Opini
Setiktok Dua Tiktok dan Ejakulasi Pram yang tak Klimaks
Setiktok
Dua Tiktok dan Ejakulasi
Pram yang tak Klimaks
Oleh: Dustin Tiffany
Menarik bukan suatu yang dulu kau
hina kini dipuja-puja selayaknya lupa bahwa pernah dikritik dan dibantai
habis-habisan setelah bonyok terkapar, dan yaa, comeback is real. Ambil
contohlah tiktok, masih ingat fenomena bowo dan meet n greetnya
yang sempat viral belakangan tahun lalu? Ya, kini segala usia berlomba membuat
konten dan menyebarkannya ke seluruh penjuru media sosial karena engagement yang
melonjak di platform tersebut karena digunakan oleh influencer
yang kalian ikuti di media sosial. Kita seakan lupa seluk beluk historis akan
kejadian cringe yang kita alami ketika platform tersebut meledak
dengan segala fenomena geli yang kita lihat beberapa tahun silam.
Lalu ke titik serius alasan saya
membuat tulisan ini, kembali lagi agar kita mencintai suatu fenomena tak
berlandaskan romantisme kita pribadi dengan elemen-elemen pendukung yang hanya
menciderai pemaknaan secara utuh.
Salah satu aliran sastra yang
sempat meledak beberapa dekade silam dikecam, lalu hilang dan kini kembali
dicintai adalah suatu fenomena yang lebih serius daripada tiktok. Ya,
Realisme sosialis. Fenomena sastra yang kembali meledak belakangan dengan
dipeloporinya beberapa penulis realis yang lahir di abad ini dan Pram yang seakan
kembali hidup dan ditemukan di pojokan sejarah yang terlupakan. Pram dengan
bumi manusianya sekonyong-konyong jadi primadona di segala toko buku dua tahun
belakangan. Memang kekuatan realisme sosialis tak bisa dipungkiri layaknya
magnet yang jadi tautan antara imajiner kita dan realitas yang kita anggap f*cked
up belakangan.
Realisme sosialis pertama kali
dicetuskan dan muncul ke permukaan ibu pertiwi saat LEKRA mencoba
menghadirkannya ke permukaan dari dasar pergolakan sastra saat itu. Pun awal
kemunculannya menghadapi berbagai cacian, makian dan ejekan-ejekan dari elitis
sastra pada kala itu. Simpel, dan mirip seperti tiktok. Realisme
sosialis dianggap tidak memenuhi kaidah-kaidah seni dan sastra yang seharusnya
dipenuhi. Lebih lanjut, kembali pada hal ihwal yang sedari dulu hingga sekarang
tak lepas dari dasar kritikan manusia-manusia +62 pada umumnya, yakni
penyerangan individu dan asal muasal suatu karya diterbitkan. Ya, realisme
sosialis lebih banyak dikritik dan dimaki dikarenakan ia terlahir dari rahim
LEKRA. Lahir dari ovulasi Organisasi seniman yang berhubungan badan dengan PKI
(Partai Komunis Indonesia) dan ya, PKI adalah anak haram yang tak boleh
bernafas barang setarik di bumi ini.
Perlu digarisbawahi bahwa
realisme sosialis tak sesimpel penarikan realitas kearah lakon sastra dan
ekosistem di dalamnya. Realisme sosialis yang berkiblat dari tanah lahirnya,
Uni Soviet singkatnya, mempraktikkan nilai-nilai sosialisme di bidang
kreasi-sastra. Ia merupakan bagian integral daripada kesatuan mesin perjuangan
umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan atas rakyat
pekerja, yakni buruh dan tani, dalam menghalau imperialisme-kolonialisme pada
rakyat pekerja pada saat itu.
Realisme sosialis dianak-tirikan
selaku anak kandung yang lahir normal dari humanisme. Ia dianak-tirikan
semenjak datangnya cabang falsafah humanisme universal yang cenderung membela
kepentingan borjuasi dan bersifat elitis. Ia disingkirkan bak tiktok yang dianggap mencederai kaidah-kaidah
konten videografi yang tak lebih dari sekedar sampah dan cacat secara teknis.
Jawaban yang tepat datang dari Andrei Zidanov pada tahun 1934 di hadapan
kongres I Sastrawan Soviet di Moskwa;
“Pertama-tama,
ini berarti bahwa kita harus mengenal hidup untuk bisa melukiskannya dengan
sebenarnya dalam suatu kerja seni, tidak dengan cara sekolahan yang kering.
