Dramaturgi Pemerintah: Penyebab Masyarakat Melakukan Resistensi Atas UU Cipta Kerja
Dramaturgi Pemerintah: Penyebab
Masyarakat Melakukan Resistensi Atas UU Cipta Kerja
Oleh: Tamara Oktaviyana
Banyaknya
permasalahan saat ini, berawal dari pemilihan calon presiden tahun 2019,
menimbulkan pertarungan politik. Membuat suasana merebut kursi presiden semakin
sengit. Berbagai cara dilakukan oleh kedua paslon, dengan strategi yang
dijalankan semaksimal mungkin, berlomba-lomba meyakinkan masyarakat bahwa
Paslon nya merupakan Paslon terbaik demi mendapatkan kekuasaan. Berbagai
pidato, target, perencanaan, dan janji-janji disampaikan dengan lantang kepada
masyarakat berjanji akan mendengarkan aspirasi rakyat, bertanggung jawab, jujur
dan amanah, agar mendapat kepercayaan dan dukungan yang kuat. Selanjutnya salah
satu paslon yang terpilih tentu saja akan memberikan citra baik didepan semua
orang, memberikan komitmen terbaik, mendeskripsikan visi, misi, dan janji.
Salah
satu janji yang disampaikan oleh Paslon terpilih ialah janji untuk memperbaiki
nasib buruh, yang terdapat dalam butir 2.6 terkait pengembangan reformasi
ketenagakerjaan :
· Berjanji
akan membangun sistem pemburuhan dan pengupahan yang dapat meningkatkn
kesejahteraan, karena ketenagakerjaan dianggap memiliki peran penting dalam
peningkatan produktivitas dan daya saing bangsa.
· Meningkatkan
keterampilan pencari kerja dan buruh dengan pelatihan vokasi dan sertifikasi
dengan melibatkan pemerintah, dunia usaha dan kalangan pendidikan, dan
memperluas akses buruh untuk mendapatkan beasiswa.
· Meningkatkan
perlindungan bagi tenaga kerja di sektor informal maupun bagi buruh migran
secara terintegrasi. Kemudian mebenahi sistem, pelayanan dan kualitas buruh
migran, dan akses pembiayaan KUR.
Kemudian
Mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan
debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan
pasti. Bahkanan berjanji akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan yang selama ini dikeluhkan oleh para buruh agar menjadi
lebih baik lagi.
Namun
pada realitasnya Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah telah mengesahkan
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada tanggal 05 Oktober 2020 dalam rapat
paripurna dengan waktu yang begitu cepat. Diketahui draf RUU diserahkan
pemerintah ke DPR, hanya memakan waktu enam bulan. Dikebutnya pembahasan RUU
diakui oleh Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas, beliau mengatakan
bahkan anggota DPR sengaja bekerja 7x24 jam hingga menggunakan waktu reses
untuk merampungkan pembahasan RUU ini.
Terjadinya
kasus tersebut menunjukan bahwa adanya kejanggalan dan pemaksaan dalam
mengesahkan UU Ciptaker. Menyebabkan kontroversi di berbagai kalangan. Mendapat
kritik dari kelompok pekerja, buruh dan akademisi. Bahkan tiga hari setelah
undang-undang tersebut disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna penutupan masa
sidang, terjadi unjuk rasa besar-besaran sebagai resistensi atas materi UU
Cipta Kerja yang hampir terjadi di semua wilayah Indonesia. Massa aksi yang
umumnya kelompok buruh, dan mahasiswa, melakukan demo besar-besaran terkait
poin-poin UU Ciptaker yang merugikan buruh, beberapa diantaranya ialah:
1.
Dipangkas
nya hari libur
UU
Cipta Kerja menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja yang
sebelumnya sudah di atur dalam UU Ketenagakerjaan. Hal itu tertuang dalam Pasal
79 Ayat (2) poin b menyebutkan, istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam
hari kerja dalam satu minggu. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti
tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh bekerja selama
12 bulan secara terus menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti
tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) juga menghapus cuti panjang dua bulan
per enam tahun. Cuti panjang nantinya akan diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama, dan cuti panjang dua
bulan per enam tahun dihapus.
Hal
ini sangat kontradiktif dengan aturan dari UU Ketenagakerjaan yang telah
disahkan lebih dulu. Dalam UU tersebut disebutkan dan dijelaskan secara detail
terkait cuti atau istirahat panjang bagi pekerja dapat dilakukan oleh pekerja
yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.
2.
