Hasil gambar untuk pendidikan
Sumber: mobelos

Oleh: Namikus

Pendidikan secara umum diartikan sebagai proses transfer pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya, baik itu dalam hal praktik maupun gagasan. Jika yang menjadi acuannya adalah pengetahuan, maka tentu semua orang pasti mengalami apa yang disebut pendidikan. Karena pengetahuan sendiri diartikan sebagai segala hal yang diketahui, maka tentunya setiap orang yang sadar dan berinteraksi pasti mengetahui sesuatu—apapun itu.

Setiap manusia pasti pernah mengalami dua tahap dalam kehidupan, yaitu proses belajar dan proses bekerja.[1] Di zaman dan tempat manapun pasti manusia mengalami hal ini, pertama belajar—dalam bidang apapun meski tidak pernah sekolah, manusia purba pun pasti pernah belajar, misalnya belajar bertani, berburu, atau minimal belajar berinteraksi, hal ini biasa dilakukan ketika masih kecil. Kemudian ketika dewasa, manusia akan melalui fase bekerja. Meski pada saat bekerja orang masih bisa belajar, tetapi pada fase ini jarang orang mau belajar hal baru. Contohnya, seseorang di usia 40 tahun, yang telah lama menjadi supir, akan berpikir seribu kali untuk belajar hal baru untuk pekerjaan baru. Hal itu karena di usia 40 tahun secara psikologis dan peluang, manusia tidak mau hal-hal yang baru.

Dari dasar itulah sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu hal yang pasti bagi manusia, bahkan makhluk hidup. Setiap dari kita yang mewariskan sesuatu ke generasi berikutnya, baik itu untuk menunjang praktik maupun pemikiran adalah sebuah proses mendidik.

Sekarang ini, karena melihat pentingnya pendidikan sebagai proses transfer pengetahuan, manusia menciptakan suatu sistem formal untuk melakukan proses pendidikan, yang biasanya disebut sekolah. Di Indonesia sendiri, ada yang disebut wajib belajar 12 tahun, agar masyarakat bisa terdidik dan bisa bekerja sebagai aktivitas ekonominya. Namun yang perlu dilihat dan dicermati, proses belajar yang dilakukan harus sesuai dengan tantangan atau hal yang harus dikerjakan. Misalnya, kita tidak bisa belajar caranya membuat lemari, apabila di masa depan manusia tidak akan menggunakan lemari—keahlian kita akan sisa-sia, lebih ditakutkan lagi kita akan menjadi manusia sampah, yang diusia tua takut untuk belajar baru, tetapi tidak bisa menggunakan hasil belajar kita.

Melalui permasalahan ini dan dalam meninjau kembali kualitas pendidikan di Indonesia, kami merasa tertarik untuk membahas relevansi pendidikan di Indonesia. Tetapi sebelum kita jauh membahas relevansi, ada satu hal penting yang perlu kita rumuskan terlebih dahulu, yaitu tentang tujuan pendidikan itu sendiri. Hal itu disebabkan karena apabila kita ingin mengetahui relevan tidaknya suatu pendidikan, kita harus tahu terlebih dahulu, untuk apa pendidikan itu diberikan.

Dari segi sejarah, pendidikan di Indonesia memainkan peran penting dalam proses perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Melalui politik etis, yang di dalamnya terdapat elemen edukasi, telah membangkitkan kesadaran rakyat, yang diwakilkan oleh kaum intelektual untuk bergerak melawan penjajah. Maka dari sini, bisa kita lihat bahwa tujuan pendidikan  di Indonesia yang pertama adalah membangkitkan kesadaran untuk melawan penindasan.

