Oleh : Sinta Fatimah (Sejarah, 2014)


Indonesia merupakan negara yang sangat luas nan kaya, dari segi geografis negeri kita memiliki laut terluas sepanjang (5,8 juta km2), dengan jumlah pulau terbanyak (17.508 pulau) serta panjang pantai mencangkup 81.000 km dan merupakan penjang pantai ke-dua didunia (setelah Canada), kawasan hutan seluas (120,35 juta Ha) setara dengan luas 4 negara besar di Eropa (Inggris,Jerman, Perancis dan Finlandia) dengan keberagaman flora dan fauna yg spesisnya lebih banyak dibanding dengan benua afrika. Tak hanya kekayaan alam yang kita miliki negara kita juga kaya dengan kultur budaya serta sumber daya manusia (SDM) yang berlipah (240.juta ± jiwa) menempati posisi ke tiga terbanyak didunia.

Namun sayang potensi yang dimiliki tak mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah untuk kesejahteraan dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, hal ini bisa dilihat dari sikap pemerintah yang dengan sepihak membuat dan mengesahkan berbagai paket kebijakan yang isinya lebih berpihak kepada kepentingan para pemodal asing /swasta. dimana aset-aset vital yang harusnya dimiliki dan dikelola oleh rakyat malah diberikan kepada pihak asing/swasta. Sehingga Jalannya perekonomian tak lagi ditujukan untuk kepentingan masyarakat secarah utuh, tetapi bagi segelintir orang/kelompok yang punya modal besar (Baca: Kapitalis). Tak heran diera neoliberal seperti sekarang ini yang kaya semakin kaya, sebaliknya yang miskin semakin miskin. Sebuah ironi yang memilukan bagi rakyat indonesia yang seharusnya bisa sejahtera dan berdaulat dengan berbagai macam potensi yang dimiliki. Sebagaimana tujuan didirikannya bangsa dan negara indonesia, yakni untuk memerdekakan rakyat indonesia (dari penjajahan, eksploitasi dan pembodohan) serta untuk mewujudkan masyarakat yang berdaulat, adil dan sejahtera. Maka semakian jelaslah bahwa perjuangan para leluhur, juga para pendiri bangsa (Baca: Founding father) diera pra-kemeredekaan hingga proklamasi 1945 belum sepenuhnya selesai, begitu halnya dengan perjuangan rakyat dan mahasiswa pasca kemerdekaan hingga tahun 1998 yang ditandai dengan jatuhnya Rezim Orde Baru hingga Reformasi 1998.

Lantas siapakah yang paling berkewajiban melanjutkan dan menuntaskan Perjuangan itu?
Dalam konteks sejarah pergerakan-perubahan sosial yang meletus diberbagai negara didunia, peran serta eksistensi kaum intelektual tak dapat dipungkiri. bahwa dalam panggung sejarah pergerakan diberbagi belahan dunia begitu besar andil kaum intelektual termaksud mahasiswa. Begitu halnya yg terjadi diIndonesia di era kolonial hingga reformasi 1998. Kerena itu Mahasiswa sering disebut sebagai agen perubahan (agent of change) dan kontrol sosial (social of control).

Bagaimana kondisi mahasiswa saat ini?
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. eksistensi mahasiswa sabagai kalangan terdidik yang bersentuhan langsung dengan didunia pendidikan (akademik) juga ikut berubah. Mahasiswa yang dulunya dipandang heroik dan paling sensitif terhadap situasi sosial. kini hanya jadi sebuah cerita dongeng kejayaan masa lampau.
sedikit sekali dari mahasiswa yang hari ini masih teguh menyuarakan persoalan yang tengah dihadapi rakyat, menentang sikap barbar penguasa. Banyak dari mereka hari ini bersikap apatis, terhadap persoalan sosial sehingga pada umumnya mahasiswa hari ini hanya dilihat sebagai akademisi tulen yang kesehariannya hanya disibukkan pada tiga ruang: (Kos-Kampus-Tempat Hiburan) itulah kenyataannya.
Bahkan umumnya mereka tak sadar bahwasanya mahasiswa bukan sekedar kumpulan orang-orang yang namanya terdaftar diperguruan tinggi, mengikuti proses pembelajaran dan disiplin akademik yang lainya. tapi lebih dari itu mahasiswa merupakan salah satu tulang punggung bangsa yang berkewajiban andil dalam setiap agenda politik sebagai pengimbang sikap sebuah rezim. sehingga ada penengah antara mereka yang punya kekuasaan dengan rakyat biasa (masyarakat awam).

