Opini
Apakah Gondrong Masih Bentuk Perlawanan atau Hanya Sekadar Gaya-Gayaan?
Sumber: Medium
Oleh: Namikus
Ketika mendengar rambut gondrong, maka
konotasi yang terpikir adalah pria dengan rambut panjang—bukan wanita. Seorang
wanita dengan rambut panjang tidak pernah disebut gondrong, hal itu wajar dan cenderung
diterima oleh sebagian besar masyarakat di dunia.
Gondrong selalu identik dengan pria
berambut panjang dan di dalam kata gondrong ada berbagai stigma yang dibuat
masyarakat. Pertama, ada yang menganggapnya sebagai pria urakan, kotor dan jauh
dari sikap disiplin—dan menurut saya masyarakat kebanyakan berpikir seperti
ini. Kedua, pria dengan rambut gondrong adalah cerminan sebuah sikap perlawanan
terhadap stigma masyarakat itu sendiri, simbol dari kebebasan dan perlawanan—banyak
seniman berambut gondrong untuk alasan ini. Ketiga, yaitu stigma yang menganggap
bahwa pria dengan rambut gondrong adalah hal yang biasa saja—tidak memiliki
tujuan khusus atau berhubungan dengan dua stigma sebelumnya, yaitu kotor atau
bebas.
Banyak alasan yang membuktikan bahwa
stigma negatif terhadap pria berambut gondrong banyak dipercaya oleh
masyarakat, khususnya di Indonesia. Stigma negatif tentang rambut gondrong telah berkembang sejak
zaman Soekarno dan paling parah ketika Era Orde baru. Di Zaman Soekarno, Ia
melihat bahwa rambut gondrong terlihat ke Barat-Baratan, hingga Soekarno pernah
mengatakan bahwa gondrong adalah sebuah sikap anti revolusioner.[1]
Lebih parah di zaman Soeharto, pada
zaman inilah menurut saya dimana stigma negatif rambut gondrong benar-benar
gencar. Bagaimana tidak, menurut pemerintahan Soeharto, pria berambut gondrong
dianggap sebagai sikap yang sama sekali tidak mencerminkan kepribadian bangsa
dan oleh karena itu, sikap ini dilarang dan dilegitimasi dalam sebuah aturan.
Soeharto sama sekali tidak main-main
dengan komitmennya untuk memberantas pria berambut gondrong. Senin malam, 1
Oktober 1973, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dalam sebuah bincang-bincang di
TVRI, mendesklarasikan bahwa rambut gondrong membuat anak muda menjadi acuh tak
acuh (overschilling). Tidak hanya
itu, pemerintahan Soeharto juga pernah membentuk Bakoperagon (Badan Koordinasi
Pemberantasan Rambut Gondrong), dan sebuah gerakan razia di jalan-jalan oleh
anggota militer dengan senjata gunting, untuk mencukur siapapun yang berambut
gondrong kala itu. Dampak dari kebijakan tersebut meluas, hingga di hampir
semua instansi publik terjadi deskriminasi terhadap pria berambut gondrong, di
kalangan pelajar, mahasiswa, artis, pesepak bola, bahkan seniman sekalipun.
Bukan tanpa alasan Soeharto melakukan
kebijakan anti gondrong di Indonesia. Pada saat itu, sebenarnya paham Hippies
memang sangat populer dan menyebar ke seluruh dunia. Paham Hippies adalah
sebuah gerakan yang dilakukan oleh sebagian para remaja Amerika yang bersikap
kontra-budaya (counter-culture), yang
berusaha mengubah budaya yang mapan di masyarakat materialistik di sekitar
mereka dengan budaya longgar yang mereka inginkan sebagai sikap reaksi.
