Jenis tulisan : Cerpen
Oleh : Qurratu Ainnisa ( Pend. IPS, 2015 )



Terik matahari tidak mengurangi laju sepeda. Ku kayuh dengan semangat agar segera sampai kampus. Tak terhitung berapa deras keringat yang menyapu kulit dan diserap oleh baju kemeja yang ku kenakan. Siang ini matahari mempertajam matanya untuk memaksimalkan menyinari bumi. Tak ketinggalan sengatan panas menembus jilbab hingga mengganggu kulit kepala.

Beberapa meter sudah ku kayuh sepeda menjauh dari rumah. Terus menjauh menelusuri gang imut khas Jakarta. Kayuh lebih kuat lagi dan yappp. Sampailah sepeda ini menghantarkan ku pada salah satu tempat dimana seorang pejalan kaki tidak mendapatkan haknya. Apakah itu ? tentunya itu adalah trotoar. Rupanya sebagian warga Jakarta melupakan fungsi asli dari sebuah trotoar yang sudah dipelajari sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Pengertian trotoar sendiri menurut KBBI adalah tempat orang berjalan kaki. Tanpa harus membuka kamus terlebih dahulu banyak orang sudah mengetahui bahwa fungsi dari trotoar yaitu untuk memberi ruang bagi pejalan kaki di sekitar jalan raya.

Trotoar sebutan bagi tempat pejalan kaki itu sering di serobot oleh pengendara motor dengan laju semi kencang dan semenjak saat itu trotoar berubah nama menjadi “berkoar-koar”. Tentu hal ini terjadi karena tidak sedikit pejalan kaki emosi ketika dengan sengaja para pengendara motor memasuki wilayah kekuasaannya. Tidak hanya itu, ketika matahari hampir berselimut dengan langit malam. Senja datang sebagai transisinya rembulan. Para pedagang kaki lima sibuk merancang warung bongkar pasangnya di berbagai sisi hak pejalan kaki. Hingga saat senja yang indah dengan langit oranye, siulan burung di ranting pohon dan muda mudi berjalan menelusuri indahnya langit senja di trotoar sambil bercengkrama, itu hanya ada di drama korea. Hahaha… Bagaimana tidak contohnya saja warung pecel lele, tidak hanya trotoar digunakannya tetapi juga mengambil sebagian badan jalan raya. Huhhh… Apa manusia harus bersayap agar selalu aman saat mereka tidak menggunakan transportasi?

Tetap dalam kayuhan sepeda, dengan menggunakan masker hidungku terlindungi dari kotoran mobil dan motor. Kali ini aku harus melewati jalan besar. Ku ambil sisi kiri agar aman, tetapi ternyata teriakan klakson motor dari arah berlawanan menuju kearah ku. Tinnn… Tinnn… Terlonjak tubuhku karenanya. Mataku terbuka lebih lebar dari biasanya seperti pemeran film antagonis. Amarah menyapaku namun tak ku pedulikan. Selang beberapa detik teriakan klakson itu sekarang giliran pemiliknya.
“KALO BAWA SEPEDA HATI-HATI DONG !”

Lelaki tanpa helm bercelana pendek dan berkaos oblong itu melanggar peraturan lalu lintas, tetapi tidak peduli pelanggarannya yang ku kesalkan di hampir menabrakku karena arus yang di lawannya. Sambil menengok sedikit kearahnya aku bergumam.
“Kok jadi dia yang marah kan dia yang salah”.

