Jenis tulisan : Opini
Oleh : Adam Ramadhana ( Sosiologi Pembangunan, 2015 )



Assalamu ’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Hari sabtu, malam nanti malam minggu. Terima kasih aksi 212 yang buat ku buat tulisan ini, terima kasih timnas yang persatukan dalam perbedaan. Tulisan ini tidak didasari unsur politik, kepercayaan, atau kebencian. Tulisan ini mengarah sedikit kebhinekaan.

Rutinitas kuganti dengan sedikit produktif dibanding bermesraan dengan kasur, menuangkan opini dengan sedikit perspektif yang didapat di bangku sekolah dan teman di warung orang yang ramah. Ku cinta islam, cinta Indonesia, cinta damai.

Sedikit pasif karena usahanya tidak lebih besar dari umat yang menggelar aksi sampai tiga kali, seperti orang sakit minum obat. Agamanya ‘sakit’, disakiti katanya dengan ucapan seseorang dengan darah Cina di tubuhnya. Ucapan yang Insya Allah menistakan agama, seakan mengorek ngorek borok yang belum kering. Sedikit pasif yang kulakukan karena kulakukannya sambil duduk dan tidak bergerak.

Kembali sakit dan jalan ke apotik untuk beli obat, aksi bergerilya di jalan dan mengajak orang yang disakiti lainnya untuk buat Ahok ‘tobat’. Memang, kita harus membela agama, kepercayaan yang dipercaya. Bergerak masif dan menyerukan perdamaian payung aksinya. Namun, sayang yang begitu tidak semua, seakan penuh dengan emosi ego dan kepala panas. Mendidih karena terusik, turun ke jalan kayaknya asik. Sepanjang perjalanan menuju kampus Jumat pagi, banyak mobil dengan sound system full bass dan treble. Berkumandang tapi sayang bukan sholawat, bukan adzan, bukan seruan nama tuhan. Kalimat menistakan balik saudara Ahok. Disayangkan, padahal harus kukecilkan suara bang Shadows meneriakkan Hail To The King di earphone hanya untuk mendengarkan cacian untuk mas Ahok.

Jangan bahas kasusnya, bahas dampaknya. Ini menimbulkan perseteruan, dan konflik yang Insya Allah dapat membangun. Disini saya lihat keberagaman jadi payung aksinya, tersentuh melihat foto-foto kedamaian yang ada di berbagai media. Tapi ku takut, selayaknya manusia yang memiliki naluriah ketakutan di dalam tubuhnya. Takut tuhan, takut mati, takut lapar, takut dosen, takut dibelakang ketika UAS.

Intinya ku takut, Islam hanya digerakkan untuk kepentingan politik, dan mengesampingkan Pancasila. Ahok masih punya asas praduga tak bersalah, dia belum divonis dan mungkin tak selayaknya mendapat julukkan penista. Kembali ke Pancasila, Indonesia ada untuk rakyat Indonesia bukan hanya rakyat Islam.

Negara ini punya semua ras asal warga negaranya Indonesia, negara ini punya semua agama asal di KTP kolom agamanya tidak kosong, negara ini punya lelaki, wanita asal bukan keduanya. Menebar kebencian dan menjelekkan salah satu pihak dengan aspek yang belum benar terbukti merupakan bukti masih gagalnya pancasila embedded dengan masyarakat Indonesia.

Teringat statement teman saya, bahwa pancasila masih terlalu mengawang-awang untuk dijadikan ideologi negara, masih ambigu dan rancu untuk dijadikan pedoman. Wah, dalam hati, ini orang bisa dilabelling oleh para nasionalis penista pancasila. Tapi jangan bahas soal itu, berarti disini masih ada kegagalan pancasila di sektor sosialisasinya, masih ada yang menganggap pancasila mengawang-awang bahkan untuk seorang mahasiswa. Pancasila hanya diwajibkan dibaca setiap senin tanpa diresapi artinya.

DI ideologi kita terdapat 5 poin inti kata salah satu dosen mata kuliah umum. Satu, ketuhanan. Dua, adil dan beradab. Tiga, persatuan. Empat, pemusyawaratan perwakilan. Lima, keadilan. Prinsip kehidupan berbhineka yang menurut saya sudah cukup jelas dan menopang keberagaman. Tapi, kenapa masih ada kebencian bertebaran? Kenapa masih ada label penista kalau intinya damai? Kenapa provokatif tapi menjunjung kedamaian?

Wallahu A’lam Bishawab, Maha benar tuhan maha kadang-kadang manusia.
Wassalamu ‘Alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

0 Komentar