Revolusioner Yang Dilupakan
(oleh: Arif Nur Ridwan, Pend.Sejarah 2011)


Taufik Adi Susilo
Tan Malaka, Biografi SingkatJogjakarta: Garasi, 2008
184 hlm.: 14 X 21 cm

Banyak masyarakat yang tidak mengetahui sosok Tan Malaka, banyak pula bahkan yang tak pernah mendengar nama-nya maupun mengenal sosok ini yang sebenarnya tokoh pahlawan dan revolusioner sesungguhnya di Indonesia. tak heran itu di sebabkan karena buku-buku sejarah maupun tulisan-tulisan tentang dirinya sengaja di hapus oleh rezim Orde Baru yang katanya menurut rezim ini jika buku-buku mengenai Tan Malaka di sebar luaskan dapat merangsang pembaca untuk mendalami ajaran-ajaran Marxisme /Leninisme yang nantinya akan menganggu stabilitas nasional. Oleh karena itu di dalam buku ini sang penulis buku ingin coba menggambarkan pada masyarakat siapa itu sebenarnya sosok tan malaka dan meluruskan kembali pandangan penilaian orde baru terhadap dirinya.

Tan malaka adalah teladan tokoh revolusioner kiri yang militant, radikal, dan revolusioner. Namun sayang, nama dan perannya dalam kemerdekaan Indonesia sengaja di kaburkan dan di hilangkan oleh rezim Orde Baru dari catatan sejarah dan album pahlawan nasional. Padahal segudang ide-ide dan pemikirannya yang revolusioner telah berperan besar dalam mengantarkan bangsa ini menutup penjajahan di bumi pertiwi. Ia telah menjadi korban pemalsuan sejarah.

Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, pada Juni 1897. Tan Malaka beruntung menjadi anak seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain. Tak heran jika pada usia 12 tahun dia berkesempatan mengecap sekolah pendidikan guru yang didirikan oleh pemerintah hindia belanda yaitu di Sekolah Rajo, Bukittinggi. Sejak usia sekolah itu pula dia menunjukan kecerdeasaan sebagaimana yang dikatakan guru belandanya, G.H. Horensma, “ Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah-olah memancarkan sesuatu.”

Tan Malaka lulus pada tahun 1913, pada usia 17 tahun dia melanjutkan studi ke negeri Belanda untuk sekolah di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) di Haarlem. Di negeri penjajah itu dia menyerap ideologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat. Dia bertemu dengan Herman (pemuda pelarian Belgia) dan seorang Belanda bernama Van Der Mey yang sedikit membuka mata Tan terhadap politik. Tan malaka juga mendahului sekolah ke Belanda daripada Mohammad Hatta, Nazir Datuk Pamoenjtak, Sutan Sjahrir, Abdu Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zahrain Zain, dan Abdul Muiz. 

            Sepak terjang Tan Malaka menjadi bukti kuatnya semangat perlawanan dari pemuda Minangkabau. Meski terkenal sebagai wilayah yang kuat menganut islam, siapa sangka justru ideologi kiri seperti sosialisme dan komunisme bercokol kuat di sana. Bahkan agama islam menjadi basis persemaian ideology kiri di minangkabau. Koalisi islam dan sosialisme/komunisme itu di sokong oleh motif yang sama untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Disini Tan Malaka berperan menghubungkan kedua arus tersebut.

Di Belanda, watak Tan Malaka terbentuk: membaca, belajar, dan menderita. Tan pun berjuang melawan sakit bronchitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin. Memang sulit untuk membayangkan bahwa dalam keadaan serba terbatas dia melanglang buana membentuk serta membangun ideology dalam perjalanan panjang dari belanda, jerman, rusia, kemudian naik kereta api trans-siberia melalu gurun es hingga Vladivostok di timur, terus bolak balik ke amoy, shanghai, manila, canton, Bangkok, singapura, semenanjung Malaya, dan Burma dan di kejar oleh bayang-bayang intelijen inggris, amerika, dan belanda karena dia pemikiran tan yang pro komunis dan dianggap sebagai agen boshelvik, musuh besar Negara-negara tersebut.

            Yang penting di catat selama periode pelariannya itu adalah brosur yang di tulis dan di terbitkan di canton pada 1924 yaitu Naar Repoeblik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) dalam bahasa belanda dan melayu yang kemudian di terjemahkan ke bahasa Indonesia. Ratusan jilid tersebut lantas di selundupkan ke hindia belanda dan di terima oleh para tokoh pergerakaan, termasuk Soekarno.

Buku itulah yang menjadi bukti bukti bahwa Tan Malaka adalah penceetus gagasan Indonesia merdeka jauh sebelum proklamasi 17 agustus 1945. Dengan Menuju Republik Indonesia maka untuk pertama kalinya konsep “republik Indonesia” dicanangkan. Gagasan Tan ini di sampaikan Sembilan tahun sebelum Soekarno menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933). Juga jauh lebih dulu di banding Muhammad Hatta menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) yang mungkin penulis yakin banyak orang belum mengetahui-nya.

Tan Malaka adalah sosok yang selalu konsisten dengan apa yang di tulis dan dipikirkannya. Tan menolak berunding dengan pemerintahan imperalisme Belanda, hanya dengan satu alasan: Indonesia adalah milik bangsa Indonesia, kenapa harus berunding meminta kemerdekaan pada bangsa lain? Meski untuk itu, seumur hidupnya dia harus berkelana hidup dari penjara ke penjara.

         Namun sayang, ide dan pemikirannya yang terlalu brilian dan konsisten itu menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Tan di anggap terlalu radikal dan berpotensi mengancam kestabilan nasional pada saat itu. Tan harus menerima kenyataan pahit bahwa hidupnya harus berakhir di tangan perluru bangsannya sendiri, bangsa yang selama ini di cita-citakan dan di perjuangkannya selama pengembaraannya di luar negri sana. Pembungkaman Tan Malaka telah mengakhiri setiap harapan yang pernah ada bahwa Indonesia akan memilih jalan perjuangan daripada jalan diplomasi.

     Tan Malaka menawarkan sebuah jalan “Merdeka 100 Persen”, tapi itu mustahil terjadi dalam gelombang revolusi yang dahsyat saat itu. Dan hanya ia sendiri yang tahu betul apa yang harus di lakukannya untuk mewujudkan cita-citanya itu. Kalau kesuksesan berpolitik di ukur dari