Opini
Menggugat Liberalisasi Pendidikan : Kontestasi Perebutan ‘Ruang’ dalam konteks Pendidikan Melalui Perspektif Henri Levebre

Sumber Gambar: Google
Oleh: Raihan Ghillman
Dalam kaitannya terhadap isu yang saat ini sedang
gencarnya diberitakan oleh beberapa pers mahasiswa UNJ, permasalahan SPU
memiliki tendensi akan timbulnya penyimpangan yang secara struktural mendapat
legitimasi dari pihak birokrat, yang mana hal tersebut merupakan pelanggaran
dalam dunia pendidikan itu sendiri. Permasalahan SPU menjadi perbincangan
hangat di kalangan mahasiswa maupun dosen sekalipun, yang sekiranya mereka
peduli akan permasalahan di kampus. Pasalnya regulasi ini jelas membebankan
mahasiswa terutama mahasiswa baru yang akan melanjutkan studinya di perguruan
tinggi (UNJ). Yang menjadi permasalahan
disini adalah bagaimana kemudian komitmen yang kerap di gaungkan oleh pihak
kampus mengenai fungsinya sebagai lembaga pendidikan dalam mencerahkan
kehidupan masyarakat kemudian terdegredasi oleh kebijakan yang akan di terapkan
-lihat Tri Dharma perguruan tinggi.
Tidak hanya menyoal permasalahan tentang SPU, penulis
beranggapan bahwa berbagai permasalahan yang terjadi di kampus acapkali
bersinggungan dengan prinsip dasar dalam dunia pendidikan –universitas
utamanya, bahwa pendidikan di perguruan tinggi memegang teguh asas kebebasan
berfikir, berekspresi, kritik dan sebagainya yang bersifat edukasional,
seringkali mendapat represi dari pihak birokrat. Permasalahan kategorisasi baik
buruk inilah yang secara subjektif dimaknai birokrat sebagai ‘ancaman’ dan di
jadikan dalih untuk membungkam mereka yang menunjukan sikap kritis terhadap apa
yang dianggapnya menyimpang. Menjadi hal yang wajar dalam ranah universitas
bilamana proses kritik itu terjadi, namun faktanya respon yang diberikan
birokrat seringkali memberikan kita gambaran betapa bobroknya mindset yang
terpasang di kepala para petinggi kampus. Seperti kasus yang terjadi
sebelumnya, tentang skorsing hingga DO terhadap mahasiswa yang melancarkan
kritiknya terhadap kebijakan kampus, sampai pemolisian yang dilakukan pihak
kampus terhadap dosen Sosiologi FIS UNJ Ubedilah Badrun, yang sebelumnya
mengkritisi situasi kampus dalam tataran birokrat yang diisukan terjadi
penyelewengan kekuasaan dengan indikasi adanya tindak KKN yang dilakukan oleh
rektor kala itu.
Tak hanya itu, persoalan mengenai liberalisasi yang di
gencarkan pihak kampus berdampak bagi para pedagang yang berjualan di sekitar
kampus. Seperti pada kasus penggusuran lapak pedagang di parkir spiral UNJ.
Meski kenyataanya penggusuran itu dilakukan atas dasar adanya renovasi
bangunan, yang setelah pekerjaan itu rampung pedagang di persilahkan berdagang
kembali, sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak kampus kepada para
pedagang untuk bisa menggelar lapak dagangnya kembali. Secara jelas penulis
belum dapat memastikan ada tidaknya unsur komersialisasi yang dilakukan pihak
kampus dengan dilakukannya renovasi tersebut, karena sampai saat ini bangunan
tersebut masih di kelola pihak kampus, hanya saja imbas dari pembangunan itu
berdampak bagi para pedagang yang tergusur lapak dagangnya.