Salah satu tokoh pendidikan di Indonesia yang berasal dari keluarga yang peduli juga terhadap pendidikan pribumi, R.A Kartini, telah merumuskan tujuan daripada pendidikan itu sendiri bagi rakyat Indonesia. Dua hal penting yang menjadi tujuan R.A Kartini memperjuangkan pendidikan, terutama untuk kaum wanita yang terdeskriminasi secara sosial budaya pada waktu itu. R.A Kartini merumuskan dua hal yang menjadi tujuan pendidikan itu sendiri dalam Notanya yang berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan, 1) wanita sebagai pendidik, agar menjadi pendidik yang baik 2)  para bangsawan, agar menjadi penguasa yang bijak dalam melindungi kaulanya.[2]

Tujuan pertama menjadi penting, karena wanita sebagai salah satu bagian dari keluarga memainkan peran penting dalam sosialisasi ilmu pengetahuan atau bisa disebut sebagai agen utama transfer pengetahuan. Hal itu tentu relevan dengan yang terjadi sekarang, karena keluarga sebagai agen sosialisasi utama memainkan peran penting dalam pendidikan yang menjadi salah satu tugasnya, dan ibu adalah orang yang pertama sekaligus utama yang melakukan hal itu di banyak kebudayaan yang ada di dunia. Oleh karena itulah, R.A Kartini mengkhendaki pendidikan untuk perempuan, karena perempuan sebagai agen sosialisasi harus memiliki kecerdasan intelektual sekaligus karakter yang baik, untuk tentunya bisa mencetak generasi yang unggulan pula, yang di mulai dari keluarga.

Kemudian untuk tujuan yang kedua, agar bangsawan terdidik dan melindungi kaulanya, memiliki relevansi yang sangat besar dengan keadaan sekarang. Satu film yang mengisahakan oligarki kekuasaan yang bekerja sama dengan para kapitalis untuk melanggenggkan sebuah perusahaan yang memang menguntungkan secara finansial tetapi disisi lain merugikan secara sosial dan lingkungan—film Sexy Killers, memperlihatkan kepada kita bagaimana bangsawan yang terdidik secara intelektual tetapi tidak bisa melindungi kaulanya (masyarakat Indonesia). Memang masih perlu diperdebatkan jumlah keuntungan dan kerugian yang dihasilkan dari Tambang Batu Bara (pokok pembahasan film Sexy Killers), tetapi kita juga menyaksikan bagaimana para bangsawan tidak terlalu memedulikan aspek lingkungan dan masalah sosial yang ditimbulkan, itulah mengapa pendidikan itu diberikan selain untuk membuat orang terdidik tetapi juga bisa melindungi masyarakat.

Dari berbagai tujuan yang dipaparkan diatas, bisa kita ambil benang merah, bahwa tujuan pendidikan itu adalah untuk mengsejahterakan dengan konsep keadilan. Tidak bisa kita tapikan bahwa salah satu tujuan pendidikan itu tentunya adalah kesejahteraan, kita tidak mau orang miskin kelaparan, kita tidak mau orang harus bekerja dengan jam kerja yang padat tetapi diupah murah, kita tidak mau orang mengerjakan sesuatu dengan paksaan—lebih dari itu, kesejahteraan diberikan untuk kebahagiaan, meski kebahagiaan itu relatif setiap orang, tetapi penderitaan itu mutlak—orang yang miskin kelaparan mutlak merasakan rasa sakit, meski mencoba bahagia, tetap saja ia sakit dan kesejahteraan adalah salah satu jalan keluar.

Kemudian untuk konsep keadilan, meski konsep ini bisa menjadi perdebatan, seperti, keadilan seperti apa yang digunakan, tetapi saya rasa semua orang sepakat bahwa keadilan hanya bisa dicapai apabila kita bisa memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan (etika humanisme).

