Cerpen
Pulang
Pulang
sumber gambar: google.com
Menunggu tidak bisa diukur oleh angka…
Cahaya kuning keemasan merangkak melebar dari ufuk
timur memenuhi segala sudut langit. Pagi itu Ning sudah terbiasa mengisi perut
tepat matahari terbit. Ia telan ubi rebus yang masih beruap itu sambil
memandangi Asih yang masih terbaring di atas dipan tua. Dipan yang terbuat dari
bambu itu tampak memaksakan diri menjaga posisinya yang dimakan usia. Sementara
Asih masih menjaga mimpinya, entah itu mimpi yang indah atau mimpi buruk. Ning
melanjutkan menengok keluar jendela, mengira-ngira berapa menit lagi ia harus
lekas pergi ke ladang. Maklum, keluarganya tidak sempat memiliki benda bulat
penunjuk angka 1 sampai 12.
Ya, keluarga Ning ‘sangat’ sederhana. Alangkah tidak
bersyukurnya bahkan hanya sekedar membayangkan bisa menyantap roti berselai rasa
strawberry dan segelas susu hangat di pagi hari. Ning tahu hal itu dari
ketidaksengajaannya mendengar obrolan ibu-ibu di ladang. Ning berhenti
membayangkannya. Kenyataan bahwa Ning dan ibunya, Asih, tinggal di desa yang
terbilang cukup terpelosok. Hidup berdua bukan masalah. Paling tidak Ning masih
dapat menghirup udara segar setiap pagi, merebus apapun yang bisa ia makan, memandangi
kebun jagung yang mulai menguning dan bekerja di ladang milik pak lurah. Bisa melakukan
semua itu artinya ia masih hidup.
Ning cepat-cepat menghabiskan ubi rebus bahkan
sebelum uapnya hilang sempurna. Ia menyisakan beberapa untuk dibawa sebagai
bekal makan siangnya di ladang, dan beberapa diletakkan diatas meja dekat dipan
Asih. Ia masih harus berkerjasama dengan kakinya menuju ladang. Jaraknya hampir
tiga kilometer. Cukup membuat otot kaki Ning menjadi kencang di masa puncak
pertumbuhannya. Tapi lagi-lagi itu bukan masalah baginya. “Yang penting masih
bisa hidup di hari esok dan berharap seseorang datang membawa roti berselai
strawberry dengan susu kaleng”
***
“Mas berangkat ya dek..” Kalimat terakhir yang
diucapkan Joko kepada Asih. Ning yang ada dalam gendongan Asih pun seolah
mengerti suasana kala itu. Wajahnya memerah hendak menangis namun tertahan.
Usianya baru genap 12 bulan. Asih menatap lamat-lamat kepergian suaminya menuju
kota. Berharap kembali dan mengubah nasib keluarga muda mereka. Sosok Joko yang
semakin menjauh dari pandangan Asih semakin samar hingga akhirnya menghilang
seutuhnya. Kini semakin terasa dingin ketika malam, lengkap dengan
kesunyiannya. Semakin terasa engap ketika siang, sempurna dengan penantiannya.
Joko seorang anak petani yang nekat menghamili Asih
saat usianya menginjak angka 20 tahun, gadis yatim piatu. Perbuatannya yang
diluar etika membuatnya harus menanggung segala resiko. Joko sudah tidak diakui
sebagai anak lagi oleh kedua orang tuanya. Hal yang lebih mendesak lagi, Joko
harus bertanggung jawab atas Asih dan calon anaknya. Ia memantapkan hati untuk
memulai hidup baru dengan Asih, awalnya.
“Kamu tidak perlu khawatir, aku bisa menjagamu Asih.
Aku bisa bekerja apa saja” Ucapnya lembut pada Asih, perempuan yang amat
penurut.
Kehidupan baru yang mereka jalani penuh cinta. Asih
dengan perutnya yang kian hari makin membesar masih membantu Joko dengan
berjualan oyek. Sengaja membuatnya tak begitu banyak, yang penting habis
terjual dan tidak rugi. Sedangkan Joko bisa bekerja di ladang dan di mana pun
yang memerlukan tenaganya. Pasangan muda yang selalu bersyukur berapa pun uang
yang mereka dapat. Dengan begitu, hari yang terasa berat mudah dilewati. Segala
kebutuhan mereka cukup cukupkan. Meski sempat berhutang beberapa kali walau
tidak banyak.
Semua berjalan cukup baik bagi mereka hingga
mendekati hari kelahiran sang buah hati. Namun beberapa minggu setelah
kelahiran bayi mereka, ekonomi pun mulai kewalahan. Yang biasanya hanya
kebutuhan 2 orang, sekarang menjadi 3 orang. Terlebih lagi kebutuhan untuk bayi
yang cukup banyak. Apalagi bila si bayi sedang sakit, hutang pun tak
terhindarkan lagi.
