Jenis tulisan : Cerpen
Oleh : Dini Intan ( Ilmu agama islam, 2015 )



Bunyi mesin jahit itu terdengar lagi dan lagi. Muka masam serta kantung mata yang semakin menumpuk sejak seminggu lalu kawanku berada dalam pabrik karpet ini. Sungguh terlihat beban hidup yang kini mereka pikul seorang diri tanpa peluk kasih sang keluarga. Hati ini bergetar, ingin rasanya membebaskan belenggu ketidakmanusiaan ini, “tapi apalah daya” gumam batinku.

Tangan mungil nan kasar Iqbal masih terus aktif menyulam karpet tak menghiraukan rasa lapar, hanya sepotong roti coklat yang mengisi perutnya sejak pagi tadi. Pakaian lusuhnya sejak dua hari kemarin masih terpampang ditubuhnya. Iqbal duduk didepan mesin sulam karpet. Lelah menghantui kedua bola mata yang sudah mengatup-ngatup sedari tadi. Kini, mata Iqbal terpejam hinggap kealam mimpi. Dirasakannya tendangan kaki berulang kali, menyentuh badan Iqbal yang terkulai lemas. Spontan mata Iqbal terbelalak, samar-samar hingga semakin terlihat jelas dihadapannya sudah berdiri tegap, nyonya pemilik pabrik karpet dengan tatapan tajam  mengundang amarah. Iqbal tertunduk pasrah dengan perlakuan yang didapati ini sejak bertahun-tahun. Dipakainya dress berwarna merah dengan penampilan yang begitu elegan, serta cincin berwarna perak di jari telunjuk, serta merta menunjuk kearahnya seraya berkata “Hei, jangan tidur. Lanjutkan kerjamu” pekik suara nyonya itu dengan keras.

Adzan maghrib berkumandang, pertanda bahwa jam kerja telah usai. Rasa bahagia melepas penat lelah terpancar dari senyum wajah bocah budak pabrik karpet di Pakistan.

Mata Iqbal terpejam,dalam..sedalamnya seraya menjajarkan kedua tangan diatas sajadah kusam, mengucap “Ya Allah aku ingin bebas, supaya bisa ketemu ibuku dirumah. Aku ingin bisa sekolah. Aku rindu ibu dan ayah” ucap Iqbal. Tak henti-hentinya memanjatkan do’a kepada robbi illahi penguasa semesta alam seusai sholat maghrib. Ini adalah rutinitas yang tak pernah ditinggalkannya.

“Aku pasti akan bebas” gumam Iqbal

Hanya berisikan nasi dengan tahu tempe serta kerupuk manjadi pelengkap makan malam ini. Dapur yang berukuran tiga kali empat meter ini cukup luas untuk menampung puluhan budak pabrik karpet. Meskipun porsi yang sedikit, semuanya menyantap dengan lahap tanpa memperdulikan menu makan yang sangat sederhana. Hanya Iqbal yang tidak makan. Tatapannya kosong.

“Iqbal kok gak dimakan?” sapa Fatih yang sedari tadi memperhatikanku. Sontak memecahkan lamunanku

“aku ngga laper ” balas Iqbal dengan nada datar.
“makan dong, nanti kalo sakit kamu dimarahin nyonya lagi” bujuk Fatih dengan rasa khawatir.

Senyum Iqbal kembali hadir dalam wajahnya yang lelah, “iya tih aku makan” sembari menyantap isi piring dihadapannya. “terima kasih Fatih” ucap hati Iqbal.

Detik demi detik bergulir. Jam dinding telah menunjukkan pukul satu malam. Lagi-lagi Iqbal terbangun kesekian kalinya sejak dua hari kemarin. Tampak semua temannya sedang menikmati mimpi indahnya yang serta merta berlawanan dengan dunia nyata.  Iqbal duduk di dekat jendela, termenung menatap indahnya rembulan sang kuasa dalam bilik penjara, asrama budak pabrik karpet. Baginya, ini adalah penjara bagi siapapun yang telah masuk zone mematikan.

Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Tampak dunia tanpa warna menjadi muram kelam. Hanya terdengar suara lolongan anjing memecahkan kesunyian malam ini. Iqbal menikmati kesendiriannya, tapi pikirannya terus berputar bak seperti komedi macet, tak akan berhenti. “Sekali lagi, aku ingin bebas” tukas diakhir kesimpulan. Iqbal terus memikirkan cara untuk kabur dari pabrik ini.

**

Pukul enam pagi, Iqbal sudah harus kembali bekerja di pabrik karpet itu bersama semua teman seperjuangannya. Kali ini, iqbal berencana kabur. Ini merupakan pertama kalinya Iqbal melakukan aksinya.

Para petugas selalu sibuk dipagi hari untuk mengecek barang bawaan para pekerja yang sampai menjalar antrian selama setengah jam. Iqbal mencoba memanfaatkan untuk menyelinap ke gerbang belakang. Gerbang belakang dari pagar besi itu sudah rapuh lapuk karatan karena tidak terawat bertahun-tahun, sehingga selalu tampak lengang terhiraukan perhatian para penjaga. Iqbal berusaha memanjat pagar untuk bisa keluar area pabrik. Ditapakinya pijakan besi selangkah demi langkah menuju atas. Wajah sumringah Iqbal tak bertahan lama setelah salah satu petugas mengetahui keberadaan Iqbal yang sedang mencoba kabur dengan memanjat pagar. Dengan cepat petugas menangkap Iqbal. Na’as Iqbal gagal untuk kabur kali ini. Iqbal dibawa ke dalam ruangan sejuk nan mewah. Ia hanya tertunduk lemas, takut menyeringai pelupuk wajahnya yang maram sedari tadi mendengarkan percakapan laporan petugas kepada nyonya pemilik pabrik itu. Selang beberapa menit, Iqbal dipindahkan dan dikurung dalam sumur tua yang sudah mengering airnya. Gelap serta bau pengap lengkap menyelimuti tubuhnya. Air mata membasahi pelupuk pipinya.

Kini, ia benar-benar sendiri.

Fatih mulai menyadari tidak ada keberadaan Iqbal dalam pabrik ini. Sekali lagi, ia memperhatikan sekeliling isi pabrik. Benar saja, tidak ada Iqbal. “kemana dia?” tanya Fatih pada dirinya.
“dring..driingg” suara bel terdengar nyaring keras memenuhi ruangan seluruh isi pabrik, pertanda jam untuk sholat dzuhur tiba. Seluruh pekerja menuju masjid yang berada di samping pabrik.

