Opini
BELAJAR DARI ROKOK
Oleh : Aida Choirunisa
Rokok. Siapa tak kenal rokok, namanya tenar mengalahkan
namaku. Mulai dari laki-laki, perempuan, tua dan muda bahkan anak-anak mengenal
rokok dan mengonsumsinya. Sangat kontroversi jika kita berbicara tentang rokok,
karena rokok dinilai masih memilki sisi positif di samping sisi negatif yang
niscaya mengikutinya.
Rokok Itu,.
Menurut Suryo (2007) dulu, pada jaman Belanda
menguasai Indonesia, Belanda (VOC) menanam tembakau pertama di Indonesia pada
1609 dan di 1650 telah tertanam diberbagai daerah di nusantara. Di daerah
Kudus, seseorang bernama Haji Jamahri, rokok merupakan cengkeh yang dihaluskan
dicampur tembakau dan dilintingankan dengan daun jagung (kelobot) sebagai obat
dari penyakit seperti rasa nyeri didada, ini dikenal sebagai rokok keretek
pertama di Indonesia. Rokok obat yang dikenal dengan rokok cengkeh atau rokok
keretek ini disebarkan ke oang-orang terdekat Haji Jamahri, ternyata banyak
peminatnya dan akhirnya membuka industri kecil rokok keretek oleh Haji Jamahri.
Pada 1890 Haji Jamahri meninggal, maka tumbuh pesatlah industri-indutri rokok
dengan berbagai label. Namun kualitas rokok keretek mulai menurun dikarenakan
terjadi kegagalan panen cengkeh di Zanzibar dan Madagaskar. Kini, rokok
modernpun semakin bervariasi bentuk dan rasanya seperti rokok elektrik, juga
rokok dengan rasa mint dan lain sebagainya yang membuat para pecinta rokok
penasaran dan mencobanya. Namun, ketika rokok telah mengalami
perubahan-perubahan, masihkah kandungannya dapat berkhasiat menyembuhkan
penyakit, apalagi rokok diproduksi oleh pabrik bukan buatan tangan sendiri seperti
yang dilakukan Haji Jamahri.
Dalam Suryo (2007), disebutkan bahwa rokok
mengandung lebih kurang 4000 bahan kimia, di antaranya tar, nikotin karbon
monoksida dan hidrogen sianida. Zat-zat ini dijelaskan pula oleh Suryo, di mana
tar merupakan zat yang terbentuk ketika pemanasan tembakau. Tar adalah hidrokarbon
aromatik polisiklik yang ada dalam asap rokok, tergolong zat karsinogen yang
dapat menumbuhkan kanker. Nikotin adalah alkolid toksis terkandung ditembakau,
2-3 mg pada sebatang rokok. Efek bifasik (demam saddle back/pelana/bifasik: penderita mengalami beberapa hari demam
tinggi disusul penurunan suhu lebih kurang 1 hari, lalu timbul demam tinggi
kembali (https://www.academia.edu/5071646/Demam_Bifasik_Demam_saddle_back)) dari
nikotin pada dosis rendah menyebabkan rangsangan ganglionik (ganglion juga dapat berarti benjolan
seperti kantung atau kista yang terbentuk dari jaringan yang melapisi sendi atau tendon
(http://kamuskesehatan.com/arti/ganglion/)) yang eksitasi (perangsangan; keadaan terangsang; penambahan tenaga pada suatu sistem yang mengalihkannya dari
keadaan dasarnya ke suatu keadaan dng tenaga yang lebih tinggi (http://kbbi.web.id/eksitasi)).
Tetapi pada dosis tinggi menyebabkan blokade gangbionik setelah eksitasi
sepintas (Henningfield, JE., 1995 dalam Suryo, 2007). Lalu zat karbon monoksida
merupakan gas beracun yang tidak berwarna. Kandungannya 2-6% pada asap rokok.
Kandungan monoksida pada paru-paru mempunyai daya pengikat (afinitas) dengan
hemoglobin (Hb) sekitar 200 kali lipat dari pada daya ikat oksigen (O2) dengan
hemoglobin (Hb). Dalam waktu paruh 4-7 jam sebanyak 10% dari Hb terisi
monoksida (CO) dalam bentuk COHb (Carboly
Haemoglobin), akibatnya sel darah merah akan kekurangan oksigen yang
akhirnya sel tubuh kekurangan oksigen. Pengurangan oksigen dalam jangka panjang
dapat mengakibatkan pembuluh darah akan terganggu karena menyempit dan
mengeras. Bila menyerang pembuluh darah jantung akan terjadi serangan jantung.
(Henningfield, JE., 1995). Terakhir zat hydrogen
sianida (HCN).
Humanistik dalam
Merokok
Begitulah zat-zat yang terkandung dalam sebatang
rokok. Meski demikian mengerikannya zat-zat tersebut, lagi-lagi rokok masih
mempunyai konsumen setia. Memang bukan masalah jika perokok aktif mengonsumsi
rokok yang didapat dengan cara yang baik, tentu mengenal dahulu rokok itu dan
menjaga etika merokok. Dalam membentuk etika merokok, tulisan ini bisa memberi
sedikit gambaran untuk memulai langkah dalam beretika merokok melalui
teori-teori belajar dan pembelajaran terkhusus teori humanistik.
