Eksistensi Tionghoa di Indonesia
Eksistensi Tionghoa di Indonesia
Oleh:
Dini Sintia Dewi
Ketika mengkaji Indonesia sebagai negara
multikultural tidak relevan
rasanya
kajian tersebut tidak
dihadirkan pluralisme sebagai bahan kajian masyarakat
multikultural, mengapa? Karena pluralisme merupakan sebuah jalan untuk mencapai
masyarakat multikultural atau ketika masyarakat Indonesia beragam dalam hal suku,ras,etnis,agama dll,
maka disitu juga di butuhkan
sebuah jalan untuk masyarakat tersebut menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa merasa khawatir. Ketika bagian
dari multikultural di
dalam masyarakat berada pada posisi vertikal maka pada saat itu terjadinya sebuah
konformitas dan sebaliknya ketika,
bagian dari masyarakat multikultural ingin berada pada posisi horizontal atau
membuat strata pada bagian yang seharusnya vertical maka terjadinya sebuah
konflik pada bagian tersebut.
Di
Indonesia pluralisme juga dapat di tunjukan pada masyarakat Tionghoa, berbicara
etnis Tionghoa berkat perundangan kewarganegaraan pada masa pemerintahan Abdur
Rachman Wahid dan kemudian lewat perjanjian Chou-Soenario yang mengaggap mereka
berdwikenegeraan (Indonesia-RRC), dengan resmi mayarakat etnis Tionghoa bisa
mempunyai kewarganegaraan tunggal Republik Indonesia dalam jangka waktu antara
1960-1962. Istilah Tionghoa atau Hokiau istilah dari bahasa Hokkian, yang
berarti orang Tionghoa dalam peranatauan, jelas tidak dapat digunakan untuk
mereka WNI karen istilah tersebut dari
pihak RRC atau Taiwan yang mengagap orang Tionghoa yang bermukim di luar kedua
negara itu sebagai perantau yang suatu saat akan kembali ke negri asalnya.
Dalam
kenyataan masyarakat Tionghoa terdiri atas bebagi kategori kelompok yang pada
dasarnya sebuah continnum dari yang
menggaap dirinya dan dianggap orang lain sebagai orang Indonesia karena
terdapat orang Tionghoa berbicara totok manadarin dan ada juga yang berbicara
bahasa daerah asal tempat mereka tinggal yang sudah menyerap berbagai unsur
kebudayaan setempat akan tetapi masih bisa diidenfikasi sebagai orang keturunan
Tionghoa karena beberapa ciri khas dalam adat-istiadat, kehidupan realigi dan
perilakunya.
Secara
Sosiologis dan Kulural orang-orang Tionghoa ini merupakan kelompok yang masih
dapat diidenfikasi sebagai orang yang mempunyai sistem nilai yang berasal dari
kebudayaan Tionghoa, menggunakan istilah etnis Tionghoa menujukan kepada
kesadaran suatu kelompok akan keturunan atau asal-usul dan kebudayaan serta
adat istiadat yang sama, dengan itu mereka adalah warga negara Indonesia dan
dari segi ras hampir semuanya bukan orang Tionghoa lagi melainkan pencampuran Tionghoa
dan Indonesia.
Dalam
presepsi masyarakat luas, orang etnis Tionghoa jauh lebih banyak dari jauh
fakta sebenarnya, sebenarnya presepsi
ini di sebabkan oleh ciri khas golongan tersebut secara fisik mereka berbeda
dari masyarakat luas, mereka terkonsetrasi dalam daerah tertentu dalam kota
besar dalam bidang ekonomi seperti pertokoan, pedagangan, perbisnisan semua itu
mengakibatkan bahwa mereka sangat visible dan jumlahnya sangat kecil atau dapat
dibilang minoritas membuat powerless atau tidak berdaya sehingga terjadi
kerusuhan dan apapun asal mulanya mereka selalu terkena imbasnya dari tindakan
desdruktif. Selain itu aspek ekonomi merupakan aspek utama sebagai sumber
sengketa utama dalam hubungan antar Etnis Tionghoa sebagai keolompok minoritas
dan masyarakat luas sebagai masyarakat mayoritas. Tuduhan yang biasa dilontarkan
kepada golongan etnis Tionghoa adalah bahwa mereka mempunyai kedudukan ekonomi
yang lebih tinggi apalagi sudah
menguasai pasar ekonomi di bandingkan pribumi.
Keduudukan
dalam ekonomi dalam ekonomi ini dilihatnya sebagai warisan zaman Kolonial
ketika para penjajah memberi kemudahan –kemudahan untuk mereka mendapatkan
suatu tempat khusus dalam prekonomian akibatnya adalah bahwa sampai saat ini
kedudukan yang kuat di dalam ekonomi ini masih tetap bertahan, bahkan ada yang
mengatakan kedudukan ini bertambah kuat sehingga pengusaha pribumi mengatakan
tidak fair.