Tanpa ku perdulikan terus ku lanjutkan perjalannku menuju kampus. Kayuh… Kayuh… Kayuh…
Salah satu pemandangan buruknya Ibu Kota pun terlihat. Warna lampu merah, kuning, hijau dilangit yang biru tidak memiliki peran penting di wilayah ini. Mereka seperti tidak dihargai oleh para besi bermesin yang berjalan. Padahal mereka awalnya di temukan oleh Jhon Peake Knight dengan bentuk lentera bertenaga gas bergulir dengan warna merah dan hijau pada akhir lengan kayu. Lalu di kembangkan Ernest Sirrine dengan meningkatkan cahaya dengan menambahkan otomatis. Dia juga mengganti warna merah dan hijau dengan tulisan stop dan go. Namun, oleh Lester Farnsworth Wire di kembalikan lagi jenis lampu lalulintas kedalam bentuk warna dan sudah meggunakan listrik.

Apabila tidak lebih muda dari ku kalian bisa mengingat saat spongebob ujian berkendara untuk mendapatkan SIM dengan Mrs. Poof. Kalian juga bisa membayangkan tanda go dan stop yang di maksud. Mungkin apabila Mrs. Poof berada di kehidupan nyata dan berlokasi di Jakarta, dia akan mengambil semua SIM yang dimiliki orang sekelilingku. Saat ini aku berada di tengah-tengah pengemudi kuda besi. Berbaris di belakang zebracross tapi anehnya tidak dalam urutan pertama. Untuk kesekian kalinya aku berfikir “Dimana hak para pejalan kaki? Bagaimana mereka akan menyebrang jalan jika zebranya ditunggangi?”.

Kotoran kuda besi di depaan ku dengan hantaman seperti memukul-mukul mengagetkan ku. Dan dengan kecepatan ala pembalap motoGP beberapa diantaranya melesat. Segera ku ambil ancang-ancang untuk melanjutkan kayuhanku tapi ternyata lampu lalu lintas yang kutatap dengan menyipitkan mata masih berwarna merah. OMG sepertinya mataku buta warna atau aku lupa bahwa tanda lampu lalu lintas merah itu untuk berhenti atau jalan, tapi sepertinya aku benar. Tak terbayang jika ada pejalan kaki yang sedang menyebrang berada di lokasiku saat ini.

Namun, dari informasi yang ku dapat saat SD dan di tunjang oleh situs web, lampu lalu lintas warna merah berarti berhenti, hijau jalan dan kuning memberikan interval waktu untuk mulai berjalan atau mulai berhenti. Memberi kesempatan untuk berhenti dan berjalan secara perlahan. Etika berlalulintas pengendara terhadap pejalan kaki juga di atur dalam UU LLJA (Lalu lintas Angkutan Jalan) yang di antaranya :
“Setiap orang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan diwajibkan mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. Selain pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan  rambu lalu lintas, pengemudi juga harus memperlambat  kendaraan jika melihat dan mengetahui ada pejalan kaki yang akan menyebrang”.
Adapun hak pejalan kaki yang telah di atur dalam pasal 131 UU LLAJ sebagai berikut :
1. Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat  penyebrangan, daan fasilitas lain.
2. Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyebrang jalan di tempat penyebrangan.
3. Dalam hal belum tersedianya fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejalan kaki berhak menyebrang di tempat yang ddipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.

Andai saja hak pejalan kaki bebar-benar terealisasikan mungkin hayalan anak remaja akan indahnya berjalan kaki ketika pulang sekolah atau pulang kampus dengan nyaman bisa terwujud, selain itu melindungi para pejalan kaki dan juga pesepeda seperti ku. Akhirnya setelah tiga menit menantikan pergantian warna lampu lalulintas secepat kilat lampu kuning berubah menjadi hijau dan suara klakson besi bermesin berbentuk kotak dengan empat ban jika di gambar oleh anak TK pun berbunyi tanpa sabar. Sambil melanjutkan kayuhanku ke kampus aku berfikir jika sulit untuk menertibkan lalulintas ini akan ku fikirkan bagaimana menciptakan sayap yang bisa di gunakan oleh manusia untuk keselamatannya karena jika para pejalan kaki yang tidak merasa nyaman terhadap hak nya dan ikut bersama para penungang besi itu akan sama saja dan tidak berujung. 

0 Komentar