Cerpen
Gardika

Sumber Gambar: DetikNews
Oleh: Adam Ramadhana
Berbunyi
kentongan besar di tengah perkampungan itu. Dipukul-pukul
dengan keras pertanda akan datangnya musim syarat dehidrasi ke seluruh kampung.
Si
kecil dewasa prematur dan jadi pemimpin baru kami setelah pertimbangan yang cukup
riskan. Situasi ini muncul setelah ayahnya mati dikeroyok satu kelompok anjing hutan seukuran ¾ badan manusia ketika berdiri
tegak, mayatnya terkoyak dan hanya tersisa ibu jari dan kelingking tangan kanan,
sekantong garam, sekantong kotoran sapi dan sobekan pakaian yang terakhir
dipakai. Keluarga dan penduduk kampung berkabung selama tiga bulan. Setelah itu
dipaksa bergembira dengan perayaan pemimpin baru yang jiwanya prematur.
Dimulai dengan
ritual perjanjian antara yang hidup dan mati. Diakhiri dengan cemas yang
mengapung di udara. Ia pulang dengan ketenangan yang ia tiru dari ayahnya
semasa utuh
tubuhnya, meskipun sedikit kaku dan tak natural. Ia pulang menuju istana kecil-kecilan dengan gestur
yang demikian, agak jauh dari tempatnya mengucap janji menjadi junjungan kami. Mengamati
lingkungan yang akan dia pimpin dari atas kereta kuda atau mungkin delman sesuai
protokoler kekampungan
tempat kami tinggal.
Gardika
menikmati sekaligus gugup akan situasi yang ia lihat diatas kereta kuda yang ia
tunggangi. Wajah-wajah penuh harap akan kecemerlangan ayahnya yang sayangnya bertemu
ajal lebih dulu sebelum puncak kegemilangan, tak terasa telah berpindah ke
pundaknya. Memikul beban yang lebih besar dari Bandung Bondowoso menahan
nafsunya pada Roro Jonggrang, Gardika memikul beban manusia-manusia bukan setan-setan
dan jin-jin. Karena setan dan jin bekerja menggoda manusia setiap waktu tanpa
pamrih, gaji, pesangon dan tunjangan. Sungguh kerja yang sungguh mereka itu.
Ia sejatinya hanya tinggal
meneruskan kerja
yang sudah diwarisi oleh mendiang
ayahnya. Perkampungan
tenang, tak ada kejahatan, kemiskinan, semua cukup, stabil, tidak ada keluhan
berarti disana sini. Berkat ayahnya, yang temukan formula ideologis yang pas di
pertapaannya selama lima bulan, sebelum dua tahun setelahnya bertemu ajal.
Bantura, sang ayah menemukannya setelah bertemu Kiai khas berjubah putih yang
biasa digambarkan pada sinema elektronik dengan aura keputihan yang benar
sungguh putihnya. Hangat, menenangkan dan memberi semacam wahyu kebahagiaan.
Kembali, Bantura awalnya mengira yang datang dan menyapa dirinya adalah setan
dan jin dari dalam gua. Namun lain kiranya setelah merasa aura yang berbeda
dari sebelumnya. Didengarkan petuahnya dan diterapkan sepulangnya ia ke kampung
kami.
Benar
apa yang dikatakan si Kiai serba putih dengan segala bimbingannya pada Bantura
bak rekruter MLM memandu pengikut barunya dengan telaten dan penuh perhatian. Kampung
kami kian sejahtera, kian maju, kian hilang tindak kejahatan berlandaskan
desakkan perut. Kestabilan yang pasti mulai terlihat di tahun kedua petuah
diaplikasikan. Stabil dan tidak menimbulkan permasalahan. Malang, inisiatif
Bantura dengan membuat hujan sendirian di hutan selatan kampung membuat
tubuhnya tak kembali, hanya kelingking dan ibu jari tangan kanan yang pulang.
Kestabilan yang stagnan memicu
keinginan menspekulasikan idea menjadi fakta yang menyenangkan bagi si kecil
setengah besar. Bak mainan, ia mainkan kampung kami kearah yang ia inginkan.
Arah-arah yang sudah disepakati bersama menjadi buyar oleh egoistis prematur
seorang remaja tanggung. Akalnya patah menelan nafsu yang dikandung badan. Mencipta
suatu paket pakem yang harus dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari. Mencipta
perkumpulan yang mengatur kesamaan nilai tersebut atas komandonya dari
kecukupan menuju keteraturan yang menyeluruh.