Dengan
mulainya orde baru yang menekan pembanguanan ekonomi maka kesempatan semakin
terbuka bagi mereka yang berminat untuk menjadi pengusaha dan kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh golongan etnis Tionghoa, pada kenyataanya tidaklah
disangkal bahwa perkembangan ekonomi Indonesia sejak orde baru disamping adanya
bantuan dan investasi dari luar negri menyuburkan kaum minoritas atau etnis Tionghoa
untuk menguasai prekonomian, tetapi di suatu pihak mengakui bahwa peranan
mereka diperlukan dan merupakan hal yang positif bagi pembangunan ekonomi dan
sementara itu bahwa tidak wajar keturunan asing mempunyai peranan ekonomi yang
begitu besar dibandingkan pribumi. Berbagai usaha dari dri pihak etnis Tionghoa
seperti Chiristian Wibisono dan Kwik Kien Gie untuk menetralisir pandangan
tersebut dengan mengemukakan kekuasaan terbesar dalam ekonomi berada ditangan
pemerintah.
Golongan
etnis Tionghoa Dalam masyarakat luas Indonesia bahwa tuduhan lain yang selalu
di lontarkan ini adalah eksklusivisme,
adalah presepsi masyarakat luas bahwa mereka hanya mau bergaul dengan kaumnya
sendiri dan ini disebabkan perasaan supioritas mereka. Kelanjutan tuduhn ini
bahwa mereka tidak sudi kalau anak perempuannya di sunting oleh laki-laki
pribumi. Perasaan supioritas itu memang ada, terutama pada golongan tua hal ini
merupakan sisa warisan zaman kolonia yang diperkuat dengan keterbatasan
kemungkinan pergaulan pada taraf yang sama pada itu. Tetapi sejak kmerdekaan,
kemungkinan pergaulan itu telah terbuka dengan bertambahnya kegiatan dalam kebersamaan.
Hubungan
disosiatif pribumi terhadap non pribumi tampaknya menjadi angenda politik utama
nasional sejak lama sampai sekarang, padahal sudah beberapa kali meledak di
beberapa kota di pulau jawa dan luar jawa. Apakah kejadian ini karena ada
perbedaanya absolut dalam kebudayaan yang tidak dapat dipersatukan? Tampaknya
ledakan SARA yang beberapa kali terjadi di berbagai tempat antara kaum pri dan
non pri lebih banyak disebabkan oleh adanya ketimpangan ekonomi, dan bukan
perbedaan kebudayaan. Dan apabila kita merujuk kepada penyebab munculnya
gerakan separatis yang juga terjadi dibebrap tempat di Indonesia maka negara
bangsa yang pluralistik memang selalu dihadapkan pada persoalan-persoala
instibilitas,bahkan disintegrasi dan bukan karena persoalan primodalitas yang
menggambarkan perbedaan kebudayaan. Jadi, lebih kepada aksesbilitas (kepada
sumber daya), kontrol dan distribusi sumber daya ekonomi yang timpang.
Menjelaskan
dalam situasi yang timpang secara ekonomi dan politik itu ada kemungkinan orang-
orang melihat kesempatan tertutup lalu menggerakan masa kelompoknya untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dengan cara memanfaatkan apa yang dinamakan
loyalitas tradisional yaitu dengan melalui ikatan priomodialisme. Sebaliknya,
kelompok yang di untungkan utuk mempertahankan kedudukanya dalam situasi
ketimpangan memanfaatkan loyalitas tradisional.dalam konteks ini kebudayaan
merupakan konsep laten yang dapat membuat masyarakat disintegratif,hanya saja
sifat laten tersebut tidak akan muncul manakala ada ketimpangan ekonomi dan
politik. Dengan itu harus adanya proses demokratisasi di dalam sistem ekonomi
dan politik sehingga memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh
aksesbilitas. (menurut Rajab 1996) sistem ekonomi itulah yang memunculkan
konflik antar-agama, suku bangsa, daerah maupun golongan minoritas dan
mayoritas di dalam kehidupan sosial.
Dalam
konteks Indonesia, yang menjadi persoalan merupakan pluralisme agama yang
menjadi konflik. Merujuk pada tiga bentuk pemahaman megenai pluralisme (
Ruslan; 2005) yaitu pertama sikap
kita terhadap pluralitas itu sendiri dimana berbagai persoalan yang sering
muncul adalah mengenai hubungan kita antar agama atau budaya lain. Yang perlu
dilakukan disini,adalah bagaimana mendamaikan klaim-klaim kebenaran yang kita
yakinin dengan klaim-klaim kebenaran pihak lain untuk menghindari fanatisme.
Sehingga harus dicari skema yang tepat yang dapat diterapakan untuk mewadahi
dan memaknai pluralisme agama demi tercapainya perdamaian. Kedua, kepedulian tehadap eksistensi agama-agama yang berbeda serta
perharian yang lebih terfokus pada komunikasi anatr agama-agama. Ketiga timbulnya berbagai persoalan
mengenai pluralistas agama dimana upaya-upaya yang ada difokuskan untuk
menjawab persoalan mengenai pluralitas agama dan pertemuan agama. Atas hal ini,
kemudian di rumuskan berbagai upaya untuk mengimplementasikan konsep-konsep
tesebut pada level praksis dalam kaitannya dengan hubugan antar agama. Menrut Emile
durkheim mengenai agama “ All of the
worlds relegions are true in their own fashion” semuah agama di dunia benar
meurut cara mereka sendiri.
0 Komentar