Jam
lembur jadi lebih lama
Pasal
kontroversial lainnya dalam UU Cipta Kerja ialah pasal yang menyebut tentang
jam lembur di kantor menjadi lebih lama. Ketentuan itu lebih lama dibandingkan
UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa kerja lembur dalam satu hari
maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu. Sedangkan dalam draf Omnibus Law
yang sekarang sudah disahkan menjadi UU Cipta Kerja disebutkan dalam BAB IV
tentang ketenagakerjaan dalam Pasal 78 bahwa waktu kerja lembur bisa dilakukan
paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.
3.
Pesangon
Dalam
UU Cipta kerja dapat dipastikan pekerja akan tetap mendapatkan pesangon. Akan
tetapi terdapat perbedaan pada jumlah yang diberikan berkurang dari maksimal 32
bulan menjadi bulan. Di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar
BPJS Ketenagakerjaan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Hal itu
tertuang dalam Pasal 46A.
4.
PHK
Pasal
81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan
pemutusan hubungan kerja. Dituliskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa
terjadi dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh
mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan. Sementara, pasal
172 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa buruh berhak atas dua kali pesangon
jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan.
5.
Mempermudah
perekrutan TKA
Adanya
indikasi pemerintah tertuang dalam Pasal 42 yang intinya mempermudah izin bagi
Tenaga Kerja Asing (TKA) menimbulkan kontroversi. Pasal tersebut akan
mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA
mendapatkan izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk agar bisa
bekerja di Indonesia. Apabila mengacu kepada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, TKA
harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja
Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin menggunakan Tenaga Kerja
Asing (IMTA). Akan tetapi, pengesahan UU Cipta Kerja ini mempermudah perizinan
TKA. Dalam UU Cipta Kerja yang baru TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja. Hal
ini dikhawatirkan dapat menyingkirkan tenaga kerja Indonesia ke zona yang tidak
menguntungkan secara ekonomi dan menjadikan tenaga kerja Indonesia semakin
terpuruk.
Beberapa
pasal tersebut dianggap meresahkan rakyat. Dianggap terlalu pro kepada kaum
pemilik modal. Berbeda dengan apa yang telah dijanjikan pemerintah, akan
memberi kesejahteraan dan perbaikan kepada buruh melalui UU Ciptaker. Namun
yang terjadi berbanding terbalik, adanya pengesahan UU Ciptaker, justru buruh
merasa lebih dirugikan ketimbang disejahterakan.
RUU
Ciptaker dinilai kelompok buruh banyak memuat pasal-pasal yang merugikan
berbagai elemen masyarakat, mulai petani, buruh, hingga nelayan. Menurut
mereka, RUU ini akan menambah pengangguran dan memperburuk kondisi kerja, salah
satunya karena berpotensi memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan bagi
petani, RUU Ciptaker dinilai membuat peran pemerintah hanya menjamin
ketersediaan lahan bagi investor dengan mengorbankan fungsi sosial tanah bagi
rakyat.
Sedangkan
berdasar pada kajian akademisi lintas disiplin ilmu dan kampus, UU Cipta Kerja
mengandung cacat formil dan materil. UU itu mengancam hak asasi manusia, dan
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara. Prosedur dan materi UU Cipta Kerja,
menurut para akademisi, telah mempermainkan logika hukum dan memanipulasi
prosedur demokrasi. “Adalah kejahatan legislasi yang nyata dan berbahaya bagi
kelangsungan negara hukum dan demokrasi." Ujar pak Mughis Dosen Universitas
Negeri Jakarta
Itulah
alasan mengapa UU Cipta kerja langsung menuai kecaman dan aksi mogok nasional
dari para buruh. Sebab, banyak aturan dalam UU tersebut yang dianggap dapat
memangkas hak pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha. Sampai saat ini demo
masih terus berlangsung secara bertahap, namun tetap saja tidak ada evaluasi
dan sikap yang tegas untuk mengayomi aspirasi masyarakat.
Selanjutnya
kekecewaan pun diwarnai kembali dengan kabar bahwa pada saat demo berlangsung,
Presiden tidak ada di Istana, beliau melakukan kunjungan kerja di Provinsi
Kalimantan untuk meninjau lumbung pangan atau food estate, penanaman padi,
keramba ikan, serta peternakan bebek yang terletak di Kecamatan Pandih Batu.
Disatu sisi lain, dengan segala keresahan dan kekacauan yang masih berlangsung,
pemerintah bersikeras bahwa apa yang beredar dimasyarakat terkait UU Ciptaker
merupakan informasi bohong yang dibesar-besarkan (hoax).
Oleh
karena itu, terjadi nya resistensi masyarakat tidak lain merupakan bentuk
kekecewaan terhadap para pemimpin bangsa ini atas kepercayaan yang telah di
khianati.