Gardika besar kepalanya, sindrom
kebintangan khas pejabat untuk menikmati harta, tahta, Pevita. Namun disayangkan
sekali Pevita tidak ada dalam ceritera ini, maka diganti dengan wanita lain
yang sepadan dengan kecermelangannya. Pajak yang sebenarnya kini tak perlu lagi
ditarik pada warga, terus dibebankan pada warga kampung. Tak sesuai dengan
kalkulasi ayahnya yang kini tinggal kelingking dan ibu jari tangan kanan di
kuburan yang masih basah. Ini menimbulkan keresahan bagi kami, terlebih dengan
jumlah yang dinaikkan demi kepentingan perluasan wilayah kampung dengan
memperkuat persenjataan dan alutsista melawan kampung sebelah.
Kecemerlangan taktik gerilya terinspirasi
ayam yang bertarung di arena sabung, Gardika suntikkan moral dan nilai kekampungan
yang diorganisir dengan baik. Menanamkan kesadaran akan perjuangan gigih yang
tak terbantahkan dari kami, oleh kami untuk kampung kami. Dengan waktu singkat
kampung kami kian luas, kian ditakuti dan kian besar. Tiga kali lipat besarnya
dalam kurun tujuh bulan sejak Gardika dilantik.
Begitupun dengan Gardika yang kian
dipandang dengan wibawa dan kemasyhuran karena kampung kami yang kian tumbuh.
Gardika menghilangkan mitos dan kepercayaan luhur, dan bertepatan dengan satu
tahun hilang raga ayahnya dari kelingking dan ibu jari tangan kanan, ia pun acuh
tak acuh dan menganggap ritual semacam peringatan kematian adalah hal yang
sia-sia. Telah diingatkan oleh penasihat kampung bahwa tindakannya dapat memicu
ketidakstabilan dan kemarahan leluhurnya, namun tak digubris sedikitpun olehnya.
Ia tetap percaya pada intuisi berdasarkan perhitungan intelektualnya.
Adat kami diganti dengan kepercayaan
akan fakta-fakta dan perhitungan yang menenangkan, setidaknya bagi Gardika. Bak
bayi memainkan squishy sekian juta
yang mengembang setelah ditekan, fakta adalah hal yang menyenangkan bagi
Gardika. Kepercayaannya disebarkan, ditanamkan, diradikalkan. Ia bisa
memperhitungkan, memprediksi dan menentukan kapan datangnya musim-musim
berbahaya bagi kampung kami.
Wewenangnya
mengarahkan dirinya pada penggantian penyakralan dengan perhitungan yang jauh
dari petuah Kiai putih pada mendiang ayahnya. Mainan yang baru ia temukan
menjadi arahan baru kampung kami dalam berkehidupan. Anak-anak kini jarang
bermain di lapangan, memulai berpikir serius sedari dini, tinggal lebih lama di
sekolah dibanding di rumah, lupa ayah ibunya bahkan diri sendiri. pencerdasan
sedari dini yang dilihat Gardika dapat membuka kemajuan lebih luas lagi, lebih
dalam lagi.
Pencapaian yang gemilang dalam
memimpin kampung selama kurang lebih tiga tahun meningkatkan kebosanannya akan
pencapaian yang terlampau cemerlang. Ia memutuskan turun dari singgasana
kampung, menuju ke jalan-jalan di perkampungan. Menikmati apa yang ia perbuat,
dan tingkatkan semenjak kelingking ayahnya bermesraan dengan cacing di
pemakaman. Ia susuri jalan dengan senyum yang khas mengumbar wibawa dan aura
namun menakutkan sekaligus mengancam. Hingga benar-benar percaya dengan apa
yang ia perbuat ternyata lebih baik ketimbang yang dilakukan ayahnya. Berjalan
ia menuju pasar, ingin melihat keberhasilan di sektor ekonomi dan perputaran
uang di dalamnya. Menakjubkan, semenakjubkan wanita yang sedang memikul bakul
berisikan jamu kekuatan pria barang semalam.
Ia
pandangi dalam-dalam, tersadar telah melewatkan berlian dalam jerami makanan
sapi. Didekati olehnya dengan gerak-gerik setenang Dilan, dengan wibawa yang segemilang
Doel anak betawi asli, maka direspon dengan baik pula niat pendekatan sang Maharajakampung
Gardika oleh si wanita. Sedikit bocoran, wanita ini adalah wanitaku, adik
perempuanku, kembaranku. Gemilang parasnya membuat ingin copot Gardika punya mata.
