Sidang Landraad (Pengadilan untuk kaum Pribumi ) di Meester Cornelis (Jatinegara)
Sumber gambar: republika.co.id

Oleh: Nila Rosyidah

PEMBACAAN AMAR KEPUTUSAN

Amar Keputusan
Berdasarkan kekuasaan kolonial. Pengadilan tinggi kolonial urusan orang-orang eropa yang memeriksa dan mengadili Nyai Pribumi, terdakwa dinyatakan bersalah dan hanya dianggap setengah manusia, karena dianggap tidak mampu dan tidak layak mengelola kekayaan yang ada maka dengan ini, semua kekayaanya akan disita oleh pemerintah kolonial untuk dikelola dengan baik, demi kemaslahatan bersama.. 

DOK..DOK..DOK

Minke
Kita akhirnya pulang lagi ke kantor ini dengan membawa kekalahan, Ma.

Nyai Ontosoroh
Kita tidak kalah Nak, kita telah melawan, seorang pribumi dan seorang gundik yang dianggap hanya setengah manusia telah melawan dengan cara sehormat-hormatnya. Kini kau tahu nak, jangan agungkan kolonial secara keseluruhan. Dimanapun mereka tetaplah iblis.

Minke
Siapakah yang sebenarnya mama maksud dengan kolonial ?

Nyai Ontosoroh
Ha..ha..ha..(tertawa pahit) akupun tak mengerti, tak ada keterangan yang jelas dari semua kamus dan buku-buku yang ditulis, lagi-lagi oleh mereka, dan dari sudut pandang mereka.

Minke
Sebentar Ma, jadi kolonial adalah penjahat, Ma ?

Nyai Ontosoroh
Penjahat ? bukankah setiap detil bajumu hingga sepatumu adalah meniru mereka ? dan juga pendingin ruangan itu, dan jas-jas hijau yang kau kenakan dengan bangga di negara tropis ini, di tanah bekas rawa ini adalah meniru mereka ? dan bagaimana kau menggunakan bahasa mereka dan barulah kau dianggap berpendidikan.

Pergilah berkaca, bukankah kau kolonial juga ?

Minke
Aku sebenarnya belum sepenuhnya paham apa yang mama maksud. Tapi sebuah kenyataan bahwa kekalahan-kekaahan dan ketertinggalan beruntun yang kita capai dibalik kemampuan dan kekayaan alam pribumi adalah sebuah ironi.

Nyai Ontosoroh
Bukalah Nak, bukalah bukumu. Turunlah ke ladang dan ke dapur dimana tungku menyala dan kau akan melihat berjuta-juta pribumi terlunta-lunta dan hanya dianggap sebagai kerikil jalanan penghambat perluasan kekuasaan. Sehingga kau akan memahami bahwa kolonial sejatinya tak lebih dari keserakahan.

Turunlah dimana kau akan melihat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak dan berteriak.

Dan kau tahu Nak, apa yang kucintai darimu ?

Karena kau muda, bersemangat, dan lebih dari itu, kau menulis Nak. Menulis adalah kerja keabadian dan suaramu takkan hilang ditelan angin. Jauh. Jauh dikemudian hari.

-----

BAKIR MENGUCAPKAN SELAMAT PAGI DARI KEJAUHAN

Minke
Sepertinya mereka sudah datang, Ma ? Kolonial itu.

Nyai Ontosoroh
Ya, mereka sudah datang, bersiaplah Nak, bersiaplah. Untuk sebuah hari baru.

MINKE DAN NYAI ONTOSOROH KELUAR DAN BAKIR MASUK. BAKIR MENGUCAP SELAMAT PAGI DARI KEJAUHAN. DAN MENGUCAPKAN SELAMAT PAGI LAGI SAAT SAMPAI KEATAS PANGGUNG.

Selamat pagi semuanya !

perkenalkan nama ku Bakir! Pegawai pemerintah bukan pegawai kolonial. Jaman sudah berganti dan kolonial sudah tumbang, orang-orang putih itu pergi beberapa tahun yang lalu ke Tanjung Priok dan naik kapal berjubal-jubal. Kita merdeka. 
  
Orang bilang dijaman ini kita akan menjadi lebih baik. Aku tidak tahu apa yang dimaksud lebih baik, meskipun ini adalah tahun 1950, aku jadi terniang-niang dengan sebuah anekdot yang entah dari tahun berapa yang berbunyi “enak jamanku toh?”.

