Cerpen Si Budi Kecil
Si Budi Kecil
oleh: Arif Nur Ridwan
oleh: Arif Nur Ridwan
Si
budi kecil lahir dan besar di antara bising jeritan pabrik-pabrik kota yang tak
mengenal waktu, yang menjadi suatu gambaran jaman di mana aku, aku benda mati
yang menghidupi mu. Tanpa ku kau hanya seonggokan kardus yang di tendang
kemana-kemana. Kau hanya-lah bensin yang membuat-ku jalan, tetapi kau tidak
sadar bahwa kau pun bisa membakar aku tetapi itu-pun kalau kau dan teman-teman
mu agak sedikit pintar. di awal musim
penghujan si budi kecil masih tidur nyenyak di dalam perut ibu-nya, tak pernah
tau dunia luar seperti apa? Tak pernah tau bagaimana ibu-nya selalu mengeluh
sambil mengusap perut berharap si budi kecil mendengarkan keluh kesah-nya yang
selalu bilang “musim penghujan layaknya kiamat kecil bagi kita ndo! Omset ibu-mu
terus menerus turun! Banyak langganan mencuci ibu yang tidak lagi memakai jasa
ibu karena baju yang di titipkan tak pernah kering, kita sudah kalah ndo dengan
ruko-ruko yang berbahasa “laundry” itu. hanya dengan sekali pencet bisa bersih,
kering, wangi pula! Tamat-lah ndo kita. orang-orang lebih percaya kekuataan
mesin daripada kekuataan tangan kita. Seolah mendengarkan ibu-nya si budi kecil
hanya menendang-nendang kecil di dalam perut sang ibu.
Senja
terus menutup bayang-bayang kota, sang rembulan pun bergantian shift dengan
sang matahari menerangi gedung-gedung kota yang berdiri angkuh menunjukan
kekuasaan-nya. di pelataran kampung, lampu-lampu bohlam kuning mulai menyala
menerangi rumah-rumah dan gang-gang sempit tempat tinggal keluarga budi. Pintu depan
terbuka, menyusul terdengar suara menyeret langkah kaki seseorang masuk ke
dalam rumah. “Sudah pulang pak?” Tanya ibu budi yang sambil tengah asik
menyetrika beberapa helai pakaian milik langganan-nya. “sudah bu” jawab bapak
budi sambil menghela nafas panjang. “Ini bu Cuma dapat segini” tambah bapak
budi yang langsung menyodorkan selembar uang 10rb rupiah dan 3 keping uang 1000
logam. “tak apa-apa pak, ini juga rizki dari gusti allah mesti kita syukuri”
jawab ibu budi yang segera mengganti kesibukannya dengan membawakan air putih
dan sisa lauk tadi siang berupa nasi dan kangkung. Tidak ada komentar yang
keluar dari bapak budi, hanya suara sendok yang bergesekan dengan piring di
susul oleh gerak tangan bapak budi yang lincah mengais setiap butir nasi yang
ada di piring. “perut-mu sudah besar bu,
sudah periksa ke puskesmas?” tanya bapak budi sembari meletakan piring yang
sudah bersih tak bersisa di dalam-nya. “sudah pak, kemungkinan satu atau dua
minggu lagi anak kita akan lahir.” Jawab ibu budi sambil mengusap perut-nya.
tidak seperti ayah-ayah yang lain, bukan merasa senang mendengar kabar
tersebut, bapak budi hanya terdiam dan sesekali tersenyum kecil kepada istrinya
sambil merenung bagaimana memikiran biaya proses kelahiran si budi kecil nanti yang
kata orang-orang memakan biaya besar. “jangan di pikirkan sendiri pak, aku juga
akan berusaha membantu-mu mencari uang untuk kelahiran anak kita. Kan kita juga
punya kartu jaminan kesehatan dari pemerintah” kata-kata ibu budi seolah
seperti oase di tengah gurun, membangunkan pak budi dari lamunan-nya dan
menyadarkan bahwa seakan nanti akan ada kemudahaan dalam menyambut kelahiran si
budi kecil.
Hari
yang di nanti pun telah tiba, hari si budi kecil akan keluar dari nyaman dan
aman-nya perut sang ibu menunju dunia yang tidak senyaman perut ibu-nya. berbekal kartu
jaminan kesehatan keluarga budi berangkat menuju rumah sakit dengan menggunakan
becak penyambung hidup keluarga budi. Sesampai-nya di rumah sakit dengan
percaya diri bapak budi pergi ke kasir dan menujunkan kartu jaminan kesehatan kepada
petugas guna proses kelahiran si budi kecil. Tetapi bak petir di siang bolong,
penolakan justru yang di dapat bapak budi. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa
tidak melayani kartu jaminan kesehatan. “ lho pak kata petugas keluarahan
tinggal menunjukan kartu ini saja nanti bisa di layani di rumah sakit? Tanya bapak
budi heran. “oh itu hanya beberapa rumah sakit saja pak, tetapi tidak disini.” Jawab
petugas kasir yang tidak mau kalah dengan bapak budi. “tetapi disini tidak
tertulis ada pengecualian rumah sakit, kan sudah tertulis besar juga kartu
JAMINAN KESEHATAN yang berarti menjamin pelayanan kesehatan bagi pemegang kartu-nya!”
jawab balik pak budi dengan yakin. “memang
benar pak tetapi pemerintah tidak menjamin akan membayar uang penggantian
terhadap rumah sakit sehingga kami tidak bisa melayani bapak. Pemerintah hanya
memberikan janji manis terhadap masyarakat tetapi tidak pernah melaksanaanya
secara serius, dan kita tidak mau menjadi korban dari janji-janji pemerintah
seperti bapak”. Jawab petugas rumah sakit yang seakan seperti seorang guru yang
mengajarkan sekaligus menampar seorang bocah ingusan mengenai apa itu kebijakan
pemerintah. Dengan muka tertunduk lesu bapak budi menjumpai istrinya yang
sedang asyik duduk di lobi rumah sakit dan mengatakan “tempat kita bukan disini
bu” sambil mengajak istrinya keluar dan menaiki becak pergi meninggalkan rumah
sakit. Ibu budi hanya bisa terdiam sambil mengelus perut-nya seakan mengerti
apa yang telah terjadi.
Bersambung..
0 Komentar