Hasil gambar untuk nalar abstrak
Sumber: Google

Oleh: Raihan Ghilman

Adalah suatu kesia-siaan bilamana didapati adanya usaha untuk membatasi ruang berfikir manusia, sebab tak satupun seorang mampu merampas kebebasan berfikir manusia yang terdapat dalam dimensi imajinernya. Sejarah sebagai refleksi analitik menggambarkan bagaimana aufklarung lahir ketika masa represi akan pengetahuan melahirkan benih-benih resisten yang tertanam dalam ilmu pengetahuan yang memberontak dalam jeruji tiran teokrat. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan tak serta merta membuat kondisi kehidupan manusia menjadi sejahtera. Persoalan-persoalan sektoral berkecambah sehingga membentuk bunga rampai persoalan yang saling berkelindan dan melahirkan represifitas gaya baru melalui kontrol hegemonik secara sistematis.

Menilik bahasan tentang judul diatas, penulis pada akhirnya meruncingnkan akar pembahasan dengan menjadikan frase pertama dan kedua pada kalimat judul diatas sebagai mekanisme skematik terkait studi kasus pada pembahasan ini dan kemudian memunculkan stimulus-respon yang mencoba mengkonversikan kembali tatanan esensial dari kodrat kehidupan manusia sebagai individu merdeka dan otonom yang sarat akan romantisme kebijaksanaan. 

Organ dalam jaringan tubuh manusia memiliki peranannya masing-masing. Dalam kajian biologis, manusia memiliki titik sentral dalam jaringan organ tubuhnya, semisal; jantung sebagai pemompa darah yang berfungsi mengalirkan oksigen keseluruh tubuh, otak sebagai pusat keseimbangan tubuh manusia baik secara fisik maupun rohaniah, dan alat kelamin sebagai sentral domain reproduksi yang berperan sebagai saluran hasrat biologis manusia. Ketiga organ sentral tersebut memliki kebertautan dalam proses kerjanya masing-masing, sehingga menghasilkan suasana harmonis sebagai aspek yang saling menunjang dan membatasi dinamika skematiknya baik dalam aspek biologis maupun dalam dimensi sosial seseorang. 

Dalam tataran sosial secara filosofis makna proses kerja organ tubuh manusia digambarkan oleh plato sebagai Logistikon (otak/budi/nalar) – Thumos (hati/jantung/harga diri/keberanian) – Ephitumia ( kemaluan/nafsu/libido). Libido merupakan pusat daripada sifat ketidakpuasan yang dimiliki oleh manusia yang secara konvensional disebut nafsu. Sedangkan Thumos adalah refleksi dari adrenalin manusia, harga diri dan perasaan yang menjadi ciri khas manusia sebagai mahluk yang berperasa. Dan Logistikon adalah tingkatan yang paling luhur yang dimiliki manusia yang kerap diartikan sebagai nalar maupun logika.

Namun bagaimana ketika narasi harmonis tersebut mendapat pembalikan, bukan hanya sekedar pembalikan makna, lebih parah dekonstruksi struktural yang menjungkir balikan makna filosofis yang esensial dari keharmonisan proses kerja tersebut ketika dihadapkan dengan wacana tentang ‘Manusia Tanpa Organ’. Wacana tentang bencana tersebut tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan adanya rekonstruksi yang ironisnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan yang sejatinya menjadi sekrup bagi perubahan. Ilmu pengetahuan dalam era kontemporer, melalui globalisasi melakukan homogenisasi dengan acuan konvensional guna menyeragamkan aspek-aspek kecil yang memiliki kontradiksi dan kecenderungannya untuk memposisikan diri sebagai pihak oposan. 

Ilmu pengetahuan dalam hal ini memposisikan dirinya sebagai subjek yang mengkomodifikasikan output kajian keilmuannya sebagai komoditas melalui pemberian legitim oleh rezim pengetahuan dan di distribusikan kepada sang objek lainnya -seorang yang belajar-. Seorang akademisi yang telah menempuh pendidikan atas ilmu pengetahuan itu kemudian menjadi agen penyebar luasan ilmu pengetahuan melalui lembaga-lembaga pendidikan –sekolah, kampus, dan lembaga yang berkaitan dengannya. Proses perkembangan pengetahuan yang berlangsung secara inkremental dan disokong oleh rezim pengetahuan semakin mengukuhkan dirinya sebagai kebenaran yang tunggal sehingga menciptakan pengetahuan mainstream.

Michel Foucault salah seorang kritikus sekaligus filosof, mengajukan kritikannya terkait objektifitas keilmuan. Baginya ia menyangsikan akan hakikat sebuah pengetahuan yang berkebenaran tunggal. Ia menginsinuasikan ke’tunggal’an tersebut sebagai suatu absolutisme dan pengukuhan oleh rezim pengetahuan yang mengekang kebenaran disisi lain. Dalam era industri, baginya pengetahuan hanyalah aktivitas reproduksi dan distribusi yang berjalan melalui dua proses, yakni; kontrol internal dan eksternal. Dalam aspek internal pembentukan atas makna pengetahuan dibangun melalui hasil observasi dan kajian yang membatasi dirinya dengan pengetahuan yang lain. Yakni, pengetahuan diciptakan pertama kali dengan mengendalikan logika berfikir yang utuh. Pembenaran atas makna pengetahuan itu hanya diberikan oleh ilmuwan yang terkait.

