Cerpen
Kucing yang Gentayangan

Sumber Gambar : kompas.com
Oleh : Lelawa
Ditempat
yang tidak serba otomatis. Aku kayuh sepedaku mencari penggilingan kelapa.
Panas sekali lebih panas dari Jakarta. Dan cahanya matahari
seperti melompat-lompat diatas aspal. Di
pasar terdekat aku berhenti. Seseorang sudah mengantri, seorang laki-laki
dengan kulit kecoklatan.
"Coba ditengok kedalem mbak, ini aku juga nyelep[1] blm selesai sudah
ditinggal"
Lalu
ku tengok kedalam rumahnya. Dan beberapa orang berbaju bagus duduk. Beberapa
anak kecil dan orang dewasa lain berbaju bagus. Oh biar kutebak. Cucunya ? Lalu
aku keluar lagi dan laki-laki tadi tidak lagi sendiri, tapi disampingnya duduk
seorang wanita muda dengan anak kecil
dipangkuannya. Dan perempuan muda dengan
bahasa jawa yang tercerabut sana sini oleh bahasa Indonesia bicara padaku,
"Coba
kalo dari tadi dikerjain ya sudah selesai. Wong
tinggal dikit lagi kok, wis
mari"
"Iku loh ada cucunya baru sampe, buru-buru dia masuk"
Dan
perempuan muda itu diam meski agak kesal. Aku pun juga diam. Maklum.
Setiap
rindu tidak bisa dibayar dengan uang. Terutama di desa sepi ini, rumah-rumah
bambu sudah berubah jadi rumah batu.
Jalanan juga sudah begitu mulus, tidak seperti dulu sampai-sampai tidak
mulusnya aku pernah oleng dan
menabrak tukang bakso dan menggulingkan bakso-bakso itu ke rawa kecil di jalan
di ujung pasar sana. Tidak, tidak. Tidak banyak lagi orang-orang teledor
seperti anak kecil yang tak sampai pada pedalnya itu.
Untuk dimarahi, untuk diajari beberapa petuah kehidupan dari lagu-lagu. Memetik
daun-daunan di tepi rawa untuk masak-masakan. Yang kadang menangis, yang
berlarian lincah, yang tekun belajar atau menggambar di meja-meja lipat mungil.
Yang belum bisa keramas sendiri. Mereka seperti hilang ditebas saat gedek[2] dan gebyog[3] diganti
bata. Seperti kucing-kucing yang hilang, yang mati tersetrum di sawah.
Di Jakarta bisa ada beribu kucing
yang bisa dilihat tapi disini melihat
kucing sama jarangnya melihat lelawa dimalam hari. Keresahan tentang panen
gagal, wabah tikus, dan keinginan untuk meningkatkan hasil panen, mendatangkan
ide untuk menerapkan, membuat jaringan kawat listrik untuk membunuh tikus-tikus
jahanam itu. kemajuan pembangunan itu meningkatkan hasil panen, perubahan yang
sama rasa dengan keinginan berumah batu, tapi disisi lain, ada yang terlupa,
bahwa ada makhluk lain, yang menggemaskan yang kadang berisik karena saling
bertengkar, yang suka mengiba di kaki-kaki, yang kadang mencakar dan menggigit,
yang gemar memburu tikus. Kucing-kucing kampung. Kata
nenekku, “mereka mati kesetrum di sawah”, dan ya itu, mereka pergilah ke sawah, lalu
tersetrum. Mati. Sebenarnya aku juga masih
belum paham apa dan kenapa kucing itu pergi ke sawah dan akhirnya tersetrum
disana. Dan mungkin tidak hanya aku saja yang penasaran tapi kucing-kucing itu
sendiri juga penasaran. Dan
arwah mereka, gentayangan, dan barangkali menjelma fatamorgana di
halaman-halaman rumah meniru suara mobil sampai suara anak-anak yang bikin
rindu itu.
Apakah disela kampung ini tak ada tikus ? mungkinkah
mereka tertarik dengan pendar lampu penanda listrik yang berwarna-warni itu ?
tapi memang kucing kadang benar-benar seperti anak kecil yang naif, kenaifan
yang menggemaskan, yang memicu keinginan bermain dengan kaki-kaki kecil mereka,
yang melahirkan keinganan menggurui, sensasi menggurui. Dan tercipta hubungan
romantis seperti kawula dan pemimpinnya. Bagaimana kucing naif itu senang
tergantung pada manusia dan manusia senang mengendalikan kucingnya.
