Tiadanya Sensitivitas Seksual Pada Bocah Lelaki

Oleh: Andiko


Sumber gambar: Liputan6.com

            Masa anak-anak adalah masa yang paling banyak mendapatkan tawa. Ketidakpedulian dan tidak sampainya pikiran yang dipikirkan orang dewasa sewaktu bocah mengantarkan mereka pada situasi yang selalu ceria, tidak peduli apapun yang terjadi pasti tertawa akan kembali membumi. Bocah cenderung belum mengerti baik-buruk, benar-salah, indah-jelek mereka hanya peduli untuk memuaskan urat kebahagiaan mereka dengan hal-hal yang entah itu baik atau buruk, benar atau salah, dan indah atau jelek.

            Pada saat pandemi seperti ini pun bocah tidak akan terlalu peduli pada apa yang mereka tidak ketahui soal mara bahaya virus, ingat mereka hanya peduli memuaskan urat kebahagiaannya. Pandemi hanya menjadi libur panjang dari kegiatan yang menurut sebagian mereka membosankan karena terlalu lama berada dalam ruangan. Pembelajaran dari rumah yang tidak terlalu efektif lantas mereka asosiasikan menjadi libur yang teramat panjang. Berbekal asumsi libur panjang, tidak sedikit dari bocah lelaki yang ingin beranjak dewasa dengan cara membersihkan kemaluannya, ya, sunat

Mari kembali membayangkan dunia tanpa pandemi. Bocah lelaki akan digelarkan pesta oleh orangtua menyambut peristiwa yang hanya dialami satu kali seumur hidup. Pesta “awal menuju kedewasaan” itu menjadi momen yang tidak akan dilupakan seumur hidup karena memang sangat membahagiakan—saya yakin tidak ada yang akan membantah ini. Rasa sakit ketika disunat hanya 15 menit atau 30 menit paling lama—walaupun setelahnya harus mengeringkan kemaluan—dan setelahnya pesta digelar: makanan dihidangkan seakan tidak ada habisnya, teman-teman main berkunjung dan memberi selamat, dan teman-teman orangtua bahkan saudara jauh puas berbincang-bincang dengannya. Dengan diberikannya uang yang jumlahnya beragam, hati bocah akan riang tak terktira.

Bagai terbang ke angkasa dan tidak ingin pulang, begitulah perasaan setiap bocah yang sangat senang memegang uang “segepok”. Bayangkan saja, pesta yang diadakan sekali seumur hidup dan mendapat uang kompensasi atas kesakitan pada saat sunat dan proses penyembuhannya benar-benar sepadan untuk menjadikan  sunatan menjadi pesta terindah bagi bocah laki-laki. Pesta ini bisa menjadi kompetisi untuk diceritakan pada teman main mereka, misal “aku mendapat amplop senilai 15 juta lho”, “makanan di sunatanku teriyaki dan kepala kakap, ngga ada yang bisa ngalahin enaknya”, “punyaku langsung kering dong karena pakai klaimp, ngga perlu pakai sarung kalau mau kemana-mana”, “ah diam saja kalian kalau masih berdarah pas disunat, wong aku ini sebelum disunat main bola, sempat main petak umpat juga, dan ngga ada yang bisa ngalahin waktu main tetep ngga berdarah dong. Kalian yang dikarantina seminggu sama mamak kok masih berdarah, hahaha”.

Selepas sembuh dan bisa memakai celana seperti sedia kala, mereka benar-benar melupakan dan tidak memikirkan bahwa mereka adalah korban dari tindak kekerasan, bukan fisik, bukan verbal, tapi kekerasan seksual. Bagi para pembaca, silakan buka Twitter dan saksikan betapa hampir setiap hari banyak korban kekerasan seksual membuka apa perlakuan perilaku kekerasan kepada mereka. Mulai dari catcalling, sexual harashment, memandang lekat-lekat seakan bisa menembus pakaian korban, hingga tindak pemerkosaan. Satu jenis yang selama ini tidak pernah diangkat dalam kampanye kekerasan seksual adalah mereka para bocah lelaki yang merasa senang ketika menerima “segepok” uang, mereka yang senang-senang menceritakan pesta sunatannya, mereka yang diiming-imingi akan tumbuh tinggi ternyata hampir semua dari mereka adalah korban kekerasan seksual berkedok kultural.

“Coba tante lihat biar cepat sembuh”, “coba dikasih unjuk ke teman papah, dek, biar dapat uang banyak buat beli karambol”, “ih masa paman ngga boleh ngelihat, sih, kan sama-sama lanang”, “kalau boleh tante tiup, tante kasih 100 ribu deh, nih kalau ngga percaya”. Betapa kejam tindak pelecehan  tersebut dan betapa tidak memilikinya mereka akses untuk pengaduan. Jangankan untuk mengadu, wong edukasi bahwa itu salah saja tidak ada, jangan harap sub kebudayaan menyimpang itu akan lenyap. Kemungkinan terburuk apabila budaya ini terus bertahan adalah tidak akan pernah bocah lelaki memiliki harga diri karena mereka polos dan merasa tidak mengapa kemaluan mereka diperlihatkan secara gamblang dengan iming-iming uang.

Saya menyatakan bahwa, marilah kita melihat secara seksama dan lebih luas lagi mengenai korban kekerasan seksual yang sepertinya dengan kasat mata tidak mengapa. Padahal sudah termasuk dalam definisi kekerasan seksual. Mari kita membuat butterfly effect dari pemutusan mata rantai sub kebudayaan menyimpang ini. Walaupun secara kasat mata tidak ada yang salah—karena selalu dipandang lewat kacamata awam—tetapi tidak membuat gerakan anti pelecehan seksual terlimitasi pada orang dewasa dan marilah memutus stigma bahwa laki-laki tidak bisa menjadi korban. Mari lindungi anak-anak dari predator.

0 Komentar