Lalu, apa penyebab dari fenomena lemahnya peranan mahasiswa saat ini?
Kondisi mahasiswa yang kian hari makin merosot merupakan sebuah konsekuensi dari sistem sosial yang tengah berlaku (Kapitalisme-Neoliberal), artinya fenomena serta penyebab lemahnya gerakan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari konteks ekonomi-politik.
Sistem ekonomi yang bercirikan leberal-kapitalistik telah menodai sistem politik, termaksud dunia pendidikan khusunya perguruan tinggi (PT) sebagai salah satu institusi yang secara formal  diakui sebagai pabrik keilmuan. Salah satu produk kapitalisme dalam dunia pendidikan bisa dilihat dalam rentetan regulasi pendidikan, misalnya UU Pendidikan Tinggi, UU Sisdiknas, Kurikulum 2013, kebijakan NKK/BKK, dll. Regulasi-regulasi ini memberikan sebuah kontribusi negativ pada mahasiswa, meminjam istilah Gramsci, mahasiswa sebagai ‘intelektual organik’ tidak lagi menjadi agent of change sebagaimana heroisme gerakan mahasiswa itu sendiri.
Perguruan tinggi yang dulunya dipandang sebagai laboratorium keilmuan dimana mahasiswa dapat memporoleh pendidikan, pengajaran dan pembimbingan kini sama sekali berbeda, perguruan tinggi mesti dilihat sebagai bagian dari proyek besar kapitalisme-neoliberal. Sebab perguruan tinggi hari ini hanya ditugaskan menciptakan sarjanawan-ahli-hingga profesor yang keahliannya  dapat dimanfaatkan untuk kepentingan akumulasi modal. Sehingga tujuan dan hakikat pendidikan tak lagi untuk mencerdaskan dan membebaskan manusia dari eksploitasi, tapi mencerdaskan manusia agar dapat dieksploitasi (Baca:dihisap tenaganya).

Tak mengherankan jika biaya kuliah pun semakin mahal. Sebab negara yang secara konstitusional harusnya menjamin biaya pendidikan kini lepas tangan dan secara sepihak memberikan legitimasi bagi tiap perguruan tinggi untuk mengurusi institusinya masing-masing, disinilah pihak swasta berperan penting dalam memprivatisasi pendidikan. Karakteristik kapitalisme sebagai suatu corak produksi yang menumpuk modal juga banyak ditiru oleh mahasiswa layaknya sebuah virus yang menjangkit, sehingga didalam perguruan tinggi (kampus) hubungan antar mahasiswa dengan mahasiswa lainnya juga berubah. satu-satunya nilai yang ditanamkan dikepala induvidu-induvidu adalah kompetitif (persaingan) sebagaimana doktrin persaingan/perdagangan bebas, sehingga secara kultural dominasi dan karakteristik sebuah sistem ikut mempengaruhi kehidupan mahasiswa. perguruan tinggi tak lagi dapat dikatakan sebagai institusi yang benar-benar independen, perguruan tinggi merupakan institusi yang melegitimasi kekuasaan kapitalisme-neoliberal dan secara tidak langsung juga menjadi satpam ideologis baginya. Prihatin pada kondisi mahasiswa hari ini, maka kami pun menginisiasi dan menggagas sebuah program pendidikan untuk merekonstruksi kembali pemikiran mahasiswa dan mendorong kesadarannya dengan harapan semakin banyak mahasiswa yang mau terlibat dalam belajar berorganisasi, dan berjuang bersama rakyat.

0 Komentar