Ah, Maka rindu itu jelas. Pikiran-pikiran liarku yang tak terarah yang mungkin
akan makin absurd. Setelah cukup lama menunggu, pemilik usaha
itu keluar dari rumahnya. Semena-mena menaruh tulisan "sedang ada
tamu". Ia mengusirku.
Dan
aku mengomel sendiri dalam hati, hei ? Aku juga disini sedang menyicil
rindu-rindu nenekku, rindunya untuk memerintahku pergi membeli sesuatu. Rindu
untuk tidak mengerjakan pekerjaan dapur sendiri, rindu yang muncul di sela
suara ikan goreng yang mandi minyak suara-suara seperti, "iki opo mbah?" (Ini apa mbah). Lalu aku malas mendebat, dan
kukayuh pulang sepeda dan kelapa 6 butir di keranjang itu.
***
Cinta
dan rindu dan hubungan hubungan romantis-romantisan memang kadang suka bikin gemas. Seperti
kemarin, kakek dan nenekku, tidak seperti biasanya duduk di teras dari sebelum
azan Magrib sampai selesai azan Isya. Mereka beranjak hanya untuk
solat, lalu kembali lagi ke tempat yang sama. Bahkan juga kakekku yang biasanya
lebih sering menatap kitab suci, atau menyusun naskah ceramah. Tapi kali ini
tidak. Duduk bersarung dan berkaus oblong. Ia menunggu.
Ada
suasana romantis. Sedikit tentang hubungan mereka yang bertahun itu, tapi lebih
banyak tentang romantisme menunggu, suasana malam yang rindu, dibakar malam
pengap dan bola waktu yang terasa lambat. Anak kedua mereka menelepon sebelum
magrib dan berkata akan sampai malam ini lengkap bersama istri dan dua anaknya.
Berteman
bintang, cahaya-cahaya yang bertubi-tubi tidak bisa
ditampik, pohon mangga yang bergoyang sepi. Mereka seakan menganyam penantian
itu jadi semacam kubah tipis yang indah, sampai aku tak sampai hati mendekat.
Aku tidak terlalu tau apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sorot matanya yang
jauh menatap langit, sorot mata nenekku, tercermin sebuah harapan yang
sederhana. Berhias lelawa yang beberapa kali lewat, rindu yang menggerasak
seakan akan kabur dari kelam yang ada di kebun di depan rumah, sebuah
pertunjukkan kecil yang indah. Ada barangkali terbayang bagaimana kisah tujuh
anak-anak bisa begitu cepat tumbuh, dan rumah yang pelan-pelan ditanam jadi
sebesar ini.
Rumah yang selamanya tidak lagi kayu. Rumah yang sudah
jadi batu. Apakah itu sudah cukup membawa kebahagiaan ? harusnya sudah, tapi
manusia mana yang dapat cukup, ada saja celah untuk mengeluh. Misalnya saja
seperti rumah yang sudah tahan kebakaran ini, seakan-akan jadi semacam tempat
peribadatan yang bersaing dengan
masjid-masjid di penghujung Ramadhan.
Lalu apalagi setelah hari lebaran tiba ? sepi. Aneh barangkali, bagaimana
pembangunan di kota membuatnya makin ramai saja, tapi rumah-rumah batu yang
muncul di kampung ini malah banyak yang sepi. Seperti SD di dekat perbatasan desa, tidak lagi
dari gebyog yang bisa diintipi
celahnya, dan tak lagi beralas tanah hitam, murid-murid nya makin sepi.
Pendar lampu yang bisu, nyamuk-nyamuk yang iseng, bola
waktu yang lambat. Yang dinanti tidak juga datang, kubah indah itupun goyah.
Desa ini dan Kota J tidaklah
jauh, tapi kesibukan yang merentang adalah bumbu-bumbu klasik tentang
penantian. Kecintaan
keluarga itu sebagai pelayan masyarakat
dibidang kesehatan menjadikan rindu adalah hal yang tidak layak
diperdebatkan, urusan pribadi adalah tabu. Begitulah menurut orang-orang mestinya berlaku sehingga
dunia dapat berjalan dengan normal. Orang-orang menggenggam hal-hal prinsipil
sehingga dipanggil hero, meski pada
akhirnya sewaktu-waktu prinsip-prinsip itu menjadi virus-virus yang tinggal menunggu menjadi penyakit.
Akhirnya malam lebih dalam.
Nenekku jadi banyak diam, menelusur jauh ke semak-semak dilahan kosong.
