Opini
KETIKA SUPORTER TELAH BERUBAH MENJADI TERORIS
Oleh: Rinaldi Isnawan P
Sepak
bola merupakan salah satu cabang olahraga yang paling digemari dan paling
populer di dunia. Bahkan cabang olahraga ini mampu menunjukkan sebuah negara
yang awalnya asing di pendengaran kita atau bahkan nyaris tak terlihat bila
kita melihat peta sekalipun. Sebut saja Tahiti, negara kecil di kepulauan
Oceania yang luasnya tidak lebih besar dibandingkan dengan provinsi Jawa Barat
ini dikenal oleh masyarakat dunia setelah secara mengejutkan lolos ke ajang
turnamen sepak bola bergengsi sebelum Piala Dunia yaitu Piala Konfederasi.
Meskipun selama bermain di Piala Konfederasi negara ini selalu menjadi lumbung
gol oleh lawan-lawannya, namun setidaknya negara ini mampu menunjukkan
eksistensinya kepada khalayak ramai di belahan dunia yang lain bahwa negara ini
ada. Sama seperti halnya di negara-negara lain, cabang olahraga yang
mempertandingkan 22 orang pemain di lapangan hijau dalam sebuah pertandingan
ini, virusnya pun telah menjangkiti Indonesia. Virus yang bernama sepak bola
ini telah menjangkiti hampir seluruh masyarakat di Indonesia dari berbagai
kalangan baik itu tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, bahkan laki-laki
ataupun perempuan. Di Indonesia sendiri, permainan sepak bola diperkenalkan
oleh bangsa Belanda yang datang untuk bekerja di instansi-instansi pemerintah
Hindia Belanda sebagai pegawai dalam perkebunan-perkebunan, kantor-kantor
perdagangan, perkapalan dan pertambangan sebagai karyawan. Hal yang membuktikan
bahwa masyarakat Indonesia penggila sepak bola adalah dengan bertaburnya
klub-klub sepak bola dari Sabang sampai Merauke, baik klub itu berlabel
profesional, amatir, bahkan klub yang berlabel tarkam.
Di
Indonesia, sepak bola terkadang dianggap sebagai hiburan yang merakyat, karena
sepak bola dapat dinikmati oleh berbagai kalangan baik itu kalangan yang
berkantung tebal atau kalangan yang berkantung tipis sekalipun. Lazimnya
penikmat sepak bola ini disebut sebagai suporter. Suporter sering dianggap
sebagai pemain kedua belas, hal ini dikarenakan suporter mampu memberikan
tambahan semangat melalui yel-yel serta atraksi yang diberikan untuk para
pemain yang sedang bertanding di lapangan hijau. Di Indonesia banyak terdapat
kelompok-kelompok suporter sepak bola yang sangat loyal serta militan dalam
mendukung klub yang mereka bela, sebut saja The Jakmania (pendukung Persija),
Bonek (pendukung Persebaya), Aremania (pendukung Arema), Bobotoh Viking
(pendukung Persib), Pasoepati (pendukung Persis Solo) dan masih banyak lagi
suporter-suporter lainnya yang tersebar dari ujung Sumatera hingga ujung Irian
Jaya. Di Indonesia, suporter mendapatkan stigma yang kurang baik di masyarakat,
hal ini dikarenakan kerap sekali antara kelompok suporter yang satu dengan
kelompok suporter yang lain bertikai sehingga menimbulkan rusaknya fasilitas
umum bahkan menimbulkan korban jiwa. Dalam hal ini, penulis ingin membahas
mengenai kekerasan yang sering dilakukan oleh suporter di Indonesia. Penulis
berpendapat kekerasan suporter di Indonesia dewasa ini dapat disamakan seperti
para teroris. Mengutip ucapan Bambang Haryanto selaku pencetus hari suporter
nasional yang jatuh pada 12 Juli, beliau mengatakan “suporter tak ubahnya seperti himpunan kaum teroris yang dilegalkan
untuk berhimpun di stadion-stadion, yang tidak pernah ditangkap atau dihukum
ketika melakukan keonaran ataupun pelanggaran hukum lainnya”.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, teroris memiliki pengertian orang atau sekelompok
orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut. Bila didasarkan
dengan pengertian tersebut, kekerasan yang dilakukan oleh suporter pada
dasarnya dapat disamakan dengan tindakan teroris. Misalnya, dalam memberikan
ancaman atau rasa takut kepada kelompok suporter rival, sering kali kelompok suporter tersebut sudah menyiapkannya
secara terorganisir dari jauh-jauh hari, dari mulai agitasi massa, lokasi yang
akan dijadikan sebagai arena pencegatan terhadap suporter rival, hingga hal yang paling ditunggu-tunggu adalah menganiaya
anggota kelompok suporter rival yang
tertangkap. Untuk menguatkan argumen penulis mengenai kekerasan yang dilakukan
suporter mengarah ke arah tindakan teroris, dibawah ini penulis akan memberikan
beberapa bukti kekerasan suporter di Indonesia akhir-akhir ini.