Setelah makna di produksi, maka proses reproduksi dan distribusi pun berlangsung melalui suatu institusi kebenaran yang dinamakan komunitas akademik. Komunitas tersebut merupakan perkumpulan orang-orang logis dan ilmiah yang mencoba mendistribusikan makna pengetahuan tersebut kepada khalayak luas (Foucault dalam Suyono, 2002:182-184). Melalui pendistribusian makna tersebut akan membentuk suatu pengukuhan kebenaran dan common sense bagi mekanisme logika. Itulah proses homogenisasi yang dilakukan oleh rezim pengetahuan melalui akumulasi nilai yang dilembagakan dan distribusi oleh aparatus rezim tersebut.

Pengatahuan membentuk suatu rasionalitas tersendiri yang telah merasuki jauh kedalam alam pikiran seseorang, baik yang acuh terhadap pengetahuan maupun yang digerakan oleh pengetahuan itu sendiri. Rekonstruksi mekanisme logika banyak dipengaruhi oleh rasionalitas objektif keilmuan sebagai kiblat dari logika penalaran. Sekaligus dengan ini, pengetahuan secara implisit telah menegasikan unsur-unsur atomik yang menjadi ciri khas dari suatu kekhususan yang bersifat sektoral dari dalam diri seseorang maupun masyarakat secara historis dan kulturalnya masing-masing.

Pengetahuan yang dibungkus dalam modernisasi dan dikendarai oleh globalisasi telah kehilangan esensinya sebagai figure yang membimbing dan mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia justru malah menjadi bentuk yang otoriter bagi perkembangan dirinya sendiri. Reproduksi pengetahuan telah membentuk sense objektifitas secara struktural dan mendominasi bidang-bidang sosial lainnya. Masyarakat sebagai individu menjadi objek kelinci percobaan bagi pengetahuan untuk kemudian diasosiasikan sebagai barang dagang melalui hasil penelitiannya. Manusia mengalami kastrasi dalam tataran ide sehingga harus mematuhi hukum dan aturan moril yang berlaku dalam suatu objektifitas keilmuan yang melembaga dan hegemonik. Dominasi pengetahuan mainstream tersebut menghilangkan peranan manusia sebagai subjek otonom yang memiliki kuasa penuh untuk menentukan jalan pikirannya sendiri. 

Pengikisan hasrat sebagai esensi kemanusiaan di kekang oleh adanya aturan konvensional yang menormalisir perilaku seseorang. Sedangkan perkembangan jiwa manusia berjalan diatas dua kekuatan besar yang saling bertegangan, yakni; rasio dan hasrat. Rasio sebagaimana dikatakan Weber selalu mengutamakan kalkulasi untung dan rugi, melalui aspek cara yang digunakan dan nilai. Pembatasan akan hasrat bertujuan untuk mmencegah kerugian yang berkaitan dengan hak orang lain melalui kalkulasi rasio.

 Sedangkan hasrat merupakan sarana eksplorasi jiwa yang berperan sebagai kekuatan ruhiyah dalam mencari dan membentuk jati diri seseorang. Determinasi akan pemenuhan hasrat hanya akan menimbulkan suasana konfliktual dalam diri seseorang, sebab pemenuhan hasrat merupakan suatu kemajuan bagi diri seseorang oleh karena adanya tanda-tanda kehidupan yang seimbang antara akal yang dulunya sangat dominan dengan hasrat yang berjalan beriringan.

Pemenuhan hasrat inilah yang kemudian menjadi refleksi seorang manusia, bahwa dirinya diciptakan dengan memiliki kekuatan rasa. Rasa inilah yang menjadi stimulus bangkitnya gairah hidup dan suburnya daya imajinasi. Imajinasi menuntun seseorang dalam perjalanan hidupnya yang lebih artistik, astetis, dan kreatif (Raditya, 2014). Semisal penyaluran hasrat seksualitas dalam bidang seni akan menciptakan suatu karya seni tingkat tinggi dan dalam budaya akademik akan menciptakan karya dalam bentuk konsep teoretik yang menarik, variatif, serta komprehensif. Dengan demikian pemberian kesempatan untuk membuka ruang bagi hasrat dalam memenuhi kepuasannya dirasa perlu agar kondisi psikis manusia selalu terasah, terawat, serta tetap ‘hidup’ dalam dimensinya yang khas tanpa adanya intervensi dan represi dari pihak manapun.  



Referensi :
·         Raditya, Ardhie, 2014. Sosiologi Tubuh, Yogyakarta: Kaukaba
·         Foucault, Michel, 2002. Power/Knowledge (terj.), Yogyakarta: Bentang

0 Komentar