Ya begitulah. Jadi pegawai dijaman kolonial lebih makmur. Kini, meskipun aku kepala bagian kepegawaian, gajiku menjadi lebih kecil, dan makanku tak lebih dari ikan asin dan sambal terasi. Harga-harga melambung karena percobaan untuk berdikari. Sehingga, jika sebelumnya orang-orang eropa itulah yang berjubal-jubal naik kapal kembali ke negaranya, sekarang akulah yang berjubal-jubal bersama anak istri di rumah yang menjadi sempit disudut ibu kota. Kemerdekaan ternyata begini adanya.

Aku, Bakir, selalu pasrah atas kebesaran Tuhan beserta alam semesta.  Namun, suatu kali ada  yang terus menyiksaku, ya seperti keingnan banyak orang, harapan akan perubahan yang lebih baik.

sesuatu yang terus diteriakkan oleh perabotan lapuk dirumah dan juga diteriakkan oleh anak anak yang entah kenapa terus bertambah itu, meraung – raung meminta biaya untuk masuk sekolah. Korupsi..korupsi...Korupsi. dan ketika bawahanku entah bagaimana telah bermodal untuk jadi anggota parlemen, kata itu terus terniang di kepala Korupsi.. Korupsi.. Korupsi.

Bukankah semua orang berhak untuk merdeka ? Akhirnya ku tetapkan melakukan sebuah terobosan baru, yang revolusioner dan patriotik untuk memperjuangkan  kemerdekaan ku yaitu dengan, korupsi.

Ku mulai dengan membawa setumpuk kertas dari pojok kantor. Lalu ku kayuh sepeda ke pasar senen.
Semakin dekat dengan senen, Bakir yang tenang tanpa ambisi hilang, namun entah kenapa digantikan oleh  perasaan malu sekaligus ketakutan. Apa yang bakal dikatakannya jika melihat bosnya korupsi kertas – kertas baru ? dan aku rasanya ingin menggigil saat bertemu dengan polisi lalu lintas. Serakah... serakah.. serakah yang membuat batin tak tenang. Apakah aku harus kembali saja ? kenapa aku sangat gundah hanya menjual kertas tak berguna ini ? tapi keinginan merdeka dari perasaan miskin membuatku tetap mengayuh sepeda.

Dua puluh ribu, kujual pada pedagang itu. Murah sekali, dan aku seakan tak berdaya dihadapannya. Padahal aku tau dia pasti mendapatkan keuntungan yang begitu banyak dari barang barang curian. Kalau saja dia tau aku siapa ? ah tidak – tidak , kalau saja aku ini polisi, sudah kutangkap penadah itu. Dia adalah biang keladi dari segala korupsi kecil di Indonesia ini ! Ah betapa tidak adilnya Tuhan.

Apa ah ya, apakah aku layak menyebut nama Tuhan  ? harusnya diciptakan suatu Tuhan lagi untuk mengurus kepentingan pencurian.  lekas – lekas kunaik sepeda, menuju rumahku tempat ketenangan berada.

Ketika ku pulang kupikir ketenangan yang kudapat tapi ternyata kantung kemejaku terasa amat panas. Uang dua puluh ribu ini telah menghancurkan ketentraman rumah yang telah lama kami bangun berahun-tahun.

BEL RUMAH BERBUNYI

Astaga, siapakah itu ? polisi ? Astaga Tuhan... ah Tuhan yang mana saja. Tolong aku.

TERNYATA ITU ADALAH SIROD, SEKRETARIS BAKIR.  MEMANDANGI KANTONG BAKIR. SIROD DATANG  BAWA KORAN DAN MEMBANTING KORAN.

Sirod :
Gemuruh itu sudah dekat pak, dia sudah datang...

Bakir :
Apa yang kau maksud ?

Sirod :
Koruptor. Kalau aku punya kuasa aku tembak Ia ditiang eksekusi dan buang kelaut jawa biar dimakan hiu.

Bakir :
Haha, bercanda anak muda sering berlebihan. (berkata sambil merasa terintimidasi)

Sirod :
keperwiraan pak ! Keperwiraan mereka hilang. Mereka seperti orang linglung digilas perubahan, antara idealis dan realistis. Tidak memahami diri sendiri. Padahal jika mereka mau membaca buku dengan baik, dan mendiskusikannya dengan seksama. Mereka akan mengetahui bahwa awal dari era kolonial yang berabad-abad itu, diawali oleh keserakahan para penguasa yang mengantarkan mereka bekerja sama dengan para kolonial. Bukankah begitu Saudara-saudara ?

PEMAIN STATIS.

SEMUA TIM PUSDIMA MASUK KE PANGGUNG.


0 Komentar