Fatih mengajak Burhan serta Ahmed untuk mencari Iqbal. Mereka menyelinap ke area belakang pabrik mencari Iqbal. Banyak mesin rusak serta karpet usang hampir memenuhi seisi area belakang pabrik . Fatih, Burhan, dan Ahmed  menelusuri jalan yang penuh semak belukar. Meskipun begitu tak mengahalangi semangat Fatih serta temannya untuk mencari keberadaan Iqbal. Diam tak bersuara memanggil nama Iqbal, takut mencurigai keberadaan petugas pabrik. Hanya memanfaatkan mata serta indra lainnya untuk menemukan sosok Iqbal. Terus dan terus menelusuri jalan hingga akhirnya bertemu dengan sebuah sumur tua. Sumur yang sudah usang tak terawat itu mengisahkan berbagai isu peristiwa horor dari mulut ke mulut. Seketika terdengar suara rintih tangisan, membuat Fatih dan Burhan bergidik takut untuk melewati sumur tersebut. Ahmed mencoba mencari jawaban atas keingintahuannya, tak heran usia Ahmed masih lima tahun itu berani melakukan apapun, termasuk melihat isi dalam sumur tua. Langkah Ahmed perlahan mendekat sumur. Semakin dekat dan terlihat jelas terpampang tubuh Iqbal yang sedari tadi duduk dalam dasar sumur sembari menangis. Ahmed terperanjak terkejut bukan kepalang. “Iqball, Iqbal..” panggil Ahmed dari atas sumur. Burhan serta Fatih berlari mendekati sumur dan berusaha menolong Iqbal. Tali tambang lusuh berukuran besar tergeletak di sekitar sumur dimanfaatkan untuk menarik Iqbal dari dasar sumur. Iqbal menceritakan apa-apa yang terjadi menimpa dirinya tadi. Ia mencoba kabur kembali dengan mengajak temannya. Panik dalam ketakutan membuat mereka berlari untuk segera sampai gerbang belakang tadi. Namun, Hussain Khan sang pemilik pabrik itu telah menemukan mereka saat mencoba kabur dari pabrik. Iqbal dan temannya kembali mendapat hukuman. Kaki-kaki mereka dirantai serta digembok yang dikaitkan ke alat tenun dalam gudang pabrik. Ruangan yang hanya berukuran empat kali tiga meter, berisikan alat-alat tenun serta debu-debu yang terdampar disetiap permukaan, menambah sesak pengap seisi ruangan, apalagi jendela-jendela itu semua tertutup rapat.

“Aku harus bagaimana lagi?” tanya hati Iqbal pada dirinya.

Iqbal terus memutar otak agar bisa keluar dari semua penderitaan ini. Semenit, tiga puluh menit, bahkan sampai satu jam terus megulik, terjebak dalam pikirannya sendiri.

Langkah pertama yang ia tempuh yaitu keluar dari gudang ini bersama temannya.

“itu kunci apa yang ada deket kamu?” tanya Iqbal pada Fatih
“oh ini, aku ngga tau ” balas Fatih.

“coba buka ke gembok mesin tenun” tukas saran Iqbal pada Fatih.

Fatih mengiyakan saran Iqbal. Diberikannya sebuah kunci perak kecil pada Burhan, karena jarak Burhan ke gembok mesin tenun sangat dekat. Burhan langsung mencoba memasukkan kunci tersebut kedalam gembok. “klek”terbuka gembok tersebut. Terbukalah  lilitan rantai itu.

“Jendela, kita harus keluar dari jendela” tukas Iqbal. Ia mencari sesuatu agar bisa memecahkan kaca jendela itu. Malam bergulir, menjadikan warna dunia kembali pudar. Cahaya menerangi gudang termaram remang, mengurangi pengelihatan mereka. Burhan menemukan seonggok besi yang sedari tadi mengelilingi gudang. Dipecahkannya kaca jendela itu olehnya. “Prang” hancur berkeping-kepimg berhamburan jatuh ke dasar. Ahmed keluar pertama, disusul oleh Burhan, Fatih dan Iqbal terakhir. Benar saja, keadaan pabrik benar-benar sunyi sepi, hanya terdengar suara lolongan anjing serta angin berdesir lembut.

Mereka kembali mencoba kabur melewati gerbang belakang pabrik. Dipanjatnya gerbang besi kian rapuh itu yang hanya tinggi sekitar dua meter. Wajah senyum bahagia terpancar dari para budak karpet. Berhasil.
Kini, mereka berhasil kabur dari pabrik itu.

**

Mentari hangat menyapa setiap insan di Pakistan. Di depan bangunan tua usang nan kotor, Iqbal serta temannya bermalam untuk istirahat. Penat lelah serta lapar kembali mereka rasakan. Hanya lima rupee hasil tangan Iqbal merogoh-rogoh saku celananya. Tanpa pikir panjang, Iqbal berniat membelikan makanan untuk temannya, meskipun itu adalah uang terakhir yang dipunyainya.