Joko semakin ekstra bekerja. Siang malam, ia
berusaha mendapatkan uang lebih banyak dari biasanya. Sesekali ia menengadahkan
wajahnya di bawah terik matahari yang semakin lama semakin menyengat. Iapun
melepaskan tudungnya, menepi dari
kubangan lumpur dan duduk di pinggir tanggul. Sambil berfikir apa yang harus ia
lakukan untuk menambah penghasilan.
“Liren
mas?” Sapa laki-laki paruh baya yang bekerja di kubangan sebelah.
“Inggih pakde.”
Balas Joko ramah.
“Sudah umur berapa anakmu mas?” Tanya laki-laki
tadi. Keluarga Joko memang cukup dikenal warga sekitar karena Joko sering
menanyakan pekerjaan pada mereka.
“Sudah 10 bulan pakde”
“Maaf sebelumnya mas, apa benar kalau mas lagi cari
uang tambahan?” Tanya Pakde seketika membuat Joko semangat untuk berbincang.
“Inggih pakde,
apa saja InsyaAllah saya kerjakan”
“Kemarin anak perempuan saya ditawari untuk kerja di
kota. Upahnya memang lebih besar daripada kerja buruh harian seperti kita ini.
Tapi saya tidak izinkan karna dia perempuan. Saya takut kenapa-napa. Kalau mas
mau, nanti saya kasih alamatnya” jelas laki-laki itu.
***
Sudah lama sekali rasanya mas Joko. Anakmu Ning
sekarang mulai menanyakan kepulanganmu. Sulit sekali bagiku menjawabnya mas,
sedang aku sendiri tidak tahu pasti keadaanmu. Tapi aku masih meyakinkan diriku
bahwa kau akan kembali. Kau tidak akan lupa jalan menuju gubuk kita mas. Walau
banyak yang berubah disini, tapi gubuk kita masih tetap sama mas sejak pertama
kali kita tempati. Para tetangga juga masih baik padaku. Mereka sering
memberiku macam-macam. Akupun semakin andal bekerja di ladang sekaligus membawa
Ning di punggungku. Ning setiap hari bertumbuh besar, aku mulai merasakan
beratnya semakin bertambah hingga akhirnya aku tak kuasa membawanya di
punggungku lagi.
Waktu terus berlalu. Bahkan Ning sudah bisa membantu
pekerjaanku sedikit-sedikit di usianya yang baru 7 tahun mas. Tidak seperti
anak-anak yang lain, nakal, suka sekali membantah ibunya. Malah semakin Ning
tumbuh besar, seolah mengerti dan tidak lagi menanyakan kepulanganmu. Tenang
saja mas, aku masih terus berusaha menjadi ibu yang baik hingga aku maupun
dirimu nanti tidak akan melihat kesepian di matanya. Oh iya, dia suka sekali
dengan ubi rebus sama seperti dirimu. Ning tumbuh menjadi anak yang penurut. Seperti
yang aku bilang tadi, jika anak lain susah sekali disuruh berhenti bermain oleh
ibunya, Ning justru lebih suka membantuku. Sesekali aku menyuruhnya untuk ikut bermain
dengan teman-temannya. Supaya ia tidak melewatkan masa kanak-kanaknya.
Kau tau mas, aku masih sering menanyakan dirimu pada
pakde yang rumahnya dekat kebun jagung itu. Aku hanya tahu kau pergi ke kota
yang diberitahu olehnya. Bahkan aku tidak tahu pastinya dimana letak kota itu
berada. Namun selalu tidak ada jawaban yang aku inginkan. Katanya, dia pun
tidak tahu bagaimana caranya untuk menghubungimu. Saking seringnya, aku sampai
tidak enak hati padanya. Hingga sampai pakde itu meninggal dunia, aku pun
berhenti menanyakan dirimu mas. Sesekali aku membayangkan seberapa banyak uang
yang kau bawa nanti mas. Apakah cukup dengan 3 atau 4 tas. Aku rasa itu sudah
sangat banyak mas. Aku yakin, uang yang kau bawa itu apabila untuk membeli
tanah pak lurah pun masih bersisa. Makanya mas, mau sampai kapan kau pergi.
Pulanglah, sebelum aku berubah menjadi lebih tua. Sebelum aku lupa raut
wajahmu.
Berbeda denganku, Ning semakin cantik saja mas. Dia
juga mulai menggantikanku bekerja. Katanya karna aku sering sakit-sakitan. Padahal
aku belum juga genap 40 tahun tapi tubuhku hanya bisa berbaring di dipan kita.
Entahlah mas apakah kau masih sudi denganku yang semakin lemah ini. Sesekali
aku masih bisa merawat ubi di belakang gubuk kita, setelah itu aku terbaring
lagi. Semakin lama aku terbaring, semakin besar rasa tidak percaya diriku untuk
tetap menunggumu mas. Aku pernah bertanya pada Ning, anak kita. Apakah ia masih
mengharapkanmu pulang? Ataukah ia sudah bosan menghitung waktu. 1 tahun, 10
tahun, hingga sampai usianya 18 tahun. Tapi coba tebak apa jawabannya mas.
Katanya, menunggu itu tidak bisa diukur oleh angka.
0 Komentar