Opini
Transformasi Kurikulum: Kesiapan Implementasi Sistem di Indonesia
Sumber gambar: edyutomo.com |
Oleh: Maulana Malik Ibrahim
Secara garis besar pembahasan kurikulum sangat menarik
perhatian, lantaran dinamika kurikulum dari tahun ke tahun yang sudah
ditransformasikan dalam bagian kalimat terakhir sistem yang mewadahi pendidikan
tersebut. Dilihat dari sisi historis, perkembangan kurikulum nampak berubah
seiring dengan apa yang dibutuhkan oleh peserta didik dan juga perkembangan
zaman. Gerak dinamis zaman mengantarkan sistem pendidikan Indonesia diharuskan
me-revisi belasan kali kurikulum pendidikannya untuk mencapai target yang
diinginkan atau setidaknya mengakomodir pesatnya perubahan pada aliran-aliran
pendidikan era kini. Secara fundamental, kurikulum merupakan acuan pembelajaran
dan pelatihan dalam pendidikan atau pelatihan, oleh karenanya pengembangan
kurikulum melibatkan pemikiran-pemikiran secara filsafati, psikologi, ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya. Landasan filsafat pendidikan akan menelaah
fungsi sebuah kurikulum secara mendalam sehingga dapat menemukan substansi dari
sebuah kurikulum pendidikan.[1]
Pada saat yang bersamaan, pengembangan telaah kurikulum menjadi sangat intens
ketika wacana perubahan kurikulum digaungkan pemerintah untuk mencapai standar
pendidikan yang kompetitif demi martabat bangsa. Perombakan sistem yang coba
dirancang, menggunakan basis pendidikan humanistik sebagai sarana pendidikan
yang pas pada masa transisi di Indonesia.
Berkaitan dengan transformasi kurikulum yang ada di
Indonesia, ada sebuah hal yang coba dikaji dan dicermati oleh pemerintah
mengenai standarisasi pendidikan yang lemah, dan hanya berorientasi pada
pengetahuan (kognitif). Dalam tatanan kurikulum KTSP (2006) standar penilaian
hanya dilimitasi sebatas pengetahuan apa yang siswa peroleh dan dapat diujikan,
ketika siswa tersebut mampu mengerjakan soal hanya sebatas lewat pengetahuan,
maka nilainya akan sempurna. Padahal pendidikan tidak hanya sebatas pengetahuan
dan nilai yang sempurna. Pendidikan sebagai sistem dirancang untuk mewadahi
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh siswa dalam rangka pengembangan potensi dan
penyesuaian gaya belajar masing-masing peserta didik. Pembatasan yang dilakukan
tidak lain merupakan suatu kungkungan gaya pendidikan yang masih bersifat
tradisionil. Menurut M.J Langeveld, seorang tokoh pendidikan klasik
mengutarakan pendapatnya mengenai aspek-aspek pembelajaran yang dapat dinilai,
yaitu terdapat aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari ketiga hal
tersebut, penerapan yang coba dilakukan dalam kurikulum 2006 hanya sebatas
menilai aspek kognitif tanpa diimbangi dengan aspek psikomotorik dan afektif,
hal tersebut yang menyebabkan terjadinya value
oriented (Orientasi Nilai) yang menyebabkan tujuan pendidikan yang
sejatinya membentuk ataupun merubah perilaku manusia dalam pandangan
behavioristik berubah menjadi ajang perebutan juara kelas yang bersifat feodal.
Dari kesalahan yang terdapat pada kurikulum 2006,
pemerintah mencoba merombak ulang dan mensintesiskan gagasan lama yang
diperbaharui dengan sistem pendidikan yang lebih terstruktur dan sistematis,
yang memberikam dampak konkret bagi peserta didik. Keluarnya kebijakan
kurikulum 2013 merupakan hal yang sangat penting bagi sejarah pendidikan di
Indonesia. Transformasi isi kurikulum yang mengendepankan aspek Atittude, Skill, and Knowledge (ASK)
menjadi suatu gebrakan baru pada era modernitas pendidikan yang telah lama
asing akibat ketidaksesuaian sistem. Pengembangan kurikulum 2013 lebih
melampaui ekpektasi para pendidik karena berkembangnya soft skill peserta didik ke arah yang progresif dan kolateral.
- Perubahan Diksi “Pengajaran” menjadi “Pembelajaran”
Berdasarkan apa yang ada di lapangan, banyak masyarakat
yang beranggapan bahwa arti pengajaran dan pembelajaran adalah dua hal yang
sama. Padahal secara harfiah keduanya memiliki makna yang berbeda dan memiliki
peran masing-masing terjadinya transformasi kurikulum yang ada di negeri ini.