Selanjutnya
jika dilihat melalui sudut pandang Sosiologi apa yang dilakukan oleh para
pemimpin bangsa ini sangat lah relevan dengan teori Dramaturgi Erving Goffman
dalam bukunya The Presentation of
Everyday Life (1959) mengatakan bahwa dramaturgi adalah sebuah teori dasar
tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Menganalogikan kehidupan
sosial dalam interaksi manusia seperti panggung sandiwara atau sebuah drama,
dan manusia sebagai aktor nya. Dalam dramaturgi terdapat frontstage (panggung
depan) dan backstage (panggung belakang).
Front
stage adalah area ataupun gambaran yang ditampilkan, tempat dimana seorang
aktor memainkan peran sesuai keinginannya, dengan motif tertentu, dan dapat
merekayasa segala hal agar citra nya baik. Sedangkan back stage, terlihat
kehidupan aslinya, tanpa di rekayasa, dan apa adanya. Dalam backstage terdapat
kegiatan aktor yang harus disembunyikan karena merupakan hal-hal yang
bertentangan dengan front stage dan fakta ini tidak diperlihatkan ketika aktor
berada di panggung depan. Di backstage ini pula aktor bersantai, mempersiapkan
diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Sebagaimana
perilaku pemimpin saat ini yakni,
1.
Front stage :
Sebelum
terpilih menjadi Presiden maupun jajaranya, sangat giat melakukan segala upaya
untuk meyakinkan, dan menarik perhatian masyarakat agar memenangkan perolehan
suara yang tinggi. Mengumbar janji demi mendapatkan citra baik dari masyarakat,
meyakinkan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, benar, dan bertanggung jawab,
melontarkan visi dan misi, serta mengatakan akan berkomitmen, mendengar kan
keluhan rakyat.
Selain
itu berjanji akan mensejahterakan rakyat khususnya pada buruh, dengan cara
melakukan perubahan RUU ketenagakerjaan yang lebih baik, selain itu menyatakan
bahwa RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi,
sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti.
2.
Back stage :
Pada
kenyatannya di panggung belakang, ketika sudah terpilih menjadi Presiden maupun
DPR, mereka mengesahkan RUU Cipta Kerja dengan waktu yang relatif singkat, dan
terburu-buru tanpa sepengetahuan rakyat, memuat pasal-pasal yang merugikan
berbagai elemen masyarakat, mulai petani, buruh, hingga nelayan dan memperburuk
kondisi kerja. Sebagai pemegang kekuasaan, pemerintah juga tidak memperdulikan
masyarakat, baik dalam bentuk demonstrasi maupun aspirasi semua di abaikan,
tidak ada evaluasi dan ketegasan lebih lanjut mengenai demo besar-besaran. UU
Cipta Kerja yang telah di sah kan juga sangat mendegradasi hak-hak dasar buruh,
membuat masyarakat kecil merasa dirugikan. Namun mengetahui hal itu pemerintah
dan jajarannya tidak melakukan tindakan apapun bahkan pada saat demo
berlangsung presiden melakukan kunjungan kerja di Kalimantan, sebagai usaha
untuk menghindari adanya ancaman maupun kumpulan massa/ aksi.
UU
Ciptaker bukanlah keinginan dari keseluruhan masyarakat namun sebuah keinginan
suatu kelompok tertentu, sehingga undang-undang yang dibuat bermanfaat bagi
suatu kelompok tertentu, namun bisa merugikan bagi kelompok lain. Kelompok
disini tidak lain pimpinan bangsa yang telah berjanji di panggung depan.
Oleh
karena itu, secara garis besar penyebab resistensi masyarakat saat ini
sebenarnya berawal dari dramaturgi pemerintah yang berusaha menampilkan drama
terbaik mereka di hadapan seluruh rakyat indonesia sebagai upaya mendapat kursi
kekuasaan dan memiliki tujuan maupun motif tertentu. Akibatnya dramaturgi pada
pemimpinan bangsa, menciptakan perbedaan antara front stage dan back stage yang
menuai resistensi atas UU Ciptaker yang di sah kan.
Daftar Pustaka
M.
Arif Farida. 2014. Dramaturgi Pemilihan Presiden Indonesia 2014. Jurnal
Interaksi. 3(2) : 184
Suneki
Sri, dan Haryono. 2012. Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan Sosial.
Jurnal Ilmiah CIVIS. 2(2)
Rusmulyadi,
dkk. 2018. Dekonstruksi Citra Politik Jokowi Dalam Media Sosial. Jurnal Ilmiah
Ilmu Hubungan Masyarakat. 3(1):120
1 Komentar
AJOQQ menyediakan permainan poker,domino, bandarq, bandarpoker, aduq, sakong, bandar66, perang bacarat dan capsa :)
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami dan menangkan uang setiap harinya :)
AJOQQ juga menyediakan bonus rollingan sebanyak 0.3% dan bonus referal sebanyak 20% :)
WA;+855969190856