Opini
Peran Guru dalam Mengahadapi Revolusi Industri 4.0
Sumber gambar: harnas.co |
Oleh: Muhammad Syirot Hidayat Khoironi
“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik, berarti juga anak-anak yang tidak terdidik di negeri ini adalah dosa bagi setiap orang terdidik di negeri ini.” tutur Anies Baswedan. Dewasa ini pendidikan di negeri tercinta Indonesia sedang mengalami badai masalah, mulai dari pro kontra dalam sistem zonasi, komersiliasi pendidikan, kualitas guru yang tak kunjung mencapai target, peserta didik yang putus sekolah karena kendala biaya, hingga belum siapnya menghadapi era digitalisasi pendidikan. Agaknya penulis akan lebih menyoroti kualitas guru di Indonesia. Menurut data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, Pendidikan di Indonesia menempati urutan ke-10 dari 14 negara berkembang dan kualitas guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Sungguh ini bukan berita yang baik-baik saja untuk negeri ini dan ini merupakan sebuah ketertinggalan pendidikan atas Negara-negara lain. Amanat UUD 1945 salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa namun, melihat angka-angka di atas nampaknya agak miris untuk negara yang memprioritaskan 20% APBN untuk pendidikan.
Berkaca pada data di atas, sungguh ini bukanlah sebuah prestasi melainkan sebuah ironi besar yang harus segera dibenahi. Peran guru menjadi vital dalam memperbaiki sektor pendidikan. Ketika kualitas guru masih berada pada peringkat terendah maka jangan berharap Indonesia dapat menghasilkan bibit-bibit atau sumber daya manusia yang unggul dan berprestasi ke depannya. Menurut laman resmi Tempo, ada 5 kebijakan Mendikbud Nadiem untuk kembangkan pendidikan salah satu diantaranya adalah memprioritaskan pendidikan karakter dan pengamalan pancasila. Gagasan ini bukan lah gagasan baru melainkan gagasan lama yang terus di modifikasi hingga tujuannya menciptakan peserta didik yang mampu berdaya saing dan memiliki karakter yang baik. Dalam prosesnya pun banyak tahapan-tahapan yang harus dilewati, cara-cara nya pun harus disesuaikan dengan abad 21 yakni berpikir kritis, kolaboratif, kreatif, dan komunikatif. Komponen ini yang nantinya menjadi acuan dalam proses pembelajaran, dan guru bukan lagi menjadi pusat pembelajaran melainkan murid yang nantinya akan menjadi pusat pembelajaran (Teacher Center to Student Center).
Menurut Paulo Freire dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, murid bukan lagi bank yang hanya digunakan untuk mentransfer ilmu pengetahuan dari guru ke murid, melainkan sebagai sebuah proses belajar sepanjang hayat. Guru berarti digugu dan ditiru, dalam hal ini menjadi guru bukanlah hal yang mudah namun apabila guru dimaknai sebagai suatu panggilan jiwa, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan memiliki figur-figur guru yang memiliki kompetensi yang tinggi. Dalam studi kasus di Amerika Serikat, Tel Sahar mengklasifikasikan 3 jenis tingkatan kerja yang pertama, Asal Kerja tipe jenis ini biasanya jika mengerjakan sesuatu hanya berorientasi pada materi dan ingin sesegera mungkin mengakhiri pekerjaannya dalam hal ini jika guru masih berada pada tingkatan ini maka akan amat sulit untuk menciptakan murid yang berprestasi karena orientasinya bukan pada proses dan memperbaiki kinerja sebaik mungkin, melainkan bagaimana sesegera mungkin untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Yang kedua, Karir tingkatannya di atas asal kerja karena pekerjaannya sedikit lebih baik namun hanya untuk mendapat pengakuan dan tidak mempedulikan rekan kerjanya karena pada dasarnya tingkatan Karir ini berorientasi pada atasan bukan bagaimana bekerja pada nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan, dalam artian guru hanya bekerja sesuai tuntutan pemerintah bagi yang pegawai negeri dan bagi pegawai swasta hanya bekerja sesuai tuntutan yayasan/pihak swasta. Dalam tingkatan ini guru belum memerhatikan murid secara utuh karena orientasinya bukan pada bagaimana membuat murid lebih aktif dan mampu mengembangkan potensinya melainkan hanya untuk menunaikan kewajibannya sebagai tuntutan profesi. Yang ketiga, Panggilan Jiwa dalam tingkatan ini guru telah menyadari bahwa menjadi guru bukanlah sekadar profesi melainkan sebuah panggilan jiwa yang mana menyadari betul bahwa ketidaktahuan yang dialami murid adalah sebuah tanggung jawab yang harus segera dientaskan tanpa ingin dilihat atasan maupun pengakuan dari guru lain, dalam tingkatan ini guru bekerja sepenuh hati baginya materi yang didapat hanya sebuah bonus, karena tanpa sebuah kepalsuan guru artinya ibadah, ia melihat sebagai sebuah kebutuhan yang kalau tidak dilakukan akan terasa ada yang janggal.
Menjadi guru bukanlah hal yang mudah, lebih dari itu ada tanggung jawab moril di dalamnya, yang nantinya akan berdampak pada kelangsungan kehidupan bernegara, melihat tantangan kedepan dalam menghadapi revolusi industri 4.0 dan dalam menuju Indonesia emas 2045 dimana 100 tahun bangsa Indonesia merdeka maka akan banyak tantangan kedepannya, mulai dari pegawai toll yang mulai digantikan dengan adanya kartu e-toll, lahan sawah yang mulai semakin sedikit dan digantikan dengan pabrik-pabrik industri, termasuk kebijakan impor beras dan garam berlebih yang membuat tantangan pendidikan kedepannya tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa akan tetapi membantu penurunan tingkat pengangguran dan membantu menciptakan lapangan kerja.
