Oleh: Puja Ocktaviani

       Isu kesehatan mental beberapa tahun belakang berbagai platform media sosial. Pada era digital 4.0 ini, kampanye mengenai kesehatan mental banyak disuarakan pada berbagai media sosial. Sebagai upaya dukungan bagi para penderita kesehatan mental, dan meningkatkan perhatian serta pengetahuan masyarakat khususnya remaja yang rentan terhadap permasalahan kesehatan mental. Sebagai wadah untuk berekspresi, tak jarang banyak anak-anak khususnya remaja mulai mencurahkan apa yang dialaminya pada media sosial mereka, dengan harap, apa yang mereka tulis dapat sedikit meringankan beban pikiran mereka. Terlebih saat mendapatkan feedback positif melalui komentar dalam postingannya. Sebelum zaman serba canggih seperti saat ini, isu-isu kesehatan mental mungkin belum banyak dibicarakan. Hal ini dikarenakan, minimnya pengetahuan masyarakat mengenai permasalahan kesehatan mental.
     Dengan berkembang pesatnya teknologi saat ini, pengetahuan mengenai kesehatan mental dapat dengan mudah diketahui dengan beragam postingan edukasi. Postingan edukasi mengenai kesehatan mental biasanya berisikan; pengertian, gejala, penyebab, faktor resiko, dan cara menjaga kesehatan mental. Dengan begitu, perhatian masyarakat mengenai kesehatan mental dapat meningkat dengan kemudahan dalam memperoleh informasi.
       Namun, kita tidak dapat menutup mata. Jika canggihnya teknologi saat ini, dimana segala informasi dapat diperoleh dengan mudah. Belum sepenuhnya mampu memberikan pemahaman khususnya mengenai kesehatan mental. Karena pada kenyataanya, masih banyak ditemukan masyarakat khususnya orang tua yang memiliki pemikiran kolot dalam menghadapi isu kesehatan mental.
    Anak-anak khususnya remaja rentan sekali mengalami permasalahan kesehatan mental. Banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko remaja mengalami depresi salah satunya mengalami masalah yang melukai harga dirinya. Seperti, permasalahan berat badan, pertemanan, akademik, mengalami kekerasan, menjadi kelompok minoritas, dan tekanan berkepanjangan tanpa adanya dukungan. Faktor-faktor tersebut pada akhirnya dapat melatarbelakangi remaja berada pada posisi rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Terlebih selama masa pandemi, isu-isu mengenai kesehatan mental marak sekali terdengar karena berbagai tekanan.
    Dilansir melalui halodoc, hasil survei yang dipublikasikan oleh The Royal Women Hospital, sebanyak 75 persen remaja membutuhkan bantuan profesional kesehatan mental tidak memeriksakan dirinya dan membiarkan gejala gangguan. Keadaan dimana mereka memilih tidak memeriksakan diri bisa dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, remaja tersebut merasa takut tidak sadar atau tidak peka terhadap apa yang dialaminya. dan yang kedua, remaja tersebut sebenarnya sadar tentang kesehatan mentalnya yang terganggu, hanya saja tidak memiliki kebenaran untuk memeriksakan diri. Anak-anak atau remaja yang tidak memiliki keberanian ini biasanya meminta bantuan orang tua mereka untuk mendampingi, hanya saja tidak semua orang tua memiliki perhatian terhadap kesehatan mental. 
     Tidak banyak orang tua yang paham jika anak-anak mereka belum stabil secara emosi maupun mental. Salahnya pola asuh yang diterapkan membuat orang tua berpikir tidak ada yang salah terhadap kesehatan mental anak dan cenderung hanya memikirkan kesehatan fisik anak saja. Walaupun anak sudah menunjukan gejala dan mengeluh mengenai kesehatan mentalnya, orang tua justru mengaitkan gejala tersebut pada kurangnya aktivitas anak dalam beribadah. Tentu dalam hal ini, kesehatan mental dan kurangnya religius tidak memiliki hubungan satu sama lain. Pada akhirnya, kurangnya pemahaman orang tua mengenai kesehatan mental ini berimbas pada semakin tertekannya anak karena tidak adanya dukungan dari orang tua.
       Akibat dari semakin parahnya tekanan yang dialami remaja tanpa adanya dampingan profesional dan dukungan keluarga, dapat menimbulkan dampak negatif yang membahayakan remaja tersebut. Seperti, melukai diri sendiri dengan anggapan mengurangi rasa sakit, kesehatan fisik terganggu, hingga percobaan bunuh diri. Menurut Dr. Celestinus, bunuh diri memang selalu dikaitkan dengan masalah kesehatan mental atau kesehatan jiwa. Bunuh diri juga menjadi penyebab kematian tertinggi kedua pada usia 15-29 tahun. WHO melaporkan bahwa 450 juta orang di seluruh dunia memiliki gangguan kesehatan mental, dengan prevalensi 20% kejadian terjadi pada anak-anak (O’Reilly 2015). Selain itu, WHO menyatakan bahwa setiap 40 detik terdapat satu orang yang meninggal bunuh diri atau setara dengan 800 ribu orang setiap tahunnya.