Namun
secara jeli apabila kita mencoba membuat artikulasi komprehensif pada kasus
tersebut terhadap apa yang di gagas oleh Levebre tentang ‘kontestasi perebutan
dan reproduksi ruang’ kita bisa melihat bahwa walaupun sampai saat ini belum
ada pihak swasta atau lembaga manapun yang mengelola bangunan itu –dalam
konteks pencarian profit, kita boleh beranggapan bahwa hal itu masih dalam
tataran normatif, namun bila kita sejenak melepas kacamata ilusif yang kerap
membelenggu pandang kita, didapati bahwa penggusuran itu memiliki motif yang
seiring dengan ekspansi kapital, bahwa digusurnya pedagang yang melapak disana
bukan semata-mata karena adanya proses renovasi, melainkan kehadiran mereka
cenderung merusak estetika kapitalisme yang implikasinya bagi pihak kampus
berdampak pada nilai jual ruang tersebut, sehingga akhirnya pilihan untuk
menggusur lapak mereka menjadi prioritas yang harus di eksekusi. Meski pada
akhirnya ruang tersebut masih lowong dalam artian tidak ada dari pihak manapun
yang memanfaatkannya, kecuali pihak kampus. Sejalan dengan analisia Levebre
bahwa ekspansi modal telah dilakukan dengan indikasi bahwa reproduksi ruang
tersebut berhasil mengubah ruang yang sebelumnya diisi para pedagang –yang
menganggu estetika ruang dalam kepentingan kapital- kemudian telah steril dan
mendapatkan kembali nilai jualnya melalui serangkaian penggusuran tersebut.
Paparan mengenai analisa pemikiran Levebre akan reproduksi ruang, penulis
batasi sampai pada kasus penggusuran tersebut, akan penulis lanjutkan
setelahnya dalam spektrum yang lebih luas, yang mencakup lingkungan kampus dan
dinamika yang terjadi di dalamnya.
Kemudian
rangkaian opresi yang dilakukan pihak kampus tidak hanya sampai disitu,
beberapa kerap ditemui adanya pembubaran secara paksa yang dilakukan pihak
kampus terhadap beberapa lingkar diskusi yang sedang melakukan kegiatannya,
seperti yang terjadi pada saat isu skandal rektor sedang hangat-hangatnya
dibicarakan. Diantaranya ada yang mempersoalkan legalitas perkumpulan itu
karena dianggapnya sebagai pengganggu keamanan dan ketertiban di lingkungan
kampus. Pembubaran paksa terhadap lingkar diskusi di dalam kampus yang dalam
bentuk apapun menjadi riskan, mengingat prinsip perguruan tinggi yang memegang
teguh asas kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat mengalami
penyusutan secara drastis oleh karena tindakan semena-mena dari pihak kampus
lewat aparat-aparatnya. Pemberangusan ruang-ruang produktif di lingkungan
kampus, sampai pada level tertentu akan mencapai titik dimana iklim demokrasi
yang tercipta lewat ruang produktif tersebut di kerdilkan menjadi situasi
dimana segala sesuatu di sesuaikan dengan kebutuhan pasar yang dikehendaki
birokrat lewat skema pendisiplinan secara struktural dan sistematis. Dari situ
kita bisa berasumsi bahwa universitas telah gagal dalam fungsinya sebagai
pioneer demokrasi sekaligus pencerah bagi masyarakat, ditambah dengan adanya
persoalan SPU ini membuat mahasiswa kembali dibebankan soal urusan pendanaan
ini. Universitas yang sejatinya membebaskan serta membuka akses seluas-luasnya
untuk mahasiswa agar bisa mengikuti perkuliahan tanpa di pusingkan biaya apapun
hanya tinggal isapan jempol belaka.
Kontestasi
Perebutan Ruang : Reproduksi Ruang dan Pengetahuan dalam Upaya Hegemoni Kelas
Berkuasa
Dalam kasus ini
ruang dimaknai sebagai suatu dimensi dimana terdapat sekumpulan kelompok yang
saling berinteraksi dalam tajuk wacana sosial yang akhirnya membentuk jalinan
relasi yang saling berkelindan membentuk struktur organik yang terpola secara
hierarkis, jalinan relasi yang terstratifikasi tersebut secara esensial
terbentuk akibat adanya kontradiksi antara kelompok-kelompok dominan –yang
menguasai berbagai sumberdaya, dalam hal ini modal- dengan yang di dominasi.
Objektivikasi ruang sebagai objek kontestasi erat kaitannya dengan apa yang
diungkapkan Levebre “Space is real in the
same sense that commodities are real since (social) space is a (social) product”
(Levebre 2000:26). Dalam hal ini ruang dan komoditas sama-sama memiliki nilai,
ruang memiliki muatan nilai yang dengannya proses komodifikasi ruang dapat
dimungkinkan.