Proses industrialisasi yang kita lihat bersahama hari ini adalah pendidikan hanya diarahkan hanya demi memenuhi tuntutan lapangan kerja, manusia hanya dipandang dari dimensi kerjanya saja sehingga hubungan antar sesamanya hanya ditentukan dari relasi yang mereka jalin yang pada akhirnya mengunci pertumbuhan dan perkembangan dimensi lain yang mereka miliki seperti merampas kebebasan memilih, memasung imajinasi murid karena harus mengondisikan diri, tubuh, dan pikirannya untuk disesuaikan dengan selera lapangan kerja yang sudah diwarnai oleh selera pemilik modal yang membuat sekolah tidak ada bedanya lagi dengan pabrik robot yang memproduksi barang mati tanpa imajinasi, Ini sungguh bertentangan dengan esensi pendidikan yang membebaskan dan memartabatkan manusia secara utuh, baik dalam proses maupun tujuan pendidikan itu sendiri.
Harbert Marcuse mengatakan dalam buku Pendidikan Kritis Transformatif bahwa manusia modern adalah merupakan produk dari pendidikan yang hanya memenuhi tuntutan lapangan kerja atau dalam kata lain manusia berotak administrasi total, Immanuel Kant menyebutnya sebagai “manusia yang berasio perkakas” yaitu subjek rasio yang hanya menjalankan instrument pengetahuan yang telah diciptakan dihadapannya tanpa mampu mengendalikan, mengkritisi, ataupun mengembangkannya. Jenis manusia ini tidak akan bisa menjadi tuan bagi dirinya sendiri sebagai subjek utuh. Jenis manusia pikirannya sudah mati dan tergadaikan oleh selera industrialisasi. Dengan demikian, lulusan di negeri ini akan menjalankan dan melaksanakan sistem yang pemilik modal buat yang pada akhirnya akan membuat ketimpangan sosial seperti kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan, dan pengangguran.
Dalam memandang situasi ini penulis masih optimis bahwa pendidikan lah jalan terbaik dalam menghadapi revolusi industri yang mengakibatkan dampak kemunduran pola pikir masyarakat yang tidak mau lepas dari cengkraman pemilik modal. Mengapa demikian? Jika kita cermati lebih teliti masih banyak pendidikan hari ini yang membuat murid terbelenggu dan sulit untuk berfikir secara kritis, misalnya di Sekolah Dasar terdapat pertanyaan “ Pak Tani di Sawah sedang.... “ pertanyaan-pertanyaan seperti ini murid-murid SD tidak punya banyak pilihan. Guru secara sepihak akan menyalahkan jika jawabannya bukan mencangkul, memupuk, dan memanen. Padahal dalam pendidikan demokratis seorang murid bisa mengisinya dengan tidur ketika sedang lelah, berdiskusi mengenai saluran irigasi, membaca koran karena sedang istirahat, dan sebagainya.
Sistem pendidikan yang seperti contoh di atas tidak jauh berbeda dengan zaman kolonial yang mana murid dicegah untuk bersikap bebas dan mampu memiliki daya kritis terhadap realitas yang berujung pada kesadaran terhadap posisi di struktur sosial. Sistem seperti ini memang telah diatur sedemikian rupa. Tujuannya jelas yakni agar menjaga masyarakat Indonesia ketika itu tetap bodoh dan tidak sadar diri sehingga kekuasaan kolonial tidak terancam. Di samping itu, pendidikan hari ini masih berorientasi pada materi. Masyarakat cenderung merasa bangga apabila anaknya bersekolah di tempat yang gedungnya tinggi, memiliki tata ruang yang bagus, bangga apabila mampu menyekolahkan anaknya ditempat yang mahal, bangga apabila anaknya lulus dan mendapat ijazah dari sekolah favorit, dll. Orientasinya bukan lagi pada bagaimana anaknya jika lulus nanti mampu memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi yang kurang mampu atau bahkan anaknya mampu memberikan donasi berupa sumbangan buku kepada yayasan anak yatim dan piatu.
Pendidikan demokratis ialah ketika murid mampu mandiri, merdeka, peka akan sekitar, dan berkeadilan. Sayangnya hari ini sekolah mengabaikan itu semua, sekolah mencitrakan seolah-olah jalan satu-satunya untuk mencapai pekerjaan, sekolah tidak lagi mengembangkan proses pembelajaran yang mengedapankan prinsip keadilan sebab hari ini murid hanya dijadikan objek yang nantinya akan disesuaikan dengan permintaan pasar. Guru mengemban tugas yang cukup berat karena tantangan ke depan jauh lebih berat. Kalau murid tidak dibekali dengan pola pikir imajiniasi yang kreatif maka tidak ada bedanya manusia dengan robot. Tugas guru tidak hanya mengajar akan tetapi menjadi teladan bagi setiap murid, Guru harus memiliki kompetensi dan karakter yang kuat karena tanpa elemen tersebut mustahil Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Penulis teringat ketika dikelas dosen mengatakan pada mahasiswanya “lakukan kebaikan sekecil apapun itu, karena ketika kita melakukan hal-hal yang positif kita sedang melakukan perubahan terhadap bangsa ini.”
0 Komentar