1.
Tewasnya
Suporter PSCS Cilacap setelah Diserang Oknum BCS di Sleman
Kasus kekerasan suporter ini terjadi
pada bulan Oktober pada tahun 2014. Kasus kekerasan ini melibatkan dua kelompok
suporter, yaitu Lanus Mania suporter PSCS Cilacap dengan Brigata Curva Sud (BCS) suporter garis keras PSS Sleman, dimana
dalam penyerangan tersebut, seorang suporter PSCS yang bernama Ikhwan yang juga
merupakan mahasiswa UIN Kalijaga Yogyakarta harus meregang nyawa setelah
dikeroyok oleh puluhan suporter garis keras PSS Sleman yang memang telah
menanti bus yang membawa rombongan suporter PSCS tersebut. Berdasarkan
informasi yang penulis dapat, penyerangan yang dilakukan oleh oknum BCS
terhadap bus yang membawa rombongan suporter PSCS ini telah direncanakan dari
jauh-jauh hari. Pelaku pengeroyokan mengakui bahwa dirinya mendapatkan broadcast dari rekan-rekan kelompoknya
bahwa suporter PSCS akan melintasi daerah Sleman setelah pulang dari menonton
pertandingan di Solo. Pelaku mengakui bahwa dirinya ingin membalas dendam
terhadap kelompok suporter PSCS, karena pada tahun 2013, kelompok BCS
mendapatkan perlakuan yang sama pada saat menyaksikan pertandingan melawan PSCS
di Cilacap, yaitu bus yang mereka tumpangi hancur akibat terkena lemparan batu
dari suporter PSCS. Berdasarkan saksi mata, yang juga merupakan suporter PSCS yang
tergabung dalam bus yang sama, penyerangan tersebut telah terjadi pada saat bus
yang mengangkut rombongan suporter PSCS memasuki wilayah Yogyakarta, namun
puncak penyerangan tersebut ialah kala bus tersebut melintas di sekitar daerah
Prambanan, Sleman. Penyerangan tersebut terjadi pada malam hari secara membabi
buta. Puluhan penyerang yang mengenakan atribut serba hitam tiba-tiba mencegat
bus yang berisi suporter PSCS tersebut, lalu setelah itu para penyerang yang
mempersenjatai diri mereka dengan menggunakan samurai, batu serta pentungan
tersebut masuk ke dalam bus dan nahasnya, satu orang suporter PSCS yaitu Ikhwan
diseret keluar bus dan langsung dikeroyok hingga akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya di lokasi penyerangan.
2.