Lalu kenapa dua konsep ini yang di dengungkan dalam tulisan ini. Pertama, kita tidak bisa menampikan bahwa kesejahteraan merupakan salah satu yang bisa membawa manusia bahagia, meski kia berargumen hebat bahwa kebahagiaan itu tidak diukur dari materi, tetapi apa kita bisa menapikan bahwa rasa sakit kelaparan hingga kematian. Kemudian konsep keadilan menjadi penting dalam hal ini, kesejahteraan dianggap baik apabila bisa untuk tidak mengambil hak orang lain, lebih dari itu juga peduli terhadap orang lain. Misalnya seorang borjuis yang makan di restoran dengan makanan dan suasana mewah, menghabiskan satu kali makan malam seharga gaji pegawainya yang makan seadanya, digaji kecil, dengan jam kerja yang padat, itu tidak adil. Terserah jika Anda seorang liberal dan percaya bahwa hal itu wajar, karena borjuis lebih cerdas dalam bekerja, tetap saja penderitaan bagi proletar itu nyata, dan kenapa tidak diberikan gaji yang sepadan dengan jam kerja yang manusiawi.

Itulah kenapa kesejahteraan harus dibarengi keadilan, secara sejarah Bangsa Belanda memang sejahtera, Bangsawan Pribumi memang sejahtera, tetapi banyak rakyat sengsara. Apakah sekarang kita masih bisa berargumen bahwa kemiskinan mereka karena malas atau cerdasnya Bangsa Belanda atau Bangsawan Pribumi—tidak, saya tidak suka mengatakan mereka cerdas, mereka bisa disebut licik atau jika tidak licik tidak punya empati, bagaimana mungkin kita mau duduk menikmati coklat panas dengan sebuah buku, sementara tetangga kita menangis menahan rasa lapar. Itulah kenapa mungkin harus kita sepakati dahulu, bahwa tujuan pendidikan adalah mengsejahterakan dengan konsep keadilan.

Setelah kita rumuskan bagaiamana tujuan pendidikan itu sendiri, maka sudah tampak jelas kemana pendidikan kita akan diarahkan. Hal ini menyangkut relevansi daripada pendidikan. Pendidikan yang baik tentunya memiliki relevansi di masa yang akan datang, bagaimanapun juga untuk mencapai kesejahteraah, pendidikan kita yang seakarang harus bisa menjawab tantangan dan kebutuhan manusia. Tanpa hal itu, seperti yang disebutkan di awal, mungkin saja kita akan menjadi manusia-manusia sampah yang tidak bisa mengaktualisasikan diri kita terhadap realitas yang ada.

Berbicara tentang relevansi pendidikan, tentunya zaman Hindia Belanda memiliki kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan pendidikan di era sekarang. Harari melihat dan menganalisis bahwa pendidikan zaman dahulu dengan pendidikan di abad 21 memiliki hal yang sangat berbeda. Hal itu disebabkan karena kebutuhan dan tantangan yang berbeda pula.[3] Oleh karena itu, kita mungkin saja tidak bisa menggunakan pendidikan era Kartini atau Ki Hadjar Dewantara di zaman sekarang, meski memang secara pengajaran masih ada yang relevan, seperti misalnya pendidikan karakter dan lain-lain.

Pertanyaannya, pendidikan apa yang sudah tidak relevan sekarang. Harari mengatakan bahwa pendidikan yang hanya mementingkan transfer ilmu sudah tidak lagi relevan di era sekarang. Dahulu hal ini masih penting dan relevan, karena akses terhadap pengetahuan itu terbatas, maksud saya seberapa banyak buku yang bisa diakses pada waktu itu, belum lagi intervensi yang sangat kuat dari pemerintahan yang otoriter membuat orang sangat sulit untuk mengakses pengetahuan. Berbeda dengan sekarang, akses terhadap pengetahuan nyaris sudah tidak terbatas, banyak perpustakaan berbentuk fisik maupun tidak, jurnal yang terkoneksi internet, atau pengajaran dari youtube—intinya jika Anda punya akses terhadap internet, sebenarnya untuk mendapat pengetahuan, kita tidak memiliki batasan. Kemudian, meski masih ada tindakan pemerintah yang otoriter dalam intervensi konsumsi gagasan pengetahuan, tetap saja hal ini masih jauh lebih bebas daripada abad-abad sebelumnya, semuanya ada di genggaman Anda.

