Sumber: Deksgram

Oleh: Maulana Malik Ibrahim dan Namikus

        Sabtu, 23 Februari 2019, tepatnya pukul 19.30, di Kedai Tempo yang diselimuti awan mendung, sedang dilangsungkan acara pertunjukan drama percintaan yang sarat akan jiwa yang emosional. Pertunjukan tersebut membagi dirinya dalam empat segmen, dengan nuansa tema percintaan yang berbeda. Pergolakan serta perlawanan batin tak henti-henti menghujani para penonton, seolah-olah dari empat kisah yang ada dalam pertunjukan tersebut, mengisahkan sebuah romantisme lama di dalam diri yang hingga sampai kini tak berkesudahan. Berbicara konsep dari pertunjukan tersebut, ada beberapa hal yang patut kita apresiasi, bahwa pertunjukan Empat Kisah Cinta ini sudah ditampilkan sekali dalam sebuah pertunjukan dilain tempat, akan tetapi pada pertunjukan kedua ini mengalami sebuah transformasi alur dan bahasan cerita yang karenanya menyesuaikan pada tingkah laku serta ucapan yang sehari-hari digunakan. Alur dan sudut pandang cerita dikemas secara menarik dan tidak terlalu tinggi, dapat dijangkau oleh orang awam. Bahasa yang digunakan juga dapat dimaknai secara tersirat maupun tersurat, penonton diajak untuk merasakan emosi pada setiap segmen yang ditampilkan pada malam tersebut.

·         Ulasan Kisah Pertama “Perangkap” Karya Eugene O’Neill
            Dikisahkan seorang lonte (Rose), hidup dengan laki-laki (Steve) yang sudah tergila-gila dengan mabuk-mabukan dan bermain judi. Wanita itu memiliki seorang anak yang sangat ia sayangi, sewaktu ketika laki-laki pemabuk itu datang dengan kondisi mabuk. Berbicara seenaknya untuk merebut dan  ingin membuang bayi tersebut. Laki-laki itu berpikir bahwasannya anak tersebut tidak akan bertumbuh baik di lingkungan serta kondisi yang kurang layak seperti ini. Cekcok, perkelahian, serta makian tak dapat dihindarkan dari keheningan malam waktu itu. Tiba-tiba dengan kegaduhan itu, ada salah satu tetangga (Tim Morgan) rumahnya yang mendengar. Perkelahian antara Tim dan Steve tak terelakkan lagi, Tim menodong Steve dengan pistol yang mengharuskan laki-laki pemabuk itu angkat kaki dari rumah tersebut. Pada akhirnya, Tim Morgan membuka percakapan dengan Rose. Semua pengakuan Rose tumpah ruah, seluruh kehidupan yang telah dijalaninya diceritakan kepada laki-laki yang tak dikenalnya akrab tersebut. Rose menyebutkan bahwa dirinya menderita TBC kronis yang membuat dirinya tidak bisa mencium anak yang masih bayi itu. Solusi-solusi alternatif mulai dikeluarkan dari mulut Tim, dari mencari pekerjaan yang layak hingga berobat untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Tapi dari seluruh yang diutarakan oleh Tim, semua dimentahkan atas dalih “Aku ini lonte, pun ketika aku berobat aku tidak memiliki banyak uang”. Malam yang sunyi akhirnya terpecah oleh suara kaget Rose ketika mendengar bahwa yang ada dihadapannya adalah Tim Morgan (Pembobol Bank) yang dicari-cari oleh polisi. Tak berselang lama, akhir cerita cinta tragis ini menemukan titik jenuhnya. Hanya dalam beberapa jam, melihat ketulusan serta keteguhan Tim Morgan, akhirnya Rose jatuh hati dengan begitu mudah. Polisi membekuknya di dalam rumah, menembaki Tim secara brutal, dan seketika ia tewas ditempat. Rose menyadari bahwa dia jatuh hati terlalu cepat.

