Hegemoni Kekuasaan di Balik Tragedi Priok Berdarah
Oleh : Dini Sintia Dewi[1]

Tanjung Priok adalah utara Jakarta yang berada di pinggir laut dengan rata-rata masyarakat berpendidikan rendah, di mana mayoritas penduduk sebagai buruh pabrik, buruh pelabuhan dan nelayan berpotensi masyarakat ber-ekonomi menegah kebawah. Dari segi geografis Tanjung Priok merupakan jalur masuknya imigran dari luar daerah untuk tinggal di kota Jakarta melalui pelabuhan Tanjung Priok yang berimplikasi pada heterogen etnis dan agama.
Tahun 1984 pada masa Orde Baru di mana banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak pro- rakyat miskin khususnya pada buruh pabrik, buruh pelabuhan dan nelayan yang di sampaikan oleh para kyai dan tokoh muslimin di sekitaran masjid atau hanya membagikan pamflet yang mengkritik pemerintahan Orde Baru. Selain itu Pemerintahan Soeharto banyak diwarnai oleh peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat Islam. Ini tentu tidak lepas dari pesan dan intervensi asing tentang apa yang disebut “politik menekan Islam”.[2] Kasus Tanjung Priok menjadi hal yang menarik karena tidak ada pernyataan tentang cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah-ceramah di Tanjung Priok, yang mereka sampaikan oleh para mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan penguasa. Mereka mengecam kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam dan rakyat miskin. Diantaranya adalah larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah kesenjangan sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
Sebagai negara demokrasi hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi terhadap pemerintah merupakan hal yang boleh dilakukan dalam negara demokrasi dan tidak ada seorang pun yang memegang kekuasaan walaupun ia seorang nabi tidak berhak untuk memperbudak orang lain dengan cara bagaimana pun juga.[3] Melihat kasus diatas pada zaman Orde Baru sangat kritis akan kegagalan demokrasi yang diciptakan penguasaan untuk menghegemoni kekuasaan. Konsep hegemoni mengcu pada:
‘’… Sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat dalam pemaksaan kempemimpinan moral dan tema seputar masalah kekuasaan”[4]
Pada rezim soeharto merupakan bentuk hegemoni kekuasaan Orde Baru dalam melengangkan kekuasaan untuk mengatur masyarakat dalam struktur yang ada, ketika masyarakat tidak mampu untuk di atur dalam struktur maka bentuk pemaksaan akan di berlakukan. Merujuk pada warisan konsep Hegemoni yang dikemukakan oleh Gramsci yaitu bahwasanya hegemoni dan ideologi pemerintah atau kapitalis bukanlah semata cuci otak dari satu kelas dengan yang lain, melainkan adalah bentuk asimilasi budaya halus dan sebagian dinegosiasikan melalui konsensus ideologis antara kelas penguasa dan kelas bawah. Peran ideologi ditujukan untuk mempersatukan kaum yang tertindas dalam mengadvokasian. Salah satu bentuknya ialah sebuah aliansi. [5]
Melihat Tragedi berdarah Tanjung Priok 10 September 1984 seorang oknum ABRI beragama Katholik Sersan Satu Hermanu mendatangi musolah AL-Saddah untuk menyita pamflet yang mengeritik kepemerintahan Soeharto, tetapi tindakan Sersan Hermanu menyinggung perasaan umat Islam, ia memasuki Masjid tanpa melepas alas kaki, menyiram halaman masjid dengan air got bahkan menginjak kitab suci agama Islam yaitu Al-Qur’an. Dengan tindakan tersebut menyulut emosi warga dengan membakar motor Hermanu, setelah kejadian empat orang pengurus masjid ditahan oleh KODIM. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat malahan mereka di provokasi dengan mempertontonkan salah satu orang yang ditahanya dengan keadaan tubuh penuh siksaan dan luka-luka. Peristiwa ini berlanjut hari Rabu, 12 September 1984, pada saat itu di Masjid berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat mengdoktrin. Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifudin Maloko, M Nasir. Hingga terjadilah tragedi berdarah akibat pemerintah tidak kooperatif untuk membebaskan ke empat tahanan tersebut.[6]




Skema Hegemoni Kekuasaan di Balik Tragedi Priok Berdarah
Text Box: Kebijakan pemerintah non Rakyat
Text Box: Mengkritik kebijakan pemerintah.
Text Box: Politik menekan Islam
 


Text Box: Tragedi  Priok BerdarahText Box: Hegemoni kekuasaan Orde BaruText Box: Peran kyai dan tokoh muslimin.Text Box: Ploretarisasi (Kemiskinan)

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Sumber : Analisis penulis,2017
Peran pembentukan ideologi yang dimaksud kan Gramsci bukan saja pembentukan cuci otak atau doktrin tetapi dilakukan dalam asimilasi budaya baru dalam bentuk agama yang dibentuk aliansi sebagai pengadvokasi kaum tertindas dengan sebuah revolusi.[7] Seperti kasus tragedi priok berdarah peran kyai, tokoh agama dan mubaligh dalam menyampaikan aspirasi mengenai kebijakan pemerintah dalam bentuk ceramah, tulisan dll merupakan salah satu bentuk asimilasi budaya baru dalam membentuk ideologi masyarakat. Dari pembentukan ideologi seperti halnya doktrin mengenai kritik terhadap pemerintah memberikan advokasi baru sebagai mempersatukan aspirasi mengenai ketertindasan masyarakat secara langsung akibat kebijakan pemerintah pusat. Pada saat itu pemerintah Orde Baru sangat terusik dalam hal penginternalisasian ideologi yang dilakukan rohaniawan dalam hal menghegemoni kekuasaan agar bertahan lama.
Tetapi, dalam praktiknya intervensi pihak asing mengunakan agama sebagai instrumen adu domba pemerintah dengan kelompok agama sebagai sesuatu yang berujung konflik yaitu tragedi berdarah Tanjung Priok 1984 dengan politik menekan Islam dalam hal menguburkan aspirasi dan kebebasan berpendapat akan sentilan-sentilan kritik mengenai kebijakan pemerintah. Implikasi dari pemerintah yang tidak mau berkoopratif dengan kelompok agama yaitu penahanan empat orang masyarakat muslimin berujung pada pembentukan aliansi besar-besaran dalam hal kedasaran kolektif akan situasi tersebut dalam hal berjihad membela agama Islam dengan pembentrokan masyarakat dan ABRI yang berujung pada tragedi Priok berdarah 1984 kepentingan terselubung Orde Baru dalam hal hegemoni kekuasaan di tanah air Indonesia.

Daftar Pustaka

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Malesevic, Sinisa. The Sociology of Ethnicity. London: Sage, 2004.
PSPI. Tanjung Priok Berdarah Tanggung Jawab Siapa? Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Santosa, Kholid O. Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008. Bandung: Sega Arsy, 2008.
Wijangka, Agga Ramses. "Analisis Hegemoni." Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1, 2008: 188.




[1] Mahasiswa Pendidikan Sosiologi A 2015
[2] Kholid O Santosa, Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008, 2008, Bandung: Sega Arsy, hal 170.
[3] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2013, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, hal 241.
[4] Agga Ramses Wijangka, Analisis Hegemoni, 2008, Malang: Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1, hal.188
[5] Sinisa Malesevic, The Sociology of Ethnicity, 2004, London:Sage, hal 36.
[6] PSPI, Tanjung Priok Berdarah Tanggung Jawab Siapa?, 1998, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 28
[7] Sinisa Malesevic, Loc. cit, hal. 36

0 Komentar