Oleh karena itu, sebenarnya di era sekarang, dimana pengetahuan melimpah dan tak terbatas, kita menghadapi suatu masalah, yaitu fokus kita yang terbatas, kita tidak lagi bisa membedakan mana informasi yang benar, mana informasi yang penting, dan mana informasi yang berguna. Itulah pendidikan yang kita butuhkan sekarang ini, pendidikan transfer ilmu sudah tidak relevan, maksud saya jika Anda bisa mengerahui apapun yang ada di internet apa bedanya Anda dengan mesin pencarian google, dan sehebat atau sebanyak apapun Anda tahu, tidak akan pernah Anda mengalahkan mesin pencarian tersebut.

Kita butuh pengajaran yang mengajarkan kita bagaiamana memilah mana informasi yang benar dan tidak, mana informasi yang penting dan berguna. Dan menurut saya itu bisa kita dapatkan dari pendidikan Kritis. Salah satu sifat kritis adalah mempertanyakan segala hal, di banyaknya informasi yang ada dan masuk ke kepala kita kita memerlukan pemahan kritis untuk memilah itu semua. Kemudian untuk menggapai nalar yang kritis, harus dibangun berdasarkan diskusi yang akan mengembangkan komunikasi yang baik, dengan diskusi setiap argumen kita akan terasah dan kosakata kita akan bertambah. Lebih dari itu untuk membangun argumen yang kokoh juga dibutuhkan kreativitas, kembali kita melihat manfaat dari diskusi itu. Dan pada akhirnya diskusi yang baik akan menumbuhkan konsensus yang diterima oleh semua orang, konsensus itulah yang akan membawa kita untuk bergerak dan bekerja bersama.

Prinsip-prinsip itulah yang saya lihat diinginkan oleh para penggiat pendidikan pedagogi. Mereka merumuskan empat ‘C’ untuk menjawab tantangan pendidikan di abad 21, yaitu Critical Thinking, Creativity, Communication, dan, Colaboration.[4] Saya melihat hal itu bisa digapai dari suasana diskusi kelas, bukan hanya transfer ilmu pengetahuan. Kemudian yang menjadi pertanyaan, sejauh mana bangsa kita menyadari hal ini, apakah kita siap menghadapi tantangan pendidikan di abad 21, mari kita paparkan lebih lanjut.

Indonesia sudah mengalami 11 kali perombakan kurikulum, dari mulai tahun 1947-2013.[5] Hal itu dilakukan sebagai bentuk evaluasi untuk menyesuaikan dengan tantangan pendidikan di berbagai zaman. Kurikulum yang sekarang kita pakai adalah, Kurikulum 2013, yang dilatarbelakangi untuk menyesuaikan dengan kompetensi masa depan, yaitu 1) kemampuan berkomunikasi 2) kemampuan berpikir jernih dan kritis 3) kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan 4) kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab 5) kemampuan untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda 6) kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal 7) memiliki minat luas dalam kehidupan 8) memiliki kesiapan untuk bekerja 8) memiliki kecerdasan sesuai bakat/minatnya 9) memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan.[6] Sebenarnya secara sistematis Kurikulum 13 telah memberikan instrumen rekayasa sosial untuk memenuhi kompetensi tersebut, diantara dua hal penting yang saya cermati, yaitu pembentukan suasana diskusi di kelas dan pendidikan karakter.

Lalu kembali ke pertanyaan awal, apakah cara itu relevan? Maka menurut kami hal ini sangat relevan. Ketika pemerintah menerapkan instrumen untuk merekayasa kelas mejadi lebih aktif dengan diskusi, maka sebenarnya itu hal yang bagus, karena diatas telah disinggung pula bagaimana diskusi membentuk sikap empat ‘C’. Tetapi perlu juga dicermati hambatan-hambatan yang mengiringi hal itu.