·         Ulasan Kisah Kedua “Perkawinan Perak” Karya John Boudin
Di malam perkawinan perak (25 tahun), seorang wanita cantik nan jelita menunggu dengan cemas kehadiran suaminya. Lama menunggu, sekitar jam 8 malam terdengar bunyi gemertak suara pintu dibuka, datanglah suami dengan mengucapkan alibi-alibi panjang yang menjelaskan mengapa dirinya telat datang di malam perkawinan perak mereka. Sang suami memberikan penjelasan singkat mengenai pertemuannya dengan seksi produksi yang seharusnya itu bukan tanggung jawab dari dirinya, akan tetapi ia terpaksa menemui seksi produksi itu untuk menggantikan temannya yang sudah 2 hari belakangan ini tidak masuk lantaran sakit. Kecemasan-kecemasan timbul dalam diri suami, ia takut bahwa sang istri akan marah besar di malam perkawinan perak yang hanya terjadi satu kali seumur hidup mereka berdua bersama. Untuk memecah keheningan, sang suami mengomentari poci yang digunakan oleh sang istri dalam menyajikan teh di ruang tengah rumah mereka yang nampaknya tidak cocok bila poci itu harus berada disini, sang suami mencibir bahwa seharusnya poci itu berada di istana-istana ataupun rumah mewah. Sambil meminum secangkir teh, sang suami ingin menelpon restoran yang telah di pesannya untuk makan malamnya bersama sang istri, suami itu bilang akan memesankan kembali pada jam setengah 10 malam. Dengan keadaan meradang, pasangan itu terlibat adu mulut yang tidak terlalu keras. Mereka hanya saling menuduh satu sama lain mengenai prioritas mana yang diambil oleh kedua orang itu. Sang suami mencibir masalah anak, dalam 25 tahun pernikahan pasangan itu, mereka tidak dikaruniai anak karena kemauan istrinya. Sedangkan istrinya hanya ingin bekerja di panti asuhan dan merawat anak-anak kecil disana. Sang istri menyindir masalah keterlambatan suaminya tadi, mengapa tidak dapat mengatur jadwal presentasi yang paling akhir diganti menjadi di awal atau mungkin pertengahan untuk menghormati perkawinan perak mereka berdua. Suami tersebut selalu berdalih bahwa dia adalah manajer –orang terhormat—di kantornya, meskipun hanya mempunyai rumah kontrakan di pemukiman kumuh pasar minggu. Malam semakin larut, percekcokan semakin menjadi api yang membakar malam itu. Dalam keadaan kalut, mereka berdua memutuskan untuk tidak jadi pergi ke restoran dan akan makan saja dirumah. Kerumitan cerita itu semakin terjaga, ketika di akhir cerita sang suami meletakan hadiah spesial di meja ruang tamu untuk hadiah perkawinan perak mereka.

·         Ulasan Kisah Ketiga “Sahabat Terbaik” Karya James Saunders
Alur tempat kisah ini berada dalam sebuah gerbong kereta yang berjalan perlahan menuju kota sukabumi selepas pesta perkawinan 2 insan. Ikatan yang tak akan pernah bisa dilepaskan hanya jika kematian yang dapat memisahkan mereka berdua. Suara gemuruh kereta melekatkan pasangan baru itu untuk duduk mesra bersama. Terlihat bahwa laki-laki itu gemetar kakinya dan raut mukanya pucat seperti baru pertama kali merasakan kedekatan seperti itu seumur hidupnya.
Berbeda dengan lelaki yang terus gugup, si wanita terus menggoda si lelaki dengan kegenitannya. Kedua pasangan muda ini Nampak sangat serasi, lelucon yang mereka tampilkan dalam dialog menambah kehangatan ikatan cinta mereka. Keduanya saling mencintai dengan cara mereka sendiri. Si laki-laki dengan kegugupannya, sementara si perempuan dengan kegenitannya, keduanya tampak seperti dua orang yang sahabat yang dibalut dalam hubungan pernikahan.

·         Ulasan Kisah Keempat “Tempat Istiraahat” Karya David Campton
Sebuah penampilan drama komedi yang menceritakan dua pasangan tua yang sedang berkonflik, yaitu Mbah Nurma dan Mbah Pamujo. Konflik mereka dimulai ketika Mbah Nurma mengharapkan sesuatu yang mustahil Mbah Pamujo wujudkan, yaitu sebuah nisan yang bagus, bila perlu berlapis marmer, persis seperti makam tetangganya yang meninggal, jika mereka berdua mati. Mbah Pamujo yang hanya bekerja sebagai pembuat sepatu tidak bisa menyanggupi hal itu.
Konflik mereka menyebar kepada perandaian-perandaian yang tidak realistis. Mbah Nurma berpendapat, andai saja Mbah Pamujo menjadi tukang daging, mungkin dia akan jadi miliader, dan hidup mereka bisa makmur—dan paling penting, kuburan mereka berdua bisa bagus dan indah dipandang orang. Sementara Mbah Pamujo tidak terlalu menanggapi hal itu, dia hanya fokus pada pindang bandeng, sayur lodeh, sambal, dan nasi putih dalam tas Mbah Nurma. Meski begitu, sesekali dia menanggapi celotehan Mbah Nurma—menurut Mbah Pamujo, kenapa Mbah Nurma mau menikahinya, jika tidak mau hidup sengsara. Sementara Mbah Nurma berargumen, lalu kenapa Mbah Pamujo melamarnya jika tidak mau didorong untuk bekerja.
Meski terlibat konflik yang cukup serius dari segi perdebatan, dalam dialog keduanya tetap tersenyum, seakan-akan kejujuran-kejujuran yang diungkapkan kedua pihak adalah hal biasa. Semuanya tersusun dalam dialog yang lembut dan hangat. Akhirnyapun keduanya mengerti, bahwa yang paling utama itu adalah urusan perut, bukan harga diri. Nisan yang bagus tidak ada gunanya, itu hanya simbol harga diri, padahal ketika mati yang dibawa hanya badan, tidak lebih.
Pertunjukan ditutup oleh suara adzan yang berkumandang dari surau. Mbah Pamujo mengajak Mbah Nurma untuk shalat berjamaah dan Mbah Nurma dengan tersenyum menerima tawaran itu. Keduanya berencana untuk makan malam berdua dengan lauk dan nasi yang Mbah Nurma buatkan untuk Mbah Pamujo. Mereka berdua mengerti, bahwa cinta bukan hanya soal harta benda, lebih dari itu—kasih sayang hingga maut memisahkan adalah segalanya.

0 Komentar