“kalian tunggu sini dulu ya, aku mau beli makanan” perintah Iqbal yang sambil lalu meninggalkan temannya.

Jl. Karachi tersudut di papan penunjuk jalan . Entah kemana, langkah kaki Iqbal hanya menapaki jalan lurus trotoar. Matanya sigap mencari warung makan terdekat. Langkah kaki Iqbal terhenti, seketika menemukan dompet yang tergeletak di jalan. Dompet pink bergambar kartun hello kitty yang menandakan pemilik itu seorang wanita.

“Aisyah Azzahra” ucap Iqbal saat membaca nama identitas yang terdapat dalam dompet itu.

Iqbal segera kembali menemui temannya untuk mengembalikan dompet yang dijumpainya tadi. Lari dan terus belari tergopoh-gopoh menuju gedung tua usang tadi.

Sesampainya di gedung tua tadi..

“mana makanannya bal?” tanya Ahmed yang sudah kelaparan

“itu dompet siapa?” tanya Fatih penasaran

Iqbal menceritakan serta mengajak temannya untuk mengembalikan dompet temuan Iqbal kepada pemilknya, Aisyah Azzahra.

Satu jam kemudian, Iqbal dan temannya sampai di alamat yang mereka tuju. Gedung bercatkan biru putih dengan gaya arsitektur klasik sederhana,
“yakin ngga nih alamatnya? Kok di gedung?” tanya Ahmed.

“iya yakin” balas Iqbal.

Iqbal dan temannya mencoba masuk kedalam gedung itu. Seorang wanita dari dalam menyadari keberadaan mereka.

“hei kalian, sini masuk” perintah wanita itu.

“kami cuma mau balikin dompet ini kak” tukas Iqbal

“ya ampun, dimana kalian nemuinnya?”  tanya wanita itu dengan keheranan

“di jalan Karachi tadi kak” jawab Iqbal

“yasudah, kalian semua masuk dulu yuk” ajak wanita itu sekali lagi. Wanita itu lah pemilik dompet yang ditemukan Iqbal tadi.

Iqbal dan lainnya langsung masuk kedalam gedung itu.
“siapa namamu dek?” tanya seorang wanita dengan suaranya yang lembut.
Dipakainya kerudung biru muda dengan motif bunga-bunga, menambah kecantikan wajahnya yang penuh kehangatan kasih sayang. Bukan kak Aisyah Azzahra yang dijumpainya tadi.

“namaku Iqbal kak, dan ini temanku Ahmed, Burhan, dan Fatih” seraya menunjuk mereka satu persatu.
Pertanyaan demi pertanyaan  masih tetap diajukan kepada Iqbal serta temannya. Tatapan Iqbal sembari memerhatikan sekeliling ruangan. Jam dinding putih besar tergantung di tembok putih menunjukkan pukul sebelas siang. Terpampang  jelas spanduk besar berukuran tiga kali empat meter bertuliskan Front Pembebasan Buruh Paskitan (BLFF).

“Iqbal, awal mula kamu masuk ke pabrik itu bagaimana?” tanya wanita muda itu dengan penasaran. Parasnya seperti sedang berumur 22 tahun.

Iqbal menarik nafas panjang, berusaha mengingat kejadian empat tahun lalu

“Waktu aku berusia empat tahun, ibu menjualku ke saudagar pabrik karpet dengan harga Enam ratus ribu Rupe (setara seratus dua ribu rupiah) untuk dijadikan budak pabrik karpet. Ibu menjualku karena ayah meninggalkan ibu. Jadinya, ibu ngga punya duit buat sehari-hari.” tutur pernyataan Iqbal. Wanita itu langsung mencatat dibuku besar. Mungkin data para korban yang senasib seperti Iqbal.

Kini, Iqbal dan temannya resmi bergabung dalam Front Pembebasan Buruh Paskitan (BLFF). Ia belum bisa bernafas lega. Langkah terakhirnya belum tercapai. Ia harus membebaskan teman-temannya yang masih terjebak dalam pabrik karpet itu.

