Kajian
Fanatisme di Tengah Masyarakat Multikultural
Sumber: Google
Oleh : Putri Firdaus
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki
berbagai macam kebudayaan, pluralitas dan heterogenitas yang ada dalam
masyarakat Indonesia diikat dengan semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompoketnis,
budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus
juga heterogen.[1]Hal
ini dapat terbentuk karena adanya perpaduan dari asimilasi dan akulturasi
kebudayaan yang ada. Keberagaman
ini sepatutnya dapat dijadikan sebagai identitas bangsadan menjadi ciri
khastersendiri bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya
keberagaman yang dimiliki terkadang menjadi kelemahan dan sering kalimenjadi
penyebab utama terjadinya konflik di masyarakat. Menurut Nasikun dalam bukunya Sistem Sosial Indonesia ia menjelaskan
bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia dapat
dilihat dari dua cirinya yang dapat dikatakan unik, pertamasecara horizontal, kemajemukkan
masyarakat Indonesia ditandai
dengan
kenyataanadanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkanperbedaan suku bangsa,
agama, adat, sertaperbedaan kedaerahan, dan ciri yang kedua yaitu secara vertical,ditandai dengan adanya
perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang lumayan tajam.[2]
Hal ini menunjukkan pada dasarnya sulit untuk mempersatukan keberagaman yang
ada di Indonesia tanpa didukung dengan kesadaran dari masyarakat Indonesia
sendiri akan kondisi bangsa Indonesia yang multikultural.
Fanatisme menurut kamus besar bahasa Indonesia
berartikeyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik,
agama, dan sebagainya). Jika melihat arti dari
kata fanatisme sendiri dapat dikatakan bahwa Indonesia
adalah negara yang rawan terserang pahamfanatis ini,Menurut
Geerzt, dalam buku Hardiman Belajar dari Politik Multikulturalisme, ia menyatakan bahwa Indonesia ini begitu
kompleksnya, sehingga sulit menggambarkan
anatominya secara spesifik. Bangsa ini bukan hanya multietnis (Jawa, Batak, Bugis, Aceh, Flores, Bali, dan seterusnya), akan
tetapi juga menjadi tempat pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hindhuisme, Buddhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dan seterusnya).[3] Karena
kondisi Indonesia yang sedemikian komplesksnya, hampir setiap pekannya kita dapat melihat berita di media massa tentang
permasalahan atau konflik yang dipicu karena perbedaan yang ada di masyarakat.
Hal ini menggambarkan seakan-akan, rasa cinta terhadap
bangsa Indonesia tidak lebih besar dari rasa cinta terhadap suatu golongan
kepentingan tertentu.
Jika
dilihat dari sisi pandang psikologis, fanatisme ini ialah bentuk solidaritas
akan orang-orang yang sepaham dan rasa keditaksukaan akan orang-orang yang
tidak sepaham. Ketidaksukaan ini bukan berdasarkan argumen yang logis, tetapi
sekedar rasa tidak suka kepada apa yang tidak disukai. Jalan pikiran orang
fanatik bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan
bahkan mengancam eksistensi dirinya. Kemudian perasaan itu berkembang menjadi
rasa benci terhadap orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara
psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip
lebih baik menyerang daripada diserang, maka orang itu akan agresif.
Salah
satu permasalahan yang saat ini menjerat bangsa
Indonesia adalah fanatisme akan suatu kelompok kepentingan. Kita
mungkin masih mengingat berita pembunuhan yang dilakukan oleh oknum suporter
sepakbola terhadap suporter lainnya, dalam hal ini pembunuhan yang dilakukan
oleh salah satu oknum suporter sepakbola Persib Bandung terhadap seorang suporter Persija Jakarta.Mungkin sudah
menjadi rahasia umum kalau kedua kesebelasan ini adalah rival abadi. Hal ini
dapat terjadi salah satunya karena faktor fanatisme yang tinggi diantara kedua
suporter sepakbola ini. Sebenarnya, kasus terbunuhnya suporter sepakbola di
Indonesia ini bukan yang pertama kalinya, ada beberapa kasus serupa yang pernah
terjadi dan bukan hanya dikalangan suporter sepakbola Persib Bandung dan
Persija Jakarta saja. Menurut sumber liputan6.com jumlah korban meninggal dunia
karena permasalahan antar suporter ini dari tahun 1995 hingga sekarang
berjumlah 55 jiwa. Jika melihat hal tersebut, saya jadi berpikir sampai kapan
lingkaran setan ini terus berlanjut, sedangkan jumlah korban jiwanya saja sudah
mencapai 55 orang?