Dalam teori humanistik ada beberapa tokoh yang
menganut teori tersebut yakni Bloom dan Krathwohl, Kolb, Honey dan Mumford,
Habermas, Carl Rogers serta Abraham Maslow. Namun penulis hanya mengambil satu
tokoh yakni Kolb. Dalam buku Teori Belajar dan Pembelajaran (Eveline dan
Hartini, 2010) Kolb mempunyai 4 tahapan dalam belajar yang akan diberi benang
merah agar relevan dengan perihal merokok. Pertama,
pengalaman konkret. Pada tahap dini, seseorang hanya mampu sekedar ikut
mengalami suatu kejadian, ia belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu. Misal, awalnya si A merokok karena hanya
ikut-ikutan atau karena biar dibilang ‘gaul’, ‘keren’, ‘maco’, ‘gak cupu’ dan
sebagainya. Kedua, pangamatan aktif
dan reflektif. Seseorang tersebut lambat laun mampu mengadakan pengamatan aktif
terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Nah,
ketika si A mulai menyadari bahwa di sekelilingnya hampir setiap orang baik
laki-laki, perempuan, tua, muda bahkan anak kecil mengonsumsi rokok, maka
pengamatan itu akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya, apakah
rokok itu? Mengapa mereka merorok atau bahkan aku pun merokok?. Ketiga, konseptualisasi diri. Tahap ini
seseorang mulai belajar membuat abstraksi atau “teori” tentang hal yang pernah
diamatinya. Setelah pertanyaan-pertanyaan itu hinggap dalam pikirannya, si A
akan mulai mencari tahu jawaban dari pertanyaan itu satu per satu dengan
berbagai cara semisal membaca buku, membaca referensi online, bertanya dengan para perokok aktif maupun pasif dan lain
sebagainya perihal rokok dan merokok. Maka dari sini si A mengetahui ada
berbagai motif orang-orang merokok mulai dari karena ikut-ikutan, karena telah
menjadi habit dan ada pula untuk meredakkan penyakit tertentu yang pasti dengan
jenis dan kadar rokok tertentu pula. Lalu, si A mulai mencari tahu, hubungan
peraturan-peraturan merokok dengan produksi rokok, yang ternyata karena merokok
mempunyai sisi negatif yang dominan apalagi bagi khalayak umum yang dapat
merugikan bukan perokok maupun perokok pasif belum lagi pencemaran udara akibat
dari asap rokok tersebut. Jadi, bukan suatu kecelakaan bagi para perusahaan
untuk memproduksi rokok, yang jika ditutup perusahaannya akan menjadikan
berjuta-juta orang menjadi pengangguran, namun yang keliru ialah para perokok
aktif jika mereka tidak bisa beretika dalam merokok. Keempat, eksperimentasi aktif. Seseorang sudah mampu
mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam hal ini si A
sudah mengetahui bagaimana ia harus merokok, yang juga dibingkai oleh
peraturan-peraturan merokok. Kita dapat melirik pengalaman Suryo Sukendro, yang
menamatkan S1 di jurusan Sastra Indonesia, UGM dan berhasil membuat karya
berupa buku “Filosofi Rokok: Sehat Tanpa Berhenti Merokok”.
Tentu melalui implementasi teori humanistik
tersebut, para perokok aktif, pasif maupun yang tidak/bukan perokok, tidak
perlu lagi saling memproklamirkan nilai-nilai humanistik yang justru saling
menjatuhkan satu sama lain. Akhirnya perdebatan yang tak kunjung usailah yang
ada. Maka dalam karyanya Suryo memberikan “Tips yang Perlu Diperhatikan kaum
Perokok”. Pertama, jangan merokok di
tempat umum. Kedua, jangan merokok di
kawasan dilarang merokok. Ketiga,
jangan merokok di tempat tertutup, termasuk kawasan pabrik perkantoran, ruang
rapat, ruang sidang dan sejenisnya. Keempat,
merokoklah di kawasan yang sudah disediakan khusus untuk merokok. Kelima, tidak merokok dikalangan orang
yang tidak merokok karena dapat menyebabkan adanya perokok pasif. Keenam, tidak merokok dikalangan
anak-anak di bawah umur. Ketujuh,
pimpinan atau penanggung jawab tempat kerja wajib melarang kepada staf dan/pegawainya
untuk tidak merokok di tempat kerja. Kedelapan,
khusus bagi wanita perokok, sebaiknyalah tidak merokok saat hamil maupun
menyusui, karena ini tidak baik bagi kesehatan janin juga kualitas ASI (lebih
jelas baca bukunya).
Sudahkah kamu belajar
dari rokokmu? Mari belajar dari rokok.
0 Komentar