April

      April datang dengan tergesa-gesa. Rasanya baru kemarin dia naik kelas tiga. Sekarang dia sudah tinggi bahu orang dewasa. Kau tahu? April tidak akan terlambat. Namun dia selalu tergesa-gesa. Film-film kesukaannya tertinggal di atas meja. Hamparan selimut dan kain Februari yang dingin belum selesai dilipat Bunda.
     “Maret kemana?” Tanya Bunda.
     “Jauh.” Kata April.
     April senang bersepeda. Tapi dia hanya boleh mengayuh sampai tiga puluh. Selepas itu, Mei si kakak yang jahat menyuruhnya untuk tidur siang. Tidak adil. April menginginkan tiga puluh satu kayuhan seperti Januari. Tapi tidur siang adalah hal yang penting. Mei khawatir April akan menabrak tembok yang tidak rata. Lalu membuat bekas luka di sebelah matanya.
     April adalah apa-apa yang merdu di telinga. Lagu yang membawa pikirannya jauh mengembara. Atau gemercik suara hujan di teras yang dari pagi belum juga reda. Kicau burung gereja. Juga suara denting gitar kesukaannya. Maret tahu, April tidak suka keramaian. Suara bising kerap membuatnya pusing. Diam-diam Maret menyelipkan selembar malam untuk dia sendiri bersama kesunyian.
     April adalah cokelat. Yang manis. Selai. Bukan gula yang mengundang semut. Terang seperti minggu pagi. Dan menenangkan seperti teh di sore hari. Biskuit kesukaannya jangan lupa. Seperti biasa. Rasa kelapa. Atau kalau bisa jangan biskuit. Roti goreng saja. Yang bulat.
     “Biar batuk, daripada mati.” Katanya.
     April suka cerita, dia sering bercerita. Tergila-gila dengan penyihir favoritnya. Entah kerasukan apa. Juni baik, dia tidak pernah bosan mendengarkan April bercerita. Cerita yang sama. Juni telah membaca semua bukunya. Menonton semua filmnya. Tahu bagaimana jalan ceritanya. Tapi berpura-pura tidak mengetahuinya. Agar April selalu bercerita.
     “April dimana?” Tanya Penyihir tua.
     “Dia di awal Juli.” Jawab Juni tergesa-gesa.
    “Avada Kedavra!”

     Juni tergeletak tak bernyawa.

0 Komentar