dan juga ibu, terima kasih karena dirimulah ibuku sudah kembali tersenyum dengan bahagia, terima kasih juga “Doll” karena kamu sudah bersedia untuk mencari serangga bersamaku. Kamu bilang bahwa kamu tidak memiliki perasaan tetapi kamu sebenarnya sudah memiliki itu “Doll dan juga aku ingin tumbuh cantik seperti dirimu!” seru Nala kepada “Doll” yang disertai dengan tangisan Nala 

(RIntik hujan membasahi tanah)

“Doll” pun kembali ke tempat ia bekerja dan Nala menghabiskan sisa hidup ibunya dengan bercerita, belajar memasak, belajar merawat tanaman dan masih banyak lainnya. Tak lama setelahnya ibu Nala meninggal. Atasan dari “Doll” bertanya kepada “Doll”.

“Bagaimana pesananmu kali ini?” tanya atasannya.

“Ini menyedihkan!” Jawab “Doll” dengan suara yang perlahan menunjukkan rasa sakit.

Teman kerja “Doll” seketika berhenti bekerja dan memperhatikan “Doll” yang tidak seperti biasanya.

“Sang ibu harus meninggalkan anaknya tetapi sang anak tidak mengetahui akan hal itu dan ibu tersebut memintaku menuliskan sebuah surat ucapan selamat ulang tahun kepada sang anak hingga anaknya berusia 50 tahun!. Lalu bagaimana dengan sang anak yang ditinggalkan?! Aku tidak mengetahui bagaimana ia akan bisa bertahan hidup. Saya harus menahan air mata saya selama saya berada disana” lanjut “Doll” dengan tangisan yang kian menggema ke seluruh sudut ruangan tersebut. 

Ia (“Doll”) yang tak mengetahui apa itu perasaan secara utuh, mulai untuk memahaminya secara perlahan – sedikit demi sedikit –.

“Tetapi perasaan yang disampaikan oleh surat yang sudah dituliskan olehmu. Meskipun, terpisah jauh “Orang yang kamu sayangi akan selalu menjagamu” Jawab rekannya dengan pelukan hangat kepada “Doll”.



0 Komentar