Tidak hanya melukiskan “kenyataan objektif saja”, tapi melukiskan kenyataan
dalam pertumbuhan revolusionernya.”
Lalu,
kembali kita arahkan tulisan ini untuk menjawab mengapa tren sastra semacam ini
walaupun masih dipahami secara serampangan begitu hegemonik dan bahkan
difasilitasi oleh kapitalisme. Sebenarnya perlu ditarik dua jawaban yang
mengakar pada pertanyaan tersebut. Pertama, akankah realisme sosialis yang
menghegemonik kekuatan kapital toko buku konvensional atau kah kedua, realisme
sosialis yang dihhegemonik untuk mengeruk keuntungan.
Untuk
jawaban pertama diperlukan pembedahan dialektis untuk mendukung fenomena
terangkatnya realisme sosialis itu sendiri. Realisme sosialis perlu dipahami
agar tercapainya tujuan-tujuan penghapusan penghisapan dan ironi yang tak
sebatas romantisme perkembangan tokoh utama dan elemen-elemen pendukung
lainnya. Sebut saja, romantisme Minke dan Annelies yang dibanding-bandingkan
dengan Dilan dan Milea. Selemah itukah Pram melegitimasi peristiwa sejarah di
dalam bumi manusia? Saya rasa tidak, lalu mengapa demikian rendahnya
elemen-elemen utama tadi untuk dijadikan patokan serius untuk diterapkan di
kehidupan sekarang?
Elemen-elemen
utama yang coba disajikan umumnya hanya dimaknai sebagai penggambaran
romantisme individu abad 19 di tengah keterbatasan akses “bucin” pada saat itu.
Saya katakan demikian karena memang itulah fakta yang coba dikomodifikasi dalam
penciptaan tren tersebut. Kita bisa lihat dan merenungi fenomena ini lebih
lanjut. Dialektikanya tak jauh dimaknai pada ironi romantisme Minke ditengah
ketidak-adilan pribumi mendapat hak universalnya untuk memenuhi hasrat
romantisnya. Namun, sekali lagi luput ditemukan dan diketengahkannya elemen utama
yang merupakan cita-cita realisme sosialis itu sendiri. Mungkin, salah satu
jawabannya adalah karena kita lahir di zaman yang sangat mencintai romantisme
buta, tak hanya romantisme di taraf mikro. Hal ini diperparah dengan state
apparatus yang melembagakan romantisme di taraf makro.
Romantisme disini dilandasi pada ironi dan kegagapan dalam melihat fenomena
secara menyeluruh, utuh dan tak terpenggal.
Kita
masih ingat dengan fenomena “dungu” yang dipopulerkan filsuf abad 21, Rocky
Gerung. Ia bagaikan air yang menyegarkan gurun sahara cara berpikir. Namun,
cara berpikir dialektis semacam ini menjadi cara berpikir yang elitis ketika
dipopulerkan dan menyeruak di tengah-tengah masyarakat. Ini yang melandasi
pentingnya fenomena sastrawi semacam realisme sosialis perlu untuk didukung
dengan penjabaran menyeluruh akan kembali ketengahnya elemen-elemen utama yang
coba disampaikan.
Untuk
jawaban kedua, hal inilah yang mungkin terjadi saat ini. Pertama, Gagalnya
fenomena-fenomena historik yang terpiting romantisme elemen-elemen pendukung.
Kedua, kritisme pembaca yang terkungkung wacana-wacana umum yang tak
mempelajari pengalaman-pengalaman tak langsung dari elemen inti yang coba
diketengahkan pada setiap wacana yang coba dibalut secara implisit.
Kentang
bukan jika suatu karya realisme yang kaya nilai historik dan elemen-elemen
pokok yang memicu gagasan idiom penggerak hanya dimaknai seremeh-temeh ini.
Benar memang Pram mengatakan bahwa, jika anaknya lahir itu sudah lepas dari
kuasanya. Ia menjadi prematur, mati muda ataupun abadi. Namun apa guna
keabadian jika ia tak dimaknai dengan tujuan awal sang penulis menyiratkan
kerealisan dan kesosialisannya? Menangislah Pram melihat karyanya
dikomodifikasi hanya sedemikian rupa.
0 Komentar