Inti yang saya pahami dari paham Hippies
adalah kebebasan, sebuah sikap memberontak untuk berekspresi, yang mereka
sebarkan kedalam beberapa media, seperti film, musik, teater, puisi dan lain
sebagainya. Hingga akhirnya paham itu berkembang dan dinikmati di berbagai
negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia. Adapun gerakan yang dicirikan
oleh Kaum Hippies adalah memang sikap acuh tak acuh terhadap penampilan, dimana
pria membiarkan rambutnya gondrong, memelihara janggot, menggunakan pakaian
warna-warni yang nyentrik, melakukan seks bebas, mengkonsumsi narkoba, hidup
secara nomaden, dan cenderung tidak terikat akan sebuah hubungan seperti
pernikahan. Kehidupan yang benar-benar bebas, seperti manusia pada zaman
komunal yang hidup di alam bebas. Tetapi paham ini mengkhendaki perdamaian
dunia, dan sempat mengecam perang Vietnam, dan peduli lingkungan, bahkan mereka
menerapkan sikap vegetarian, dan penolakan terhadap materialisme Barat.[2]
Soeharto melihat sikap pria gondrong
yang terjadi kala itu di Indonesia, sebagai sikap akibat globalisasi yang
melanda negara Indonesia. Dan sikap itu dinilai negatif, karena Soeharto
menilai bahwa sikap pria gondrong mencerminkan paham Hippies, dan bisa
mengganggu sistem sosial dan budaya yang ada di masyarakat, lebih dari itu
sikap kebebasan juga tampaknya tidak disukai Soeharto, hal itu tentu tidak baik
bagi pemerintahan yang diaa pimpin. Tetapi, dengan fakta sejarah yang terjadi
di Amerika, lantas kita bisa menghakimi semua orang berambut gondrong sebagai
pemeluk paham Hippies, bukankan itu terlalu menggeneralisir,
Berhubungan
dengan sikap pemerintah yang otoriter di zaman Orde Baru, yang mencoba
menghilangkan berbagai ancaman dengan intervensi, maka terjadilah berbagai
perlawanan. Hal itu dilakukan dengan cara tidak mengiyakan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dianggap konyol—salah satunya dilarang gondrong. Para aktivis,
seniman, dan tokoh yang kontra pemerintah sengaja memanjangkan rambut mereka,
meski tahu akan di razia oleh aparat—tidak hanya itu, mungkin saja bogem mentah
bisa menyasar sekali-kali ke pipi atau bagian tubuh manapun terhadap mereka. Tidak
heran jika banyak aktivis 1998, banyak berambut gondrong, salah satu alasannya tentu
adalah melawan pemerintah.
Lalu,
bagaimana dengan sekarang? Negara ini sudah dalam taraf demokrasi yang cukup
baik, meski tidak jarang ada beberapa peraturan yang dianggap masih mencederai
kebebasan berekspresi—tetapi mungkin masih lebih baik dari zaman Orde Baru. Khususnya
rambut gondrong, apakah hal ini masih bentuk perlawana? Pertanyaan yang cukup
menarik, karena meski pemerintah sudah tidak melarang rambut gondrong, tetap
saja pemahaman masyarakat dalam melihat pria berambut gondrong masih negatif.
Buktinya, tidak jarang di institusi kerja pemerintah atau swasta, pegawainya
diwajibkan tercukur pendek rapih—begitupun di institusi pendidikan, khususnya
SD-SMA, dan beberapa jurusan di kuliah.
Saya
sendiri sering melihat, bahwa pria berambut gondrong lebih banyak berada di
institusi pendidikan, khususnya universitas. Tempat ini merupakan tempat yang
pas untuk melakukan hal itu, tidak ada intervensi dari pekerjaan dan atau
apapun peraturan yang terlalu mengikat daripada di SD-SMA. Tetapi, kembali ke
pertanyaan awal, apakah sikap ini masih bisa dikategorikan sebuah perlawanan
(banyak pria gondrong memiliki alasan seperti ini) atau hanya bagian dari
sebuah trend fashion.