Hingga dua tahun , Iqbal bersama forum buruh pakistan telah berhasil membebaskan temannya dari pabrik karpet. Jumlahnya sudah lebih dari 3.000 anak yang telah terbebas dari belenggu ketidakmanusiaan. Para budak dibawah umur sudah terbebas, tapi dampak yang sangat terasa menjadikan ekspor karpet anjlok sejadi-jadinya. Tak hanya tahun itu saja, sampai kurun waktu lima tahun berturut-turut anjlok sangat dirasakan oleh beberapa pemilik karpet di Pakistan yang hampir gulung tikar.

Berkat aksinya itu, kini Iqbal banyak diliput berbagai media televisi maupun cetak. Tak jarang juga ia berani berpidato tentang budak anak. Sebagai juru bicara internasional dalam BLFF, ia pergi ke Amerika Serikat serta Eropa untuk menyerukan pembebasan perbudakan pada anak.

Cerita kehidupan Iqbal apik untuk dijadikan kisah hidup yang termuat dalam berbagai buku. Kehidupan sukses yang dirasakannya tak sebanding dengan kebahagiaan tanpa kedua orang tuanya. “tidak apa, akan aku cari ayah ibu lagi nanti”

**

Kalender tersudut pojok dikamar Iqbal, menampakkan hari ini tanggal 16 April 1955, tepat diusianya yang ke 12 tahun. Iqbal sudah berencana mencari keberadaan ayah ibunya minggu siang hari ini, ditemani oleh sahabat baiknya Fatih, Burhan serta Ahmed.

Ia bergegas mengeluarkan sepeda untuk bersepeda bersama sahabatnya. Fatih, Burhan, serta Ahmed yang sudah menunggu diluar asrama gedung Front Pembebasan Buruh Paskitan (BLFF). Ini adalah rutinitas mereka lakukan setiap minggu pagi.

Dengan santai Iqbal mengayuh sepeda bewarna hitam putihnya melintasi kota Peshawar. Sang Mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya di Pakistan. Burung-burung menari beriringan, berkicau syahdu, menambah keceriaan suasana pagi yang masih tampak sepi pagi ini.

Canda gurau tawa memenuhi wajah mereka. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Seketika ,“Doorr” suara keras tembakan melesat menghantam kepala bagian belakang Iqbal. Seketika ia jatuh terkulai lemas bersandarkan aspal jalan raya. Darah mulai bercucuran membuat warna jalan aspal memerah pekat. Fatih terbelalak, tak menyangka. Dengan histeris Fatih dan lainnya membawa Iqbal ke rumah sakit terdekat dengan tumpangan mobil dijalan. Untung saja pemilik mobil sangat baik hati mau memberikan tumpangan kepada Iqbal dan temannya. Mobil melaju kencang menuju rumah sakit terdekat.  Luka yang menyisihkan darah merah pekat terus bercucuran menetes tanpa henti dari kepala Iqbal. Suasana bergeming sedih melihat keadaan dirinya. Digenggam erat tangan Iqbal oleh Fatih yang sedari tadi menitikkan air mata dihadapan Iqbal . Iqbal mencoba melontarkan sepatah-patah kalimat kepada semua sahabatnya,  “a-ku mo-hoon to-long ca-ri-kan ayah i-bu ku, sam-paikan ke-pada me-reka , a-ku sa-ngat sa-yang a-yah i-buku. Be-bas-kan budak di-selu-ruh du-nia ini. A-ku sa-yang ka-lian” mata Iqbal terkatup rapat, untuk selamanya. Disusul nafas yang sudah terhenti.

Permintaan terakhir Iqbal kepada temannya, untuk melanjutkan perjuangannya diseluruh dunia.

Hari ulang tahunnya sekaligus menjadi hari penutup usia bagi Iqbal Masih.

0 Komentar