Mengapa Harus Membaca
Fahrenheit 451 ?
Oleh: Rizki Ade Putra
Fahrenheit 451 merupakan sebuah novel
sains fiksi yang mengajak kita mengikuti perjalanan Guy Montag, seorang petugas
kebakaran yang bertanggungjawab untuk membakar buku. Dalam perjalanan ceritanya,
Montag mulai meragukan pekerjaannya. Pertanyaan demi pertanyaan berhinggapan
kepalanya. Pertanyaan yang tidak mampu disusun dan diungkapkan tetapi terus
menggunung membentuk gelisah. Pertanyaannya sederhana :
Apa yang kita
cari ?
Mengapa kita
harus membakar buku ?
Buku ini menceritakan sebuah dunia
distopia, dimana robot, kecerdasan buatan dan kamera cctv tersebar bagai udara.
Dunia yang maju sainsnya, sangat cepat, serba terpenuhi, tetapi serba dangkal.
Semua itu dilakukan untuk satu tujuan, kebahagiaan. Sebuah dunia dimana setiap
manusia dapat bertemu kebahagiaan yang abadi, sebuah dunia yang sempurna.
Pertanyaannya
bagaimana kebahagiaan itu diciptakan ?
Ray Bradbury merumuskannya dalam
Fahrenhait 451 dengan satu cara pamungkas yaitu menyingkirkan semua
kekhawatiran. Pangkal kekhawatiran harus ditumpas.
Dimana
pangkalnya ?
Ada dalam kemampuan berpikir manusia.
Kegiatan berpikir adalah kegiatan yang penuh dengan kekhawatiran, penuh dengan
prasangka, penuh dengan ketidakbahagiaan.
Kontemplasi hanya menyakiti diri
sendiri, imajinasi hanya buang-buang waktu, berpikir kritis hanya mengundang
bahaya, kebebasan hanya ketakutan tanpa batas. Maka dari itu wajar dan dapat
diterima jika berpikir adalah pangkal kesengsaraan. Semakin banyak tau, semakin
banyak mengerti, hanya akan membuat dunia bagai tempat sampah, merubah
pemerintah menjadi kumpulan penjahat dan para pengusaha menjadi lintah darat. Kurang
ajar !
Bagaimana kesengsaraan ini harus
diakhiri ?
Sama seperti mencegah seseorang
tenggelam dalam kolam atau mencegah tangan terpotong oleh pisau. Solusinya ya kuras
air dalam kolam dan buang jauh-jauh pisaunya. Eleminasi medium penciptanya.
Begitu juga dengan mengakhiri kesengsaraan. Mediumnya harus dimusnahkan, tanpa
medium, tanpa alat maka kegiatan berpikir akan hilang dengan sendirinya. Dalam
semesta Fahrenheit 451 memusnahkan buku dipilih menjadi jalan menuju
kebahagiaan, karena buku adalah medium penting dalam usaha manusia untuk berpikir.
Buku menjadi benda terlarang.
Memilikinya, membacanya, apalagi menuliskannya itu dilarang. Setiap buku akan
berakhir dalam api, dibakar.
“Bakar sampai menjadi abu, lalu bakar abunya.
Itu slogan resmi kami”
Begitulah slogan resmi petugas
kebakaran dalam semesta Fahrenheit 451.
Mengapa buku
dibakar ?
Buku adalah medium ingatan. Obat
panjang umur yang dicari oleh para firaun dan kaisar Tiongkok. Dalam ingatan
itu tersimpan nilai, norma, keyakinan, dan ajaran yang dipegang oleh si
penulis. Menghancurkan buku bukan hanya merubah mediumnya saja menjadi “kupu-kupu
hitam” lebih dari pada itu, penghancuran buku berarti penghancuran terhadap
ingatan yang di dalamnya terdapat nilai, norma, keyakinan dan ajaran.
