Peran Guru dalam Penguatan Pendidikan Karakter di Masa Pandemi

Oleh: Muhammad Syirot

  


Sumber gambar: silabus.web.id

 

Dewasa ini begitu banyak fenomena-fenomena yang terjadi di  negeri tercinta Indonesia mulai dari problematika pendidikan hari ini, perampasan  habitat Komodo, pandemi yang tak kunjung usai, naskah undang-undang cipta  kerja yang berubah-ubah, hingga celotehan politisi terkait apa sumbangsih anak  muda? Mewarnai surat-surat kabar online selama dua pekan terakhir. Agaknya  penulis akan lebih menyoroti topik pertama di awal paragraf ini terkait dengan  problematika pendidikan dan dampaknya terhadap karakter. Organisasi Pendidikan Dunia,  UNESCO, telah mengambil posisi sebagai otoritas global di masa pandemi ini. Sekitar 1,5 miliar siswa(i) yang terkena dampak penutupan sekolah dan  universitas di 165 negara (87% dari populasi siswa(i) global). Di tutupnya sekolah  dan universitas serta berpindahnya pola pembelajaran dari yang semula tatap  muka menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau daring membuat seluruh  stakeholder pendidikan bermigrasi ke ruang-ruang virtual demi mengurangi angka  penyebaran virus.

Berpindahnya pola pembelajaran, di respon cepat oleh Mendikbud  dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2020 tentang pelaksanaan  Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Virus Corona, segala  bentuk pembelajaran di institusi pendidikan baik negeri maupun swasta berubah  menjadi daring (online) melalui platform digital yang tersedia seperti WhatsApp,  Zoom Cloud Meetings, Google Meet, dll. Namun, penyesuaian dan perubahan  dunia pendidikan hingga kini masih nampak sporadis, hingga kurang lebih 8 bulan  berlalu masih belum ada tanda-tanda bahwa persoalan-persoalan pendidikan dapat  teratasi, Dalam kegiatan pembelajaran misalnya, Komisi Perlindungan Anak  Indonesia (KPAI) pada 12 Mei 2020 merilis survei bahwa belajar dirumah  membuat anak stres dan lelah. Survei yang dilakukan di 20 Provinsi dan 54  Kabupaten/kota di Indonesia ini menemukan fakta bahwa 79,9% PJJ hanya  dengan pemberian tugas oleh guru tanpa adanya interaksi belajar. Inilah yang  disebut Retno Listiarti salah satu komisioner KPAI, sebagai faktor pemicu anak stres dan kelelahan di masa pandemi. Hal ini tentu juga akan berakibat buruk terhadap karakter siswa(i) selama pandemi.

Berkaca pada data di atas guru seharusnya memberikan kenyamanan bukan makin membebankan siswa(i) dengan tugas-tugas yang berlebihan.  Guru yang baik bukan hanya terpaku pada hal-hal yang sifatnya administratif, lebih dari itu guru mampu memberikan pola pikir yang berbeda dengan cara-cara seperti mendekatkan siswa(i) kepada realitas sekitarnya guna menumbuhkan karakter-karakter jujur, peduli, serta memiliki kreativitas yang dapat menunjang kehidupan mereka baik di kelas maupun di luar kelas. Dengan anggaran pendidikan yang begitu berlimpah yakni 20% dari keseluruhan  jumlah anggaran belanja (Abbas, 2019) sudah sepatutnya persoalan-persoalan klasik pendidikan hari ini harus segera dicari jalan keluarnya demi tercapainya cita-cita bangsa yang  tertuang dalam amanat konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pembelajaran yang hanya memberikan tugas dan memberikan penjelasan secara dogmatis sudah sepatutnya tidak dihadirkan di sekolah-sekolah hari ini maupun setelah pandemi berakhir, praktik seperti ini sangat tidak memanusiakan manusia, pada akhirnya siswa dipaksa bertumpu pada guru dan hegemoni seperti inilah penyebab dari ketimpangan, ketergantungan, serta ketidaksetaraan antara relasi guru dan siswa(i) yang menjadikan siswa(i) hanya sebagai objek bukan sebagai subjek utuh atau meminjam istilah Immanuel Kant “manusia berasio perkakas” (Karim, 2017) yakni manusia yang hanya mampu menjalankan instrument pengetahuan yang telah diciptakan dihadapannya tanpa mampu mengkritisi, mengendalikan, dan mengambangkannya. Jenis manusia seperti ini tidak akan bisa menjadi tuan bagi dirinya sendiri sebagai subjek utuh. Penjelasan yang dogmatis dan tidak memberikan ruang-ruang dialog dikelas juga hanya akan membagi manusia menjadi dua jenis; yakni manusia yang tidak tahu/ intelejensi inferior dan manusia yang mampu secara intelektual/ intelejensi superior (Hambali, 2020). Logika seperti ini jelas tidak mencerminkan esensi pendidikan melainkan cara kerja kekuasaan. Praktik pembelajaran yang monoton seperti ini juga membuat sekolah menjadi tidak ada bedanya dengan pabrik robot yang memproduksi barang mati tanpa imajinasi, sungguh ini sangat bertentangan dengan esensi pendidikan yang membebaskan dan memartabatkan manusia secara utuh.

Pendidikan abad 21 yang memegang teguh prinsip berpikir kiritis, komunikatif, kolaboratif, dan kreatif sudah seharusnya menjadi fundamen yang harus dikedepankan guna menguatkan karakter siswa(i) selama masa pandemi, secara simultan guru juga perlu menarasikan ulang terkait pembelajaran setelah pandemi ini berakhir, cara-cara seperti pemberian tugas berlebihan dan pembelajaran yang dogmatis sudah sepantasnya ditinggalkan agar pembelajaran pasca pandemi lebih dialogis dan manusiawi, peran guru yang difokuskan sebagai fasilitator (teacher center to student center) agar nantinya siswa(i) dapat mengeksplor dirinya hingga muaranya siswa(i) dapat membangun rasa memiliki atas proses belajarnya ditambah semakin terbangunnya daya kritis siswa(i) akan mampu menjadikan lulusan-lulusan yang mandiri, merdeka, peka terhadap sekitar, dan memiliki orientasi jika lulus bukan hanya untuk bekerja di perusahaan ternama melainkan lebih dari itu memiliki orientasi bagimana jika lulus mampu memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi yang kurang mampu, mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi, dan memberikan sumbangan buku-buku kepada yayasan-yayasan yatim piatu. Penguatan-penguatan karakter seperti inilah yang seharusnya di prioritaskan oleh guru guna menjaga ketahanan dan masa depan pendidikan Indonesia agar mampu memiliki daya saing di kancah global. Bukan hal yang muskil untuk menciptakan situasi seperti ini jika kita mau sama-sama terus berbenah dan bergerak maju.

 

Daftar Pustaka

Abbas, H. (2019). Meluruskan Arah Pendidikan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Hambali, A. (2020). Pedagogik & Covid-19. Jakarta: Taman Pembelajar Rawamangun.

Karim, M. (2017). Pendidikan Kritis Transformatif. Sleman, Jogjakarta.: AR-RUZZ MEDIA.

0 Komentar