Wanita ini telah dekat denganku sedari kecil sekali, bahkan jiwa kita sudah
bertemu sebelum turun ke bumi, dan kini bermain Mobile Legends dengan riang gembira. Berkenalanlah, Gardika dengan Engel
dengan leluasa karena kuasa dan pesona yang dimiliki Gardika. Pertemuan yang
mencengangkan sekaligus menyenangkan bagi Gardika. Setelah berbincang sedikit,
Engel pamit untuk kembali ke rumahnya yang mana rumahku.
Pencapaiannya
berangkat dari pemerintahan yang sangat sentralistik dan memaksa, tak seperti
Bantura yang humanis dan bertahap dalam berpikir dan mempertimbangkan segala
perubahan yang akan dialami. Gardika arogan dan egoistis, seringkali
spekulasinya membahayakan kehidupan kampung dengan memperbandingkannya dengan
logika yang tak memperhatikan adat istiadat leluhur. Pernah suatu waktu, satu
kampung dihantui pasukan hantu yang dipimpin oleh ayahnya, Bantura lengkap
kecuali kelingking dan ibu jari di tangan kanan. Mengetuk tiap rumah di
perkampungan, menanyakan dimana ia bisa temukan sisa tubuhnya yang tak ada di
tanah kuburannya. Hal ini berlangsung terus-menerus setiap malam, setelah upacara
peringatan kematiannya tak lagi diperingati kemudian berhenti setelah Gardika menggelar
upacara peringatan besar-besaran wujud permintaan maaf pada mendiang ayahnya.
Aku, seorang pengajar yang dipaksa
meradikalkan isi kepala Gardika dengan baik tanpa pembekalan terlebih dahulu.
Kemudian memindahkannya ke kepala murid-muridku dengan merata dan menyeluruh.
Sebelumnya, aku, seorang pekerja dengan pengetahuan menanam padi dan terdidik
berkat Maharajakampung Bantura mendidik setiap pekerja dengan segala
kebijaksanaan yang penuh. Sebelumnya, aku, mengerjakan pekerjaan yang hasilnya
tak dapat kunikmati, pun dengan upah yang tak seberapa.
Beruntunglah, selepas Bantura
kembali dari pertapaan, nasib kami membaik secara menyeluruh. Kebijaksanaan
yang tak menakutkan dan menyenangkan memimpin kami tanpa paksaan. Sebelum duka
menyelimuti kelingking dan ibu jarinya yang pulang keharibaan. Aku, seorang
yang terpandang akan keberhasilan membuka pemikiran yang lebih luas akan
hegemoni kerajaan atas rakyatnya selama ini. Ancaman yang disadari oleh pihak
istana perkampungan ini membuat diangkatnya diriku menjadi pemimpin perkumpulan
intelektual yang telah ada semasa Bantura hidup.
Tak
lama setelah Gardika berkenalan dengan Engel, Gardika menjadi tak karuan dan
hilang arah dalam memimpin perkampungan. Ia kian menonjolkan hasrat yang tak
sefaktisitas ia sebelumnya, berimbas pada memainkan kampung dengan seenaknya. Hingga
persiapan akan datangnya musim-musim menakutkan untuk kampung kami tidak
dipersiapkan dengan baik. Satu-satunya yang Gardika siapkan hanya dirinya
menghadapi Engel si penjual jamu, dengan persenjataan rayuan yang memabukkan, senyum
yang menjinakkan, aroma yang merindukan dan wajah yang menawan.
Berbunyi kentongan besar di tengah perkampungan itu.
Dipukul-pukul dengan keras pertanda akan datangnya musim dehidrasi ke seluruh
kampung. Hal ini berdasar perhitungan intelektual Maharajakampung Gardika, dia
sebenarnya tak peduli, karena telah berhasil bertahan selama tiga tahun tanpa
hal serius terjadi. Ketidakpeduliannya juga didorong hasratnya, Engel yang
mempesona dengan bakul sebagai ornamen penambah atribut kecantikan, yang
diselendangkan sutra yang ia temukan di jemuran tetangganya. Ditambah lagi
dengan wawasan dan kepribadian yang mempesona tiap lelaki dengan sikap feminim
yang menawarkan kelemahlembutan, bukan meminta kesetaraan.
Pertemuan penanggulangan musim
kemarau pun dilewatkannya hanya untuk melihat wanita dengan bakul jamu
berseliweran di pelataran istana kampung, menuju pasar hingga ke perbatasan
kampung. Menteri Penanggulangan Huru-Hara dari Tuhan bingung harus menentukan tindakan,
karena nampaknya tindakan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya tak lagi jadi
solusi untuk bertahan dari realita air yang lenyap selama kurun waktu dua bulan
kekira. Ia berharap kelingking dan ibujari Maharajakampung Bantura berevolusi
seutuhnya. Menteri Segala Hal dari Bumi yang Membantu Bagi Manusia menjadi
pijakan lain dalam menanggapi situasi ini, kebijakan impor yang belum disetujui
oleh sang Maharaja menjadikan ketersediaan pangan dan air yang mendesak untuk
hadapi situasi ini, tidak akan tercukupi.