Penghancuran buku adalah cara untuk
mendorong terjadinya transkultural. Api dipilih dalam proses penghancurannya
karena kekuatannya untuk mereduksi buku yang memiliki nilai dan sejarah,
menjadi sekedar benda yang terdiri dari empat unsur pokok: karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen. Alasan kedua api memiliki sifat ilahiyah, api digambarkan
dalam banyak kepercayaan sebagai sumber kehidupan dan penyelamatan juga
diceritakan sebagai sumber penghancuran. Alasan ketiga karena api merupakan
elemen penting dalam dalam pengembangan peradaban manusia faktor determinan
pertama.
Bagaimana dunia
yang bukunya dibakar ?
Dalam semesta Fahrenheit 451, semua
informasi dimonopoli oleh media massa. Informasi yang berlimpah, cepat, dan
simultan. Tetapi karena berlimpah dan cepatnya informasi maka kualitasnya
menjadi dangkal, singkat, dan tidak bermakna yang pada akhirnya membuat
masyarakat kehilangan kemampuan berpikir independen dan kritis. Tidak ada yang
bermakna karena makna tidak berguna tanpa menjadi bahagia. Makna hanya
menggundang sengsara maka dari itu harus dihancurkan hingga tak tersisa.
Dunia ini hanya boleh diisi oleh
kesenangan, oleh kebahagiaan. Iklan tersebar dimana-mana karena kebahagiaan ada
dalam setiap transaksi dan memiliki, setiap orang memiliki TV masing-masing
yang dibawa kemana-mana dan radio yang menempel di kepala mereka karena setiap
orang harus mengetahui sesuatu kita harus tau banyak agar merasa cukup. Segala
macam hal harus cepat, singkat dan terus menerus. Bagi dunia ini kecepatan
adalah yang utama sedangkan kedalaman dan nuansa dipandang sebagai kesia-siaan.
“percepat
filmnya, Montag, cepat. Klik, Foto,
Lihat, Mata, Sekarang, Jentik, Di Sini, Di Sana, Cepat, Maju, Naik, Turun,
Masuk, Keluar, Kenapa, Bagaimana, Siapa, Apa , Di Mana, Hm ?, Uh!, Dor!, Plak!,
Lari, Dar, Der, Dor! Ringkas-ringkas, ringkas-ringkas-ringkas. Politik ?
Satu Kolom, dua kalimat, satu tajuk berita! Lalu, di udara semua hilang.”
Dalam masyarakat yang tenggelam dalam
kesenangan. Manusia menjadi terasing, terputus dari dunia luar. Realita tidak
lebih dari kumpulan iklan kilat dan ragam sitkom yang membuai sedang
pengetahuan tidak lebih dari pada travia yang menggoda. Dalam Semesta 451 Aku
menjadi lebih penting dari pada Mereka sehingga tidak pernah tercipta Kita.
Dalam cerita lain yang bertema
Distopia ambilah contoh 1984 karya
Geogre Orwell, Son of Heaven karya
David Wingrove atau The Memory Police karya
Yoko Ogawa, lahirnya otoritas yang totaliter terjadi dalam gerak dari atas ke
bawah dan dalam situasi huru-hara. Ray Bradbury memiliki pandangan berbeda,
Bradbury membayangkan dalam bukunya bahwa otoritas yang totaliter dan anti
intelektual justru lahir dari rahim masyarakat yang apatis. Jika Orwell dan
Wingrove membayangkan masa depan dalam keadaan yang mencekam dan menakutkan
dalam represi otoritas. Bradbury justru membayangkan masa depan yang penuh
kenikmatan artifisial. Twitter di tangan kanan, Tik Tok di tangan kiri, mata
yang tertuju pada Youtube, dan perut yang kenyang akan McD, tetapi di samping
itu udara dipenuhi bau anyir dan disudut-sudut kota berserakan lidah, telinga,
dan mata para pengkritik.
0 Komentar