Barangkali terbayang alas-alas (hutan) yang merentang
dari desa ini ke Kota J, jalanan berliku, jalanan yang gelap, sorot
tajam lampu dikelokan bukit. Teringat anaknya yang baru saja belajar bermobil
satu bulan ini. Dan lagi, Jalan Pantura yang merentang, lurus, mulus, kaku dan membosankan dengan selang seling
lampu kuning yang monoton, tambak
sampai rawa yang sunyi menggoda setiap kendaraan memecah jengah dengan memacu
kecepatan tinggi. Menggelisahkan. Nenek dan kakek ku seperti mata dadu yang
dikocok di serambi rumah itu, dan mereka berjudi dengan pikiran mereka,
berpindah-pindah posisi duduk.
Sampai akhirnya, suara menggerasak dari gelap diujung
jalan, lampu kuning, sebuah mobil jeep, menepi, berhenti. Kuperhatikan
nenekku, Ia nampak tak tenang dengan duduknya, menahan rasa senangnya, tapi
dengan sabar, seakan meluruhkan rindu dan khawatirnya
satu-satu dalam setiap jejak kaki yang dilempar anaknya yang keluar dari mobil.
Cucu-cucunya memunguti tas dari bagasi. Anak keduanya itu pun memimpin rombongan menuju
kedalam rumah, dan dengan takzim menghadap nenekku, dan memeluknya, meluruhkan bayangan lelembut alas dipikirannya. Semua seakan begitu cepat,
transaksi intim yang sekelebat. Dan senyum tipis nenekku mengembang. Dan wajah
sunyi itu pudar, saat Ia melihat cucu nya yang masih kecil dan menggodanya.
Lalu tubuh gesitnya bergerak, mulut berisiknya bergerak, memandu anak nya
membawa masuk tas-tas kedalam kamar, yang sudah menunggu dihuni selama setahun.
Suara nenekku, khas wanita jawa timur, keras, agak melengking, menjamah
rumah batu yang kebetulan kosong di sebrang rumah, menjamah rumah yang sudah
rata dengan tanah disebelahnya kiri rumah kosong itu, menjamah kebun kosong
yang seakan selamanya kosong disebelah kanannya, menjamah rumah batu yang
persis ada disebelah kanan rumah yang sudah ditinggal mati penghuninya, seakan
berkata, “aku tidak lagi sesepi kalian, cucu dan anak -anakku sudah datang”.
Dan
aku akhirnya berpapasan dengan sepupuku, dan dia juga memelukku. Dan aku sadar,
bahwa esoknya aku harus berpakaian rapih karna kami akan melakukan sebuah
ritual yang lebih asing lagi terutama bagi aku dan sepupuku yang sudah
tercerabut terlalu lama dari desa ini, yaitu, berkujung ke rumah tetangga.
Tetangga nenekku, sebuah ritual yang asing juga bagi remaja-remaja lain, atau
anak-anak yang diboyong orang tuanya ke desa.
***
Dan nyatanya hari benar
panas. Setelah aku menemukan tempat penggilingan lain, aku
pulang dengan kelapa yang akan berubah jadi Wingko[4]
sebentar lagi. Tepi jalanan
yang dilapis semacam aspal putih, padel [5] , benar-benar
bagus memantulkan lagi cahaya matahari. Tapi angin untung sesekali semilir
lewat sela-sela jati yang kurus-kurus ditepi jalan,
menyapu jeruji sepeda.
Gemerisik sawah seakan
lagu selamat tinggal yang sederhana dari alam desa pada bulan Ramadhan. Diatas
roda yang berputar, aku menerka-nerka arti pulang kampung. Bagi jiwaku yang terlalu lama berpisah dari
kosa kata Jawa Timur, bicara dengan
bahasa ibu itu pun aku sudah amat kikuk, sampai saat ku pergi ke warung pun aku
akhirnya menggunakan bahasa Indonesia,
yang membuatku rasanya mengambil jubah abadi sebagai tamu ditanah
kelahiran sendiri.
Sampai akhirnya, sepedaku
sampai dirumah. Aku hadap nenekku di dapur yang hanya menggunakan kain jarik dan semacam kutang jahitan sendiri seperti
halnya wanita seusianya di desa itu. Menyambutku tidak sebagai tamu yang
berleha-leha, Ia menganggapku bagian darinya. Aku dan nenekku bersama-sama
menghangatkan dapur, mengolah kelapa jadi Wingko,
menyicil rindu. Di awal Syawal yang akan berlari lagi.
Jakarta, 16 Juni 2019
[1] Menghaluskan bumbu dapur dst dengan mesin besar
[2] dinding rumah dari anyaman
bambu.
[3] rumah dari kayu
[4] makanan khas Jawa Timur yang terbuat dari
kelapa muda
[5] batu kapur putih yang
dihancurkan agak halus untuk menutup jalan seperti aspal
0 Komentar