Kata pengajaran merujuk pada proses belajar yang terjadi bersifat satu arah/
upaya untuk mentrasnfer pengetahuan dari guru ke muridnya (tindakan
gurusentrisme). Proses pengajaran biasanya menganalogikan peserta didik sebagai
objek pendidikan yang lapar akan pengetahuan dan sangat membutuhkan pengetahuan
dari guru, dalam teori tabularasa –john locke-, proses ini diidentikan dengan
sistem kurikulum 2006 yang sangat menekankan pada aspek kognitif peserta didik.
Sedangkan kata pembelajaran yang sarat akan makna dapat diartikan sebagai
proses belajar dua arah yang sama-sama melibatkan pendidik dan peserta didik
dalam upaya belajar. Dalam pandangan humanistik, istilah pembelajaran mendasari
bahwa peserta didik ialah subjek dari pendidikan itu sendiri, yang tidak selalu
bergantung pada pengetahuan guru. Pandangan ini menitikberatkan bahwa seluruh
peserta didik telah membawa serta pengetahuan yang dikonstruksikan lewat
pengalaman-pengalaman indrawi, dan tidak serta merta peserta didik tidak
memiliki pengetahuan apapun ketika pertama kali melaksanakan proses belajar.
Proses pembelajaran ini coba dimuat dalam kurikulum 2013 sebagai manifestasi
transformasi dalam dunia pendidikan.
- Penyempurnaan Gagasan Bloom, oleh Krathwohl dan Dyers
Teori Taksonomi Bloom, yang dicetuskan oleh Benjamin S.
Bloom menandai era baru pemahaman pendidikan modern dalam kerangka yang sulit
diuraikan. 3 aspek penilaian digunakan secara masif dalam sistem pendidikan
dunia, meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Peran ranah kognitif
ditonjolkan oleh bloom melalui piramida yang menyempit keatas dan didasari pada
aspek Knowing (mengetahui), Understanding (mengerti), Applying (menerapkan), Sinthezing (menyimpulkan), Analyzing (menganalisis), dan yang
terakhir yang paling sulit untuk diterapkan adalah evaluating (mengevaluasi) proses pembelajaran. Seperti pada umumnya
pola piramida yang menyempit keatas menandakan bahwa semakin tinggi tingkatan
aspek tersebut berada diatas, hanya beberapa orang saja yang dapat
mengaplikasikan dan juga mengakses hal tersebut. Gerak pola pendidikan yang
dinamis mengantarkan teori taksonomi Bloom pada masa kadaluarsa untuk digunakan,
sehingga perlu dilakukan penyempurnaan untuk mempercantik kemasan teori serta
analisis sistem pendidikan yang ada.
Analisis kurikulum 2013 yang menekankan pada aspek Attitude, Skill, and Knowledge menjadi
sebuah batu pijakan bagi transformasi perpindahan arus yang dulunya
mengedepankan pengetahuan ke arah ranah sikap sebagai bahan utama yang ada pada
pendidikan era modern. David Krathwohl menyimpulkan bahwa: “pandai atau
tidaknya seseorang tidak dapat dilihat dari luar kemasan dirinya, akan tetapi
baik dan buruknya seseorang dapat dilihat dari sikapnya. Maka dari itu penting
mengembangkan sikap dalam diri manusia”. Berangkat dari pernyataan tersebut,
krathwohl berusaha untuk menyusun piramida ranah sikapnya sendiri yang
beralaskan Accepting, responding,
valuing, internalizing, organizing, actualizing, and characterizing. Spektrum
penilaian yang digunakan Krathwohl jelas menandakan harus terdapat perubahan
sikap setelah adanya masa pembelajaran yang kohesif.
Gagasan Bloom tidak hanya di sempurnakan oleh Krathwohl
dalam pandangan Kurikulum 2013, akan tetapi ada satu lagi tokoh yang tersohor
dalam melengkapi paradigma ASK. Dyers menyempurnakan paradigma ASK melalui
teori skill yang memiliki aspek observing,
questioning, experimenting, associating, and communicating. Aspek-aspek
diatas merupakan seluruh aspek yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan
pendidikan di abad ke-21. Apabila tidak dapat menerapkannya secara holistik,
tendensi kegagalan sistem lagi-lagi dapat dilihat secara nyata. Maka dari itu
diperlukan rekonstruksi ulang dalam penyiapan dan juga penyusunan kurikulum
secara kompleks untuk dapat menjawab tantangan global-mondial dibandingkan
hanya untuk sekedar mengganti kurikulum tapi tidak berimplikasi besar bagi
kemajuan pendidikan di Indonesia.
[1]Dicky Wiranto, Islamic Studies
Jurnal Vol.2 “Perspektif Historis
Transformasi Kurikulum di Indonesia”, Aceh, 2014, hlm. 134.
0 Komentar