Bus
Pemain Persib Diserang di Jakarta, Mobil Plat B dihancurkan di Bandung
Kekerasan yang dilakukan oleh suporter
bukan hanya terjadi antara kelompok suporter yang satu melawan kelompok
suporter yang lain, namun juga mulai meluas terhadap hal yang tak ada kaitannya
sama sekali dalam konflik antar suporter tersebut. Misalnya adalah konflik yang
terjadi antara suporter Persija yaitu The Jakmania dengan suporter Persib yaitu
Bobotoh Viking. Salah satu contoh kekerasan dalam konflik tersebut ialah yang
terjadi pada liga Indonesia musim 2013-2014, tepatnya pada tanggal 22 Juni
2013. Dimana pada saat itu bus yang ditumpangi para pemain dan official tim Persib diserang oleh
segerombolan orang yang mengenakan atribut berwarna hitam yang diduga berasal
dari kelompok Jakmania. Mereka melempari bus pemain Persib tersebut dengan batu
bahkan bom molotov. Meskipun dalam kejadian tersebut tidak menimbulkan luka
fisik, namun kejadian tersebut membuat para pemain Persib mengalami trauma yang
mendalam sehingga mereka “ogah” bertanding melawan Persija saat itu dan mereka
langsung memutuskan untuk bertolak menuju Bandung pada hari itu juga. Merasa
dikambing hitamkan oleh media-media pada saat itu, ketua umum Jakmania yaitu
Larico Ranggamone pun menyangkal bahwa anggotanya terlibat dalam penyerangan
tersebut yang mengakibatkan nama baik kelompoknya tercemar. Hingga saat ini pun
pelaku penyerangan bus Persib masih belum terungkap oleh Polda Metro Jaya. Lain
di Jakarta, lain pula di Bandung. Mendengar berita bahwa bus yang ditumpangi
pemainnya diserang oleh segerombolan orang yang berasal dari kelompok rival yaitu Jakmania, para suporter
Persib yaitu Bobotoh Viking langsung berkonvoi di sepanjang jalan kota Bandung
untuk menyambut kedatangan bus pemain yang dirusak di Jakarta. Selain itu,
mereka pun merencanakan untuk membalaskan dendam terhadap Jakmania dengan cara
merusak segala simbol yang berasal dari kota asal rival yang melintas di kota Bandung pada hari itu, salah satunya
adalah plat nomor kendaraan. Meskipun yang ada di dalam kendaraan bukan anggota
Jakmania atau tidak mengetahui konflik yang terjadi antara kedua kelompok
tersebut, namun karena kendaraan tersebut pada hari itu kebetulan melintas dan
menggunakan plat nomor B yang menyimbolkan bahwa kendaraan tersebut berasal
dari Jakarta, maka kendaraan tersebut pun dirusak oleh para Bobotoh Viking yang
pada saat itu sedang naik pitam
karena bus yang ditumpangi pemain Persib diserang di Jakarta sesaat sebelum
pertandingan Persija vs Persib. Mereka menganggap semua ini sebagai pelampiasan
kekesalan terhadap Jakmania, meskipun pada dasarnya yang mereka rusak tidak ada
kaitannya sama sekali dengan rivalitas antara Jakmania dengan Bobotoh Viking.
3.
Seorang
Pegawai Minimarket Tewas Dikeroyok Oknum Bonek di Pasuruan
Kekerasan yang melibatkan kelompok
suporter bola juga terjadi di Pasuruan, tepatnya pada bulan Desember tahun
2014. Kekerasan ini mengakibatkan satu orang yang bekerja sebagai pegawai di
sebuah minimarket tewas. Menurut saksi mata, kejadian ini bermula ketika
rombongan oknum Bonek Mania yang baru saja pulang setelah menghadiri acara hari
jadi Bonek Mania korwil Pasuruan melihat korban yang hendak pulang kerumahnya
dengan menggunakan jersey dengan
lambang Arema yang merupakan seteru abadi dari Bonek Mania. Para pelaku pun
langsung mengeroyok korban secara membabi buta dengan benda-benda tumpul yang
ada di sekitar lokasi kejadian. Setelah dikeroyok, korban pun akhirnya terkapar
tepat di depan minimarket tempat ia bekerja. Saat perjalanan menuju rumah
sakit, pada akhirnya korban harus menghembuskan nafas terakhirnya karena
kehilangan banyak darah. Bila merujuk pada teori tindakan sosial Mead, maka
empat tahapan tindakan sosial yang dilakukan para pelaku pengeroyokan tersebut
ialah pertama, mereka sudah tertanam
rasa benci terhadap Aremania (impuls), kedua,
kebetulan saat mereka sedang melintas secara bergerombolan, mereka melihat
pegawai minimarket tersebut mengenakan jersey
Arema yang merupakan simbol dari rival
mereka (persepsi), ketiga, mereka
pasti akan berpikir terlebih dahulu apakah akan menghabisi nyawa pegawai
alfamart tersebut ataukah hanya melukainya saja, bila hendak menghabisi nyawa
pegawai alfamart tersebut benda-benda apa saja yang akan mereka gunakan
(manipulasi), terakhir, mereka telah
menentukan pilihannya setelah melalui tiga tahap tersebut demi memuaskan
kebencian mereka terhadap rival
mereka yakni Aremania, yaitu dengan cara mereka menghabisi nyawa pegawai
minimarket yang memakai jersey Arema
tersebut dengan cara mengeroyoknya.