    Dalam mencegah kemungkinan terburuk dari adanya permasalahan kesehatan mental seperti percobaan bunuh diri, diperlukan peran penting keluarga khususnya orang tua dalam memberikan dukungan dan motivasi pada anaknya. Orang tua diharapkan lebih memperhatikan kesehatan mental anak, dan mulai membuka pikiran jika bukan hanya kesehatan fisik saja yang penting, melainkan kesehatan mental pun juga harus diutamakan. Menurut Finda Difitrianita, M. Psi., orang tua perlu secara tajam dalam memperhatikan berbagai perilaku dan perubahan yang ditampilkan anaknya. Peran yang dapat dilakukan orang tua antara lain; memperhatikan perkembangan anak, membangun hubungan baik pada anak, membangun kepercayaan diri anak, menghargai perasaan anak, membangun suasana positif di rumah, dan bantu anak dalam mengelola stress. Jika peran tersebut dapat dijalankan dengan baik oleh orang tua, kemungkinan anak mengalami gangguan kesehatan mental mungkin akan sedikit menurun.
    Jika anak sudah memunculkan gejala-gejala gangguan kesehatan mental, berusahalah untuk mendampingi anak dengan mendengarkan segala keresahan dalam dirinya, dan pertemukan dengan ahli profesional. Anak yang tengah mengalami gangguan pada mental, biasanya lebih banyak diam dan menutup diri. Oleh karena itu, orang tua diharapkan lebih sensitif mengenai gejala yang ditimbulkan anak, agar perawatan kesehatan mental dapat dilakukan sedini mungkin untuk menghindari gangguan yang semakin parah.
      Berbeda dengan saat ini, dimana gejala-gejala kesehatan mental dapat diidentifikasi oleh tenaga profesional. Dalam sejarahnya, kesehatan mental memerlukan waktu hingga tak lagi dianggap sebagai tabu di kalangan masyarakat. Pada awalnya kesehatan mental masih dianggap memiliki hubungan dengan hal-hal berbau mistis yang jauh dari logika. Dengan menggunakan pendekatan supranatural, penderita gangguan kesehatan mental dianggap sedang mengalami gangguan supranatural seperti kutukan, pengaruh roh jahat, hingga guna-guna. Dimana, jika penderita tak kunjung sembuh, maka akan dibunuh atau dibiarkan saja hingga meninggal dunia. Hingga akhirnya saat memasuki abad ke 17 sampai ke 20, gangguan jiwa mulai dipandang dengan menggunakan pandangan ilmiah sebagai penyakit. Dunia pun sepakat untuk mendirikan World Federation for Mental health (WFMH) pada
tahun 1948.
      Namun, di Indonesia sendiri pandangan mengenai kesehatan mental perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dengan komentar yang diberikan pengguna internet Indonesia atau Netizen kala menanggapi sebuah kasus mengenai seseorang yang memilih bunuh diri karena kesehatan mentalnya yang terganggu. Maka dari itu, Indonesia masih membutuhkan edukasi lebih lanjut mengenai kesehatan mental. Peran penting pemerintah dalam hal ini, sangat dibutuhkan dengan melakukan langkah-langkah komprehensif bukan hanya terkait penanganan kesehatan mental, namun juga sebuah langkah dalam mengedukasi masyarakat, khususnya para orang tua untuk lebih memperhatikan kesehatan mental anaknya.
        Sebagai Masyarakat yang hidup di masa perkembangan yang serba canggih ini. Sudah selayaknya, bukan hanya zaman yang berkembang, namun pola pikir juga harus mengikuti perkembangan Zaman. Isu mengenai kesehatan mental tak dapat diremehkan begitu saja dengan mengaitkan pada gangguan gaib, lalu menutup mata atau justru mencemoohkan penderitanya. Oleh karena itu, baik orang tua maupun pemerintah diharapkan dapat berperan penting dalam pendampingan penderita, dan dapat mengurangi dampak terburuk dari gangguan kesehatan mental.


Daftar Pustaka

Gunatirin, Elly Yulandari (2018) Kesehatan Mental Anak dan Remaja. In:Kesehatan Mental
Anak dan Remaja. Graha Ilmu, Yogyakarta. ISBN 9786022629856

Anggraini, Mutia (2021) Sejarah Kesehatan Mental di Dunia, Jenis Gangguan yang Masih
Dianggap Tabu, https://m.merdeka.com/trending/sejarah-kesehatan-mental-di-dunia-jenis-gangguan-yang-masih-dianggap-tabu-kln.html?page=8, Diakses pada 26 April 2022 Pukul 13.00 Wib

0 Komentar