Selain
itu, pada saat terjadinyaperistiwa meninggalnya
seorang suporter Persija Jakarta oleh oknum dari suporter Persib Bandung, saya melihat kejadian di lingkungan tempat tinnggal
saya,ada 6 orang anak yang
sedang bermain, dan ternyata mereka sedang bermain peran untuk menjadi suporter
sepakbola Persib Bandung dengan suporter sepakbola Persija Jakarta. Mereka
melakukan reka ulang adegan pengeroyokkan yang terjadi. Sampai keluarlah kata-kata yang sangat tidak
pantas untuk dikatakan oleh anak seusia mereka dan tindakan yang tidak pantas
untuk dilakukan. Mereka dapat mengetahui kejadian tersebut dengan begitu rinci.Melihat peristiwa
tersebut saya jadi terpikir,
apakah bibit-bibit kebencian akan suatu golongan memang sudah tertanam seacara
otomatis pada generasi muda? Saya juga masih mengingat nyanyian-nyanyian yang
sering dinyanyikan oleh anak-anak di sekitaran rumah saya, yang isi dari
nyanyian tersebut tentang kebencian akan suatu klub sepakbola.
Di
lingkungan rumah saya juga yang mayoritas beragama islam, jika ada orang yang
berbeda keyakinan
pastilah menjadi perbincangan di tengah masyarakat, entah itu tentang kebiasaan
ibadah mereka, perilaku sehari-hari yang mereka lakukan atau hal-hal lainnya.
Walaupun tidak dijauhi oleh masyarakat sekitar, tapi pasti jika ada orang yang
berbeda agama berkumpul di tengah-tengah masyarakat, pastilah ada sebuah tembok tak kasat mata
yang membatasi interaksi antar masyarakat tersebut.
Mengapa hal ini msih saja terjadi di tengah masyarakat Indonesia?
Saya orang Sunda dan saya juga
bertemandengan orang Jawa dan orang Minang, maupun orang-orang dari suku bangsa lainnya.
Saya mencintai kebudayaan suku saya,saya ingin kebudayaan saya lebih dikenal oleh
masyarakat luas,tapi bila saya sedang berinteraksi dengan orang dari suku
bangsa lain, saya pasti akan mencoba
menghargai kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan yang saya miliki, walau terkadang memang terbersit
rasa membanding-bandingkan
kebudayaan yang
saya miliki dengan kebudayaan lain
dan merasa kebudayaan saya lebih baik dari kebudayaan
yang lain. Tidak dapat dipungkiri kalau terkadang perasaan seperti itu muncul tanpa bisa dicegah. Entah apa yang menyebabkan hal tersebut dapat
terjadi, apakah mungkin karena saya berasal dari desa, yang pada
dasarnya jarang berinteraksi
denganlingkungan yang memiliki kultur budaya yang beragam?.
Jika
melihat berbagai permasalahan tersebut, apakah Indonesia sudah mampu menghadapi
berbagai tantangan multikulturalisme diglobalisasi ini?
Sejatinya dalam menghadapi permasalahan
multikulturalisme bangsa ini, kita perlu mengenal diri kita sendiri.Know
thy-self! Kenalilah diri Anda
sendiri. Kata Socrates seorang filsuf Yunani. Agar seseorang dapat
mengakutualisasikan dirinya, apalagi untuk meraih keberhasilan dalam
perjuangannya, langkah awal yang harus ditempuh adalah mengenal diri sendiri
dulu. Demikian pula sikap yang semestinya kita lakukan ini. Memasuki abad
ke-21, milenium ke-3, bangsa Indonesia perlu menghadapi tantangan multikrisis
laksana benang kusut yang tak jelas ujung pangkalnya.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Lalalangi, Djon Pakan. 2012. Kembali! Ke Jati
Diri Bangsa Menegakkan Sumpah Pemuda, Pancasila dan UUD 1945. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara
Nasikun. 2007. Sistem Sosial Indonesia.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hardiman, F.B. 2002. Belajar dari Politik Multikulturalisme.
Jakarta: LP3ES
Lestari, Gina.Februari 2015, Bhinneka Tunggal
Ika: Khasanah Multikuktural Indonesia di Tengah kehidupa SARA. Nomor 1, http://journal.um.ac.id, 09 Oktober 2018
Harakatuna.”Psikologi
Perilaku Fanatik”. 09 Oktober 2018. https://www.harakatuna.com/psikologi-fanatik.html
Yosia,
Ario. ‘’Haringga Sirila dan 55 Suporter yang Meninggal Dunia di Pentas Sepakbola
Indonesia’’. 11 Oktober 2018. https://www.google.co.id/amps/s/m.liputan6.com/amp/3652189/haringga-sirila-dan-55-suporter-yang-meninggal-dunia-di-pentas-sepak-bola-indonesia
[1]Kusumohamidjojo, lihat diGina Lestari, Bhineka Tunggal Ika Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah
Kehidupan SARA, Jurnal UGM, Vol. 1,
(Jogjakarta : 2015) hal. 31.
[2] Nasikun,Sistem Sosial Indonesia,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.33
[3] Geerzt dalam Hardiman,F.B, Belajar
dari politik Multikulturalisme,LP3ES, Jakarta, 2002, hlm.4
[4]Jhon Pakan Lalalangi, Kembali ke Jati Diri Bangsa Menegakan Sumpah Pemuda, Pancasila dan UUD
1945, (Jakarta : Gramedia, 2012) hal. 13.
0 Komentar