Tiga contoh kasus diatas agaknya
telah membuktikan bahwa kasus kekerasan di dunia suporter di Indonesia bukan
lagi sebuah tindakan yang menyerupai hooliganisme,
namun lebih menyerupai tindakan terorisme. Bila hooliganisme merupakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok suporter satu terhadap kelompok suporter yang lain serta masih ada
kaitannya dengan sepak bola, seperti kekerasan tersebut terjadi sebelum atau
setelah pertandingan berlangsung. Misalnya
antara klub A dengan klub B memiliki rivalitas yang tinggi yang pada
akhirnya juga melebar ke para pendukungnya. Lalu sebelum atau setelah
pertandingan kedua kelompok suporter melakukan intimidasi-intimidasi atau
penyerangan terhadap kelompok suporter rival
karena tensi rivalitas mereka yang tinggi. Sementara di Indonesia, seperti yang
telah dipaparkan diatas, kekerasan suporter tersebut justru terjadi bukan pada
saat kedua klub yang memiliki rivalitas suporter yang tinggi bertemu dalam satu
pertandingan. Misalnya saja tewasnya suporter PSCS di Sleman, padahal pada saat
itu PSCS tidak sedang berjumpa dengan PSS Sleman, hanya saja secara kebetulan
rombongan suporter PSCS melintas di sekitar wilayah Sleman saja untuk kembali
pulang ke daerahnya di Cilacap setelah melakukan away day ke Solo. Lalu rivalitas antara Jakmania dan Viking.
Mungkin ini dapat dimasukkan ke koridor hooliganisme
bila melihat dari pertandingan yang akan berlangsung, namun bila kita melihat
korban kekerasannya maka hal tersebut tidak dapat dikatakan hooliganisme melainkan terorisme. Karena
kekerasan yang dilakukan baik oleh Jakmania ataupun Viking pada saat itu
sasarannya ialah orang-orang yang justru tidak terlibat dalam rivalitas mereka,
seperti saat di Jakarta, oknum Jakmania menyerang bus yang ditumpangi pemain
Persib yang akan berhadapan dengan Persija. Sementara di kota Bandung,
kendaraan bernomor plat B dihancurkan saat melintas. Hal ini tentu sebuah
perbuatan yang sangat zalim, karena pada dasarnya, baik para pemain Persib
ataupun orang-orang yang ada di dalam kendaraan plat B, tidak tahu menau
mengenai rivalitas yang sedang terjadi diantara kedua kelompok suporter
tersebut, namun malah mereka yang dijadikan target pelampiasan rivalitas oleh
kedua kelompok tersebut. Lalu untuk kasus terakhir mengenai tewasnya seorang
pegawai minimarket ditangan oknum Bonek Mania di Pasuruan. Menurut penulis ini
sungguh perbuatan semena-mena yang seharusnya dihukum berat, karena mereka
menghabisi nyawa orang yang bahkan tak pernah mereka kenal sebelumnya dan korban
pun tak berbuat kesalahan. Hanya karena hal sepele yaitu sang korban memakai jersey Arema yang notabene
merupakan rival mereka, mereka tega menghabisi nyawa sang korban tersebut.
Dalam kasus yang dipaparkan terlihat bahwa rata-rata kekerasan suporter yang
terjadi didasaari oleh perbedaan simbol yang dikenakan oleh individu atau
kelompok. Hal yang membuat penulis berargumen bahwa semua itu menyerupai
tindakan teroris ialah mengenai lokasi kekerasan. Dimana, rata-rata kekerasan
tersebut terjadi hanya dikarenakan sang rival
atau simbol rival melintas di wilayah
yang merupakan basis kelompok mereka.
Seolah-olah sang rival atau simbol rival “diharamkan” melintasi wilayah
kelompok mereka, padahal mereka sama-sama manusia seperti mereka yang memiliki
hak yang sama dan dilindungi oleh negara, namun yang terjadi justru sebaliknya,
mereka seperti membuat “fatwa” jika sang rival
atau simbol yang mengidentikan rival
melintas di wilayah mereka hukumnya wajib dibumi hanguskan dan darahnya halal
untuk dibunuh.