Sang Maharaja tak tahu, realita akan
keruntuhan kemasyhurannya. Dikarenakan perluasan wilayah yang sudah dicapai, maka
semakin banyak perut yang harus diisi, dan kerongkongan yang harus dibasahi. Situasi
ini telah diceriterakan pada kami, pekerja yang pada saat itu mendapat
bimbingan langsung dari Maharajakampung Bantura semasa utuh tubuhnya, lengkap
dengan pengetahuan akan terjadinya kemarau yang menyulitkan di masa mendatang.
Selagi
si Maharaja bau kencur mencoba dekati Engel, kami pekerja yang telah menjadi
pengajar mengadakan pertemuan dan persekongkolan untuk melawan ketidak-sewenangannya
dan kebutaannya. Maka tercapai kesepakatan bahwa aku terpilih menjadi pimpinan
perundingan dan perkumpulan dan dikarenakan itu, harus meminta kepada Engel
untuk mengingatkan Gardika untuk melihat situasi ini dengan lebih seksama.
Bertemulah Engel dan Gardika, berdua
diperjamuan yang menyenangkan. Perjamuan yang sungguh minum meminum jamu, Buyung
Upik nampaknya. Diingatkannya oleh adik perempuanku bahwa situasi ini butuh
pertimbangan dari Dewan Intelektual kampung yang memahami antara yang fakta dan
kepercayaan, yang nyata dan perasaan, yang hidup dan mati. Gardika menolak
dengan arogan, menentang saran dengan ketegangan diantara botol jamu Sari
Rapet.
Kandas harapan kami padanya, pula
Engel dengan semangat membangun rumah tangga bersamanya. Gardika kembali ke
istana dan menerapkan strategi yang biasa digunakan tuk hadapi musim ini. Menteri
Segala Hal dari Bumi yang Membantu Bagi Manusia dan Menteri Penanggulangan
Huru-Hara dari Tuhan langsung bergegas menyelesaikan jobdesc mereka. Kampung yang telah meluas cakupannya dan dengan
rakyat yang lebih banyak pula, membuat solusi yang selama ini jadi pilihan
utama dan satu-satunya terlihat seperti pilihan guyonan.
Gardika suatu malam bermimpi,
bertemu dengan Kiai berjubah putih dan memberinya petunjuk untuk membawa
kotoran sapi dan garam melewati perkampungan hingga gunung Mancagahar tempat ia
menyemai yang ia bawa. Gardika terbangun akan keanehan mimpi yang ia alami.
Teringat akan fakta sebelumnya bahwa ayahnya mati karena menyelamatkan kampung
dari kemarau dengan mendengar petuah dari sosok berjubah putih. Ia putuskan
kembali pada perhitungannya dengan kebijakan kekampungan yang ia percayai,
menghiarukan sang Kiai yang memberi arahan.
Tak menunggu lama, kehancuran serasa
berada di depan muka kampung. La Via
Compesina, kedaulatan pangan sebagai hak untuk rakyat. Setelah keluhan warga
sudah memuakkan kepala Gardika, ia segera memerintahkan ajudannya menemui kami,
memanggil kami untuk berunding dengannya di istana. Kami datang, memenuhi
undangannya dengan setengah hati karena telah menganggap remeh peringatan kami.
Diceritakan olehnya akan mimpi dan kemungkinan solusi yang ditawarkan.
“Kami sarankan, baginda
Maharajakampung jalankan saran sang Kiai dengan baik.” Kataku seraya Gardika
mendengarkan dengan seksama. “Baiklah, aku akan laksanakan saran ini demi
keberlangsungan kampung kita.” Tambah Gardika dengan wibawa yang diwarisi
ayahnya. “Kami sarankan lagi, agar kami mengantarkan baginda ke tujuan.”
Gardika mengiyakan dan berangkatlah kami esok hari.
Kami berangkat dengan arahan
seadanya yang dilihat dari mimpi sepotong Gardika. Kami hantarkan ia dan dua
kantong itu, sampai puncak gunung. Dilemparkan oleh kami dua kantong itu,
bersama tubuh Gardika mengikuti. Tak lama awan hujan terbentuk mengarah ke
perkampungan. Kami pun turun, dan di lembah hanya menemukan tangan KIRI Gardika
yang utuh.
0 Komentar