Proses produksi spasial dalam terminologi Levebre berkaitan
erat dengan lokus mode produksi dan posisi dialek pada hubungan produksi yang
saling timbal balik dengan apa yang disebut Levebre sebagai ruang (spasial dan
sosial) hidup, ruang yang di persepsikan, dan ruang yang di konsepsikan. Bagi
Levebre proses produksi ruang ini beriringan dengan konteks kapitalisme modern
yang mana ruang sebagai komoditas di aplikasikan sebagai ranah dalam upayanya
menghegemoni organisme inferior lewat pemanfaatan ruang tersebut sebagai medium
hegemonik dan disokong dengan reproduksi pengetahuan yang bersifat mutakhir
sebagai sekrup legitim atas apa yang di upayakannya. Terkait dalam trialektika
spasialnya, Levebre juga menjelaskan bahwa proses produksi dan reproduksi ruang
dipengaruhi oleh berabagai kekuatan yang saling memperebutkan ruang ‘hampa’
tersebut. kondisi perebutan ruang tersebut tidak hanya di maknai sebagai iklim
kompetitif, melainkan proses tarik-menarik antar berbagai kekuatan yang saling
memiliki kepentingan atas ruang tersebut.
Struktur kontestasi spasial yang terbentuk sebagai
konsekuensi dari adanya kontradiksi tersebut mendikotomikan antara birokrat
dengan pihak-pihak lainnya dan mahasiswa dengan elemen-elemen yang terkait
dengannya selaku poros oposisi. Asumsi dasarnya adalah kedua belah pihak
sama-sama memiliki kepentingan atas ruang tersebut, yang satu berorientasi
pada: bisnis, tambahan modal, dan kebijakan sepihak, sedangkan yang kedua:
memiliki orientasi terhadap apa yang menjadi kebutuhan utama bagi mereka
semisal pendidikan, ruang berekspresi, dsb. Kita bisa memposisikan lokus mode
produsi ini sebagai kemampuan modal dan sumber daya yang dimiliki oleh
mahasiswa dan hal lain yang berkaitan dengannya. Oleh karena keduanya memiliki
perbedaan yang signifikan di segala lini, tak ayal jika pertentangan antar oposisi
biner tersebut dapat dikategorikan dalam sebuah lanskap kontestasi yang mana
ruang menjadi objek komoditas yang saling di perebutkan. Dengan kata lain,
kontradiksi atas perebutan ruang tersebut memunculkan perlawanan atas
upaya-upaya untuk menghegemonisasi cara (praktik) penggunaan, kepemilikan, dan
rasa yang dimiliki atas suatu ruang yang dihuni oleh kumpulan organisme yang
saling bertegangan satu sama lain.
Dalam kasus SPU dan persoalan lain yang penulis paparkan
sebelumnya, melalui rincian singkat analisis teoretik tadi, menjelaskan pada
kita semua tentang siapa pihak yang saling berkompetisi, dan apa kepentingan
yang mereka perjuangkan, serta bagaimana kita memposisikan diri sebagai subjek
merdeka yang sama-sama memperjuangkan apa yang selayaknya kita dapatkan dan
kita rasakan terkait kondisi ideal di lingkungan kampus terlepas dari berbagai
kepentingan maupun perdebatan yang mengiringi proses dinamikanya dalam
menentukan situasi ideal bersama. Tujuan kolektif menjadi sasaran utama kita
sebagai poros oposisi dalam meng-counter upaya
hegemoni kelas berkuasa. Tidak ada kata lain selain melawan upaya hegemoni
tersebut, ciptakan iklim demokratis di lingkungan kampus, hidupkan ruang-ruang
produktif dimanapun itu berada, rebut apa yang seharusnya menjadi milik kita
bersama, lawan segala bentuk opresi kelas berkuasa, karena diam bukanlah suatu
kebijaksanaan dan melawan adalah suatu keniscayaan. Scholars of All Faculty
Unite!
***
Sumber Referensi :
·
Lefebvre, Henri. 2000. The Production
of Space. Georgetown University Press: NY.
·
Ritzer, George & Douglas J. Goodman, 2009.
Teori Sosiologi; dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Teori
Sosial Postmodern. Yogyakarta; Kreasi Wacana.
·
Pamungkas, Arie S (2016, 11 Januari). Produksi
Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut Henri Levebre. Dikutip 23 Juni 2019
dari Indoprogress: https://indoprogress.com
·
Muhamad, Muhtar (2019, 20 Juni). SPU: Uang
Pangkal Malu-Malu. Diakses 23 Juni 2019 dari Didaktikaunj: https://didaktikaunj.com
·
Abdullah, Ilham (2018, 4 Juni). Kantin Spiral Tak Ada, Pedagang Kecewa. Diakses
23 Juni 2019 dari Didaktikaunj: https://didaktikaunj.com
0 Komentar