Oleh: Ayi Hambali

Protes adalah bentuk simbolik manusia yang unik, ia merupakan bentuk ekspresi dari  prilaku social sekaligus prilaku politik, ia berjalan dengan menggabungkan dimensi social dan individual dalam diri manusia. Satu hal yang perlu dicatat dan menjadi poin penting dalam tulisan saya ini adalah bahwa kegiatan protes yang dilakukan secara individu dalam ruang privatnya (ruang pemikiran/perasaan pribadi) umumnya hanya memiliki dampak sosial saja dan tidak memiliki dampak politik, karena hanya memiliki tujuan ekspresi dari kekecewaan/ketidaksetujuan individu saja. Bentuk protes, tidaklah harus melulu dengan hal-hal yang sangat besar, seorang anak yang merengek karena tidak mau menghabiskan makanan yang disajikan orangtuanya, juga merupakan sebuah protes. Sedangkan pada sisi yang lain, protes yang dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok dan di ruang publik, memiliki pengaruh politik, seperti untuk mengubah keadaan, lingkungan, nilai-nilai, ataupun kebijakan. Protes yang dilakukan secara bersama-sama ini kemudian melahirkan konsep mengenai aksi massa.
Dikalangan mahasiswa kata aksi bukan merupakan barang asing, karena dikalangan masyarakat sendiri kata aksi selalu diidentikan dengan mahasiswa walaupun mereka menyebutnya dengan kata lain yaitu demonstrasi, padahal tidak semua mahasiswa suka dengan aksi, mungkin hanya segelintir orang saja yang memang gandrung dengan konsep pergerakan. Karena itu mestilah mahasiswa memahami tentang konsep ini, dimana aksi merupakan bentuk protes namun sama sekali berbeda dengan aksi massa yang juga bentuk protes, karena aksi bisa saja dipahami secara individual dari pada aksi massa yang memang membutuhkan massa sebagai komponen utamanya. Tan Malaka dalam bukunya Massa Actie melihat bahwa aksi massa memiliki makna mendalam yang dihasilkan dari dua kata itu sendiri, aksi dan massa. Tan Malaka berpendapat bahwa tidak ada aksi tidak akan berarti tanpa massa, begitupun massa tidak akan memiliki arti tanpa aksi. Tan Malaka juga menekankan pada kesakralan aksi massa yang didasarkan kepada penghayatan orang-orang yang terlibat dalam aksi massa terhadap perjuangan mereka.[1] Oleh karena “aksi massa” saya menyebutnya sebagai bentuk paling tinggi dan paling sakral dalam kegiatan protes manusia karena prosesnya yang berjalan secara (mendekati) alamiah dan normal.
Disebut sakral karena ia merupakan kegiatan kolektif yang terbangun dari kesadaran diri individu secara bersama. Gamson (dalam Klandermans: 2004) menjelaskan bahwa poin terpenting yang mempengaruhi lahir dan suksesnya gerakan/aksi massa yaitu, adanya keresahan, ketidakadilan, kekecewaan, yang dirasakan bersama. Ketika rasa kekecewaan dan keresahan terhadap sebuah isu dialami oleh banyak orang maka hal ini akan menjadi langkah awal lahirnya aksi massa. Aksi massa tidak akan pernah terwujud ketika keresahan tidak dirasakan banyak orang. Hal inilah yang selalu menjadi masalah dalam kegiatan aksi yang hendak muncul, dimana ketika ada momentum hanya sedikit orang merasa keresahan, yang kemudian berujung pada kegiatan yang cenderung memaksakan, yaitu agenda setting dengan melakukan manajemen massa, hanya agar tidak kehilangan momentum dan proses kesadaran massa tidak berjalan secara alamiah dan normal. Keresahan, ketidakadilan, kekecewaan bersama hanya menjadi kesadaran palsu karena merupakan setting yang diarahkan, mungkin hanya sebagian orang saja yang memiliki kesadaran yang benar sebagai otak intelektual sisanya mungkin hanya ikut-ikutan karena tidak ingin dianggap pasif dan tidak peduli. Hal seperti inilah yang saya sebut aksi bukan aksi massa, yang menjadikanya hanya (seperti) protes individual dari ketidaknyamanan perasaan dan pemikiran pribadi layaknya bayi yang merengek pada orang tua.
Hal ini berlanjut pada pertanyaan penting apakah aksi kita benar-benar mewakili perasaan massa/rakyat? Apakah massa/rakyat juga merasakan keresahan yang sama? pernahkah kita memperhatikan perasaan massa pada setiap aksi yang akan dilakukan? atau justru yang ada hanyalah pemaksaan pemikiran pribadi kepada massa demi tak kehilangan momentum. Seperti halnya yang kemudian menjadi pengalaman buruk yang dialami oleh PKI pada pemberontakanya tahun 1926, dimana mereka sama sekali tak memeperhatikan massa sebagai bagian dalam melakukan suatu aksi nasional. Hal yang kemudian menjadi kritik dari Tan Malaka yang sedari awal menolak rencana pemberontakan tersebut, dalam bukunya yang berjudul Massa Actie, Tan Malaka memeperkenalkan istilah Putsch.
“Putsch” itu adalah suatu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa. Ia sekonyong-konyong keluar dari guanya tanpa memperhitungkan lebih dulu apakah saat aksi massa sudah matang atau belum. Dia menyangka bahwa semua lamunannya tentang massa adalah benar sepenuhnya. Dia lupa atau tak mau tahu bahwa massa hanya dengar berturut-turut dapat ditarik ke aksi politik yang keras (secara modern!) dan pada waktu sengsara serta penuh reaksi yang membabi buta. “ tukang-tukang putsch” lupa bahwa pada saat revolusi ini kapan aksi massa berubah menjadi pemberontakan bersenjata tak dapat ditentukan berbulan-bulan lebih dulu.
Putsch inilah yang kemudian terjadi pada pemberontakan PKI 1926 dan kemudian mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut tidak lepas dari kecerobohan bertindak PKI yang melakukan manajemen massa tanpa menghiraukan perasaan dan kesanggupan massa. Mereka memaksakan sepenuhnya apa yang mereka pikirkan, dan massa tentunya hanya dengar dan berturut-turut ikut ke dalam aksi politik yang keras. Dalam hal ini bukan berarti dalam melakukan aksi massa tidak bisa dilakukan dengan manajemen massa akan tetapi manajemen massa pada suatu aksi massa tidaklah bisa dilakukan dengan bermodalkan sehari dua hari kemudian dipuncaki dengan besoknya melakukan aksi. Aksi massa merupakan bentuk aksi yang paling tersruktur dan terencana didasarkan pada pertimbagan yang matang, oleh karena itu massa aksi haruslah orang yang memahami dan menyadari aksi yang dia lakukan, sehingga membangun massa yang seperti ini tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, namun hasilnya akan lebih terealisasi dari pada aksi-aksian yang incidental. Itulah kenapa aksi-aksi yang sifatnya insidental lebih banyak yang termentalkan dari pada yang mencapai sukses, karena sifatnya yang lebih kepada mensetting kesadaran massa dari pada membangun kesadaran massa itu sendiri. Pelru dicatat bahwa gerakan mahasiswa 98 menjadi suatu aksi massa yang terbagun karena kesadaran massanya sendiri secara alamiah yang mengalami keresahan, sehingga produk massanya pun lebih jelas memiliki keadaran sendiri dari pada massa yang disetting karena adanya suatu momentum.    

0 Komentar