Penulis
sendiri berpendapat, bahwa fenomena rambut gondrong yang terjadi sekarang
bukanlah bagian dari perlawanan, melainkan sebuah trend fashion. Tidak bisa disebut perlawanan karena memang objek
perlawanannya tidak ada—bila disebut melawan pemerintah, apa yang dilawan? Pemerintah
sudah tidak melarang hal itu. Kemudian, jika dikatakan untuk melawan stigma
masyarakat, tampaknya tidak bisa dilakukan di institusi pendidikan seperti
universitas—tidak jarang setelah lulus kepercayaan perlawanan itu kalah juga
oleh urusan perut dan masa depan. Jadi saya kira, alasan rambut gondrong sebagai
perlawan sudah kurang relevan—rambut gondrong lebih menampilkan ciri-ciri
fenomena trend fashion.
Dalam
sosiologi, ada satu tokoh sosiolog klasik berkebangsaan Jerman, bernama George
Simmel, yang menjelaskan fenomena sosial tentang fashion. Menurutnya, fashion
adalah suatu bentuk hubungan sosial yang mengizinkan orang-orang yang ingin
menyesuaikan diri dengan tuntutan kelompok berbuat demikian. Di sisi lain,
fashion juga memberikan norma yang dapat dilanggar orang-orang yang ingin
tampil individualistik.[3]
Dalam
konteks rambut gondrong, yang menjadi fashion adalah gaya rambut. Fashion yang
berkembang dalam mayoritas adalah rambut pendek rapih bagi pria, hal itu
disebabkan oleh pengaruh historis, dan setiap orang diizinkan untuk mengikuti
fashion tersebut. Di sisi lain, fashion ini bisa dilanggar, yaitu oleh
segelintir orang yang berambut gondrong. Pada kasus ini terlihat dualitas,
yaitu yang mengikuti trend fashion
dan tidak.
Rambut
gondrong menurut saya adalah sebuah antitesis fashion daripada perlawanan.
Individu yang tidak ingin terlihat sama dengan individu lain, mencoba untuk
membedakan dirinya. Tetapi menurut Simmel, hal ini tidak berbeda, orang yang
menjauhi trend fashion sebenarnya
tidak lebih baik atau lebih buruk dari yang mengikutinya. Menurutnya, para
individu dapat menghindari apa yang terkenal karena takut bahwa mereka, seperti
teman sebayanya, akan kehilangan individualitasnya, tetapi ketakutan itu nyaris
bukan merupakan tanda kekuatan pribadi dan independensi besar.[4]
Akhirnya
melalui uraian ini, penulis menyimpulkan bahwa rambut gondrong tidak lagi
diartikan sebagai perlawanan—terhadap rezim otoriter atau stigma
masyarakat—karena toh, sebagian dari kita luntur idealismenya ketika terjun ke
dunia sesungguhnya. Penulis mengartikan, bahwa rambut gondrong hanyalah bentuk
dualitas trend fashion—dimana
individu tidak ingin terlihat sama dengan yang lainnya, hingga membentuk
fashion yang berbeda. Tetapi, di luar sana tentu saja masih ada orang yang
benar-benar memercayai sikap rambut gondrong sebagai perlawanan, tetapi tentu
saja diikuti dengan sikap yang kritis terhadap masalah sosial untuk kebaikan,
yang bukan hanya untuk dirinya sendiri.
[1]
Berdikari Online. Rambut Gondrong dan Dinamika Perlawanannya.
Berdikarionline.com. Diakses dari http://www.berdikarionline.com/rambut-gondrong-dan-dinamika-perlawanannya/
pada tanggal 10 Maret 2019.
[2]
Dipantara, Tengku Ariy. HIPPIES BUKAN APOLITIS. Degilzine.com. Diakses dari https://degilzine.com/2018/02/26/hippies-bukan-apolitis/
pada tanggal 10 Maret 2019.
[3]
George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014)
[4] Ibid.
0 Komentar