Pertama, budaya diskusi di kelas tidak serta merta akan langsung tercipta di kelas, terutama apabila kita melihat realitas di masyarakat, terutama di sekolah, ada semacam kekuasaan yang tidak terlihat antara guru dan murid yang dituangkan dalam budaya sopan santun dalam interaksi diantara keduanya. Dan itu sebenarnya terkadang menghambat proses diskusi kelas antara guru dan murid, apalagi jika guru yang sudah mendekati usia pensiun, dimana pendidikan transfer ilmu yang lama dia gunakan harus misalnya mendapat kritik dari murid, yang terjadi adalah biasanya kekuasaan guru terhadap murid itu muncul dalam bentuk diskusi yang timpang.

Hal ini tentunya bisa di debatkan, tetapi disadari atau tidak sebuah diskusi yang menyenangkan tidak akan pernah terwujud tanpa adanya pemikiran persamaan dalam hak untuk memberikan informasi. Dan hal itu di Indonesia cukup sulit, perlu penyesuaian untuk bisa melakukan diskusi yang egaliter.
Kemudian untuk pendidikan karakter, sebenarnya hal ini masih terkandung dalam budaya kritis. Apabila kita mempelajari pengetahuan dalam pendekatan kritis, pengetahuan tidak lagi bebas nilai (tidak memihak), tetapi pengetahuan itu harus memihak, memihak kepada siapa? Yaitu kepada orang yang menderita untuk menciptakan keadilan. Hal itu karena awal dari pendidikan kritis adalah protes terhadap ilmu yang positivis, menjadikan ilmu sebagai alat kuasa untuk melanggengkan kekuasaan, walaupun melakukan penindasan.

Artinya pendidikan karakter dan pengetahuan kritis sebenarnya memiliki tujuan yang sama dengan tujuan pendidikan yang di canangkan R.A Kartini, lebih dari seabad yang lalu. Dimana pengetahuan itu tidak hanya menjadikan orang terdidik, tetapi lebih dari itu menjadikan manusia yang melindungi kaulanya (memihak). Dengan pendidikan karakter diharapkan tumbuh pemimpin-pemimpin yang cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi, hingga tidak hanya mengkayakan yang kaya, lebih dari itu menciptakan kesejahteraan dengan konsep keadilan, yaitu yang bisa dinikmati banyak orang.

Akhirnya, kami melihat bahwa pendidikan dengan Kurikulum 2013 adalah upaya pemerintah untuk menyesuaikan dengan kompetensi global. Dan menurut kami itu relevan secara tujuan, tetapi kurang secara implementasi. Karena melihat adanya kekuasaan yang memisahkan antara pengajar dan siswa dalam menciptakan suatu diskusi, kami kira perlu adanya training untuk guru bisa lebih terbuka dan berinteraksi secara menyenangkan dengan siswanya, dengan seperti itu suasana kelas menjadi lebih menyenangkan, dan proses diskusi dan pendidikan karakter bisa diterapkan dengan baik.

Lebih dari itu, kami juga menghimbau pemerintah untuk tidak terlalu melakukan intervensi dalam diskursus yang dilakukan masyarakat. Perilaku oknum pemerintah yang beberapa waktu ini terjadi seperti pembakaran buku, atau pembubaran diskusi, saya kira merupakan bentuk penghilangan diskursus dalam masyarakat, yang akhirnya juga berdampak pada ketakutannya orang untuk melakukan diskursus.



[1] Yuval Noah Harari, 21 Adab untuk Abad 21, Globalindo, Manado, 2018, hlm. 287.
[2] Dri Arbaningsih, Pendidikan dan Kemandirian Wanita dalam Konteks Nota Kartini, diakses dari https://pusdimafis.blogspot.com/2019/04/pendidikan-dan-kemandirian-wanita-dalam.html, pada tanggal 1 Mei 2019.
[3] Opcit.
[4] Ibid.
[5] Yulaikha Ramadhani, Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita, Tirto.id, diakses dari https://tirto.id/yang-meresahkan-dari-sistem-sekolah-kita-cnSE, pada tanggal 1 Mei 2019.
[6] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, Januari 2014

0 Komentar