Beberapa cara
pernah dilakukan oleh pemerintah atau kelompok suporter terkait untuk
mendamaikan suporter-suporter di Indonesia yang selalu berseteru, salah satunya
adalah dengan digagasnya hari suporter nasional yang jatuh pada tanggal 12 Juli
dan digagas oleh Bambang Haryanto yang merupakan pengurus Pasoepati (kelompok
suporter Persis Solo). Beliau dengan beberapa perwakilan dari suporter-suporter
lain di Indonesia mendeklarasikan hari tersebut sebagai hari persatuan suporter
se-Indonesia. Bahkan beberapa acara pernah dilakukan seperti jambore nasional
yang diselenggarakan pada tahun 2007 di Cibubur dan 2008 di Bali. Namun dalam
kenyataannya, perdamaian suporter yang digagas oleh beliau hanya sebatas
terjadi di kalangan petinggi-petinggi kelompok suporter saja, karena fakta di
lapangan menunjukkan, para anggota-anggota yang tergabung dalam kelompok
suporter yang sering bertikai tersebut masih saja kerap terjadi gesekan. Mereka
masih memiliki rasa kebencian yang sangat kuat bahkan turun temurun sehingga
menciptakan rasa primordialisme di
kalangan suporter di Indonesia yang menyebabkan sampai saat ini permusuhan
antar suporter masih belum dapat diatasi. Dalam hal ini penulis memiliki solusi
yang mungkin bisa diterapkan oleh seluruh suporter di Indonesia jika mereka
memang memiliki matan untuk bersama untuk Indonesia yang lebih baik dan untuk
mengamalkan sila ketiga dalam Pancasila yaitu sila Persatuan Indonesia. Solusi
dari penulis ialah seluruh suporter di Indonesia bersatu membangun sebuah
sekolah atau gedung yang memang dikhususkan untuk seluruh suporter di Indonesia
untuk mendapatkan pengetahuan seperti bagaimana cara menghargai perbedaan dalam
dunia suporter, bertoleransi serta menguatkan nasionalisme antar sesama
suporter, karena pada dasarnya mereka sama-sama orang Indonesia, hanya warna
dan simbol mereka saja yang berbeda jika sudah mendukung kesebelasan sepak
bola. Dalam sekolah tersebut yang memberikan materi bisa saja dipercayakan
kepada Kapolri selaku penegak hukum, atau mungkin Kemenpora dan staffnya selaku
kementrian pemuda yang seharusnya dapat mencerahkan para suporter yang
rata-rata masih remaja untuk tidak lagi berbuat kekerasan terhadap sesama
suporter Indonesia, karena pada dasarnya mereka seharusnya saling melindungi
antara satu sama lain bukannya saling bunuh membunuh, selain itu yang dapat
dipercaya memberikan materi adalah tokoh-tokoh agama seperti ulama dan
sebagainya, karena dengan peran mereka, para suporter yang tergabung dalam
sekolah ini mampu memperdalam ilmu mereka bahwa pada dasarnya membunuh antar
sesama tidak baik, alangkah lebih baiknya, rivalitas antar suporter dapat
dituangkan ke dalam rivalitas yang menuju kebaikan seperti berkreasi dalam hal
aksi di tribun, para suporter berlomba-lomba dalam membantu bencana di
Indonesia, misalnya mengadakan laga amal untuk korban bencana alam xxxx yang
dana hasil pertandingan disumbangkan kepada yang membutuhkan tersebut. Alangkah
lebih baiknya seperti itu dibandingkan rivalitas yang menimbulkan banyak
kemudharatan hingga harus kehilangan nyawa. Dalam sekolah tersebut para
perwakilan suporter tersebut dikarantina selama satu bulan sehingga mereka
dapat akrab dan saling bekerja sama dengan perwakilan-perwakilan dari suporter
yang lain, sehingga setelah mereka keluar dari sekolah tersebut diharapkan
dapat menularkan virus damai antar suporter kepada anggota-anggota suporter
yang lain di tiap korwil tempat dia berasal. Setelah itu sekolah tersebut terus
berlanjut seperti semula yaitu tiap suporter di Indonesia mengirimkan
anggotanya sebagai perwakilan untuk dibina di sekolah tersebut, dan seterusnya
akan seperti itu hingga perdamaian antar suporter di Indonesia dapat tercapai. Suporter Damai, Persatuan Indonesia
Tercapai!!!
0 Komentar