Jenis tulisan : Esai
Oleh : Fitrotul Umami ( PPKN, 2014 )


Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat strategis, diapit oleh dua benua dan dua samudra. Dengan posisi yang begitu strategisnya, tak heran jika Indonesia mempunyai  berbagai macam suku bangsa, bahasa serta kekayaan alamnya yang sangat melimpah yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Dengan kondisi yang seperti itu tak pelak jika Belanda menjajah Indonesia selama 3 abad, salah satu alasannya yaitu ingin menguasai rempah-rempah dan merebut kekayaan alam yang ada di Indonesia.

Rakyat Indonesia berjuang demi tumpah darah Indonesia selama bertahun-tahun. Pada akhirnya membawa hasil yang membuat darah ini mengalir dengan lancarnya, terasa bahwa pengorbanan selama ini sangatlah berarti tak ada yang sia-sia. Sejak semua tahu bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia mengumumkan kemerdekaannya. Ya, Indonesia merdeka. Berita tentang kemerdekaan ini dikumandangkan lewat radio, bahkan surat kabar pemerintah.  Namun apakah kemerdekaan negara berarti pada kemerdekaan rakyat? Dan apakah setelah merdeka Tanah air ini milik rakyat? Hmm ~~

Kekayaan alam yang diperebutkan oleh negara jepang, sekarang telah kembali pada penduduk pribumi, dengan bijaknya mereka menggunakan kekayaan alam tersebut untuk kehidupan mereka. hingga pada akhirnya singkat cerita, pada tahun 1967, pada masa rezim orde baru dibawah pimpinan Soeharto, suatu Kontrak Karya sah ditandatangani. Kontrak karya apa? Ya, yang kita tahu sampai sekarang yaitu Kntrak Karya PT Freeport.
Sebuah kontrak karya yang sangat merugikan negara dan rakyat Papua.

Kekayaan alam yang sangat melimpah membuat Perusahaan yang satu ini tertarik terhadap pertambangan yang ada di Indonesia tepatnya yang berada di Pegunungan Salju, Papua. Namun dengan adanya kontrak karya ini sebenarnya sangatlah merugikan negara, pasalnya Indonesia hanya mendapatkan royalti yang hanya bernilai 1% - 3,5% saja dari pendapatan mereka, selain itu berbagai macam pelanggaran hak masyarakat adat sekitar maupun pencemaran lingkungan. Jelas-jelas Freeport telah melanggar UU Pokok Agraria (UU No 5 tahun 1960)

Dengan perlakuan yang seperti itu jelas berdampak buruk bagi rakyat Papua, lalu bagaimana arti tanah air bagi papua jika tanah yang mereka diami sekarang dikuasai oleh negara asing, bukan negara nya sendiri. Bagaimana tindakan Indonesia? apakah akan memperpanjang kontrak atau tidak? Masih misteri.

Dari PT Freeport, kita lanjut melihat kehidupan rakyat di perbatasan. Mungkin kita merasa senang hidup di kota, mempunyai suatu akses dengan mudah mulai dari akses kendaraan sampai akses informasi. Orang kota dapat merasakan bahwa Indonesia adalah tanah air mereka, mereka hidup pada suatu tempat yang mendukung untuk kehidupannya. Mulai dari pekerjaan, kesehatan, sampai pendidikan. Namun bagaimana dengan penduduk perbatasan contohnya  kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Malaysia.

Rakyat perbatasan tidak merasakan arti dari tanah air, apakah ia merasakan tanah air Indonesia itu adalah tanah airnya? Atau justru tanah airnya adalah tanah air tetangga yang telah membuat mereka sejahtera? Kita tak tahu, namun yang pasti Indonesia atau lebih tepatnya pemerintah Indonesia sangat disayangkan karena kurangnya perhatian dari pemerintah membuat para penduduk perbatasan lebih memilih menjadi warga Malaysia dibandingkan warga Indonesia. bagaimana tidak? Dengan menjadi warga negara Malaysia akses untuk mendapatkan layanan kesehatan lebih mudah, mendapatkan jaminan, dan untuk pendidikan juga mereka bisa menjalaninya dengan biaya yang tidak terlalu tinggi bahkan sampai gratis. Sedangkan pada daerah Nunukan , akses untuk pergi ke desa yang lain masih susah, pendidikan juga sangat terbatas. Tidak hanya di daerah Nunukan saja namun hampir di semua wilayah perbatasan mengeluhkan jiika pemerintah Indonesia tidak mempunyai perhatian yang lebih pada masyarakat perbatasan. Ya , lalu sebenarnya tanah air ini milik siapa? milik orang kota atau milik siapa?

Akhir-akhir ini kita dibuat greget dengan terjadinya kasus reklamasi pantai, jika kita cermati , apa sebenarnya keuntungan dari reklamasi pantai? Jakarta terhindar dari banjir? Atau jakarta akan selamat dari banjir? Ah sama saja  hehe dan semua itu hanyalah tipuan belaka. Reklamasi pantai, sebuah proyek yang menguras habis biaya, ber-ratus-ratus juta yang dikeluarkan namun hasilnya masih nihil, banyak penduduk yang harus digusur, dipindahkan ke rusun, berdalih untuk kepentingan negara, ah semuanya bulshit. Itu cuma omong kosong itu hanya demi kepentingan orang yang kaya saja. lagi-lagi orang yang tidak mampu yang menjadi korban. Lalu tanah air ini milik siapa? milik orang-orang elite atau milik siapa?
Terlihat jelas pada pasal 33 UUD 1945 telah disebutkan bahwa “Bumi, Air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Namun pada kenyataannya, jika kita merundung pada kasus Freeport dan Kasus Reklamasi Pantai di Jakarta, itu semua terkesan hanya orang-orang elite saja yang diuntungkan lalu bagaimana dengan prinsip keadilan sosial? Apakah kasus-kasus diatas sudah adil untuk masyarakat Indonesia, atau hanya kepentingan belaka? Pada pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4) diatuur lebih lanjut dengan undang-undang dengan memperhatikan prinsip-prinsip, antara lain efisiensi yang berkeadilan. Dengan demikian, sumber-sumber yang ada harus dialokasikan secara efisien untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara sehat dan sekalligus untuk mencapai keadilan. Kemjauan ekonomi di seluruh wilayah tanah air harus diperhatikan keseimbangannya dan dalam pelaksanaan otonomi daerah harus pula dijaga kesatuan ekonomi nasional.

Merujuk pada hal diatas kita tahu bahwa kasus dari Freeport dan Reklamasi Pantai merupakan suatu kasus yang benar-benar tidak memihak pada rakyat, dan tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem lingkungan.

Lalu, sebenarnya Tanah Air Milik Siapa? Pertanyaan itu terbesit di benakku selalu, saat aku harus mengingat kasus-kasus di atas, selalu bertanya-tanya, apakah tanah air ini milik orang-orang ber”duit” saja? apakah tanah air ini milik orang-orang kota saja? atau tanah air ini milik pemerintah dan elite-elite tertentu? Lalu bagaimana dengan pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Atau bagaimana dengan pasal 28G? Perlukah dikaji ulang UUD 1945 dengan kondisi pemerintahan negara yang sekarang? Atau perbaikan dari pihak pemerintah yang kurang mecermati isi dari UUD 1945?

Permerintah perlu mempertimbangkan beribu kali jika ingin merubah atau memindah alihkan kekayaan dan seluruh kandungan yang ada di Indonesia agar penduduk Indonesia merasakan bahwa mereka benar-benar berada di Tanah Air satu, yaitu Tanah Air Indonesia.

0 Komentar