Kesetaraan dan Keadilan terhadap Gender

Oleh : Yanti Agustina

 

Sumber gambar: rctiplus.com


Membahas gender seperti tidak ada kesudahannya , permasalahan selalu muncul dan selalu mendapat persepektif berbeda setiap orang yang menerima informasi tersebut. Lalu apa sebenarnya gender itu? Mengapa selalu menjadi perbincangan hangat yang sepertinya tidak usai di makan waktu dan tidak usang tergilas zaman? Dan apakah kesetaraan gender memenuhi standar HAM pada umumnya?  Gender Dalam berbagai literatur sosiologi atau antropologi, gender sebagai salah satu konsep analitik disejajarkan dengan konsep-konsep seperti kelas (class, Marxis), dan ras (race). Dari gambaran kesejajarannya dengan kedua konsep yang disebut belakangan, maka secara tidak langsung akan diperoleh kesan bahwa diskusi mengenai gender ada di sekitar konflik antara kepentingan laki-laki dan wanita, intinya menyangkut subordinasi wanita yang terajut rapi dengan social relations lainnya[1].  Gender bukan membahas secara kodrati Tuhan yang menyinggung tentang laki-laki dan perempuan, bukan membahas kesetaraan yang harus dimiliki oleh keduanya tanpa terkecuali dan tanpa melihat akibat dari sebuah tindakan yang menuntut kesetaraan tersebut. Membahas gender memang tidak usai hanya membahas dua insan yang berbeda pandang, namun perihal gender maka kita akan membahas budaya yang membersamai pembentukan gender tersebut.

 

Bermula dari sebuah konstruksi masyarakat yang membentuk aturan gender tersebut yang akhirnya tercetuslah maskulinisme dan feminisme, mereka seakan meminta haknya untuk lebih dominan atau menutut kebebasan secara sama tanpa terkecuali. Padahal secara kodrat sex antara laki-laki dan perempuan berbeda fungsi yang didukung untuk saling melengkapi satu sama lainnya, seperti yang dikatakan parson bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hierarki yang terjalin salah satu alasannya adalah terciptanya spesialisasi. Bukan bermaksud untuk tidak adanya keadilan atau merenggut emansipasi wanita, namun lebih kepada adanya perbedaan kodrat untuk terciptanya spesialisasi yang di istimewakan agar tercipta rasa saling menghargai. Tidak mungkin jika seorang laki-laki dituntut untuk mampu melahirkan seorang anak, namun seorang laki-laki bisa membantu atau mengurus anaknya. Serta tidak mungkin seorang perempuan mengeluarkan sperma untuk membuahi ovum maka diperlukan laki-laki untuk peroses pembuahan tersebut, di lain sisi perempuan bisa membantu lelaki atau suaminya untuk bekerja dan hal itu tidak menyalahi kodrat seorang laki-laki ataupun perempuan. Namun makna setara gender mulai bias dan berakhir pada masalah yang berujung pada banyaknya kekerasan yang dialami oleh subordinatif gender baik dari pihak laki-laki ataupun perempuan, adanya tekanan bagi mereka yang tidak sesuai dengan pribadi mereka. Seperti contoh seorang lelaki yang dituntut untuk maskulinitas maka akan dianggap aneh jika ia menangis dan pun sebaliknya perempuan yang dituntut feminis maka dia akan di tuntut harus serba bisa dengan tugas domestik dan dianggap mengancam jika di lihat mampu bersaing dengan seorang laki-laki. Saya rasa ini bukanlah aturan HAM yang sesungguhnya untuk membebaskan manusia berkarya dan bebas mengemban pendidikan. Namun saya juga tidak mengatakan bahwa saya setuju kesetaraan harus di dapat oleh laki-laki ataupun perempuan jika yang dimaksudkan dengan kesetaraan itu adalah sebuah kebebasan yang menjatuhkan harga diri satu diantara gender tersebut.

 

Banyak permasalahan yang timbul akibat dari banyaknya tuntutan yang tidak sesuai dengan tujuan awal mengenai kesetaran gender. Seperti adanya body shaming yaitu sebuah tindakan pembulian yang memandang fisik seseorang dengan menilai standarisasi tubuh seseorang sehingga berujung pada menyudutkan pihak lelaki ataupun perempuan yang dinilai tidak memenuhi standarisasi masyarakat. Tingginya tingkat pelecehan yang diterima baik oleh laki-laki ataupun perempuan merupakan isu pelencengan dari fokus keseteraan gender tersebut, menurut tirto.id  hal ini terjadi karena adanya relasi kuasa yang terjadi baik oleh laki-laki ataupun perempuan dan kurangnya pemahaman kekerasan seksual serta merasa masyarakat akan sulit menerima mereka yang ternyata korban dari pelecehan tersebut. Subordinatif gender seharusnya dapat diperhatikan dengan baik, bahwa kesetaraan gender bukan membahas dominasi dan berujung diskriminasi.

 

Di sini saya tidak menyudutkan adanya kesetaraan gender tersebut, saya berpikir hal itu adalah tindakan yang perlu di dukung dengan maksud adanya kebebasan seseorang dalam mendapatkan hukum, hak dan kewajiban yang sama sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa mereka dapat menikmati pendidikan, pekerjaan, serta kesamaan hukum yang ada tanpa rasa cemas oleh objek validasi masyarakat. Dengan adanya pergerakan untuk menuntut kesetaraan tersebut lebih kepada keadilan bukan kesetaraan yang berakibat menjatuhkan dan melakukan standarisasi yang baru terhadap kelas gender lainnya. Bias gender sudah sepatutnya ditindak serius entah terjadi pada laki-laki ataupun pada perempuan, sebab kembali kepada tuntutan yang ada bahwa patriarki seharusnya tidak mendominasi dan mendiskriminasi gender atau kelas seseorang di hadapan masyarakat yang bertolak belakang sebagai pribadi manusia dan pantas di sebut makhluk Tuhan yang secara kodrati harus melindungi dan dilindungi.




[1] Marcelinus Molo, “sex dan gender : APA DAN MENGAPA” , populasi vol.4 no.2, 1993, hal: 86


 

 

Sumber internet :

https://www.kompasiana.com/arasalsa/5c8a6fe23ba7f70c4c5a3092/apa-itu-gender

https://tirto.id/pelecehan-seksual-juga-dialami-laki-laki-czty

sumber jurnal :

Marcelinus Molo.1993.sex dan gender : APA DAN MENGAPA.populasi.vol.4 no.2.hal: 86

1 Komentar


  1. AJOQQ agen jud! poker online terpecaya dan teraman di indonesia :)
    gampang menangnya dan banyak bonusnya :)
    ayo segera bergabung bersama kami hanya di AJOQQ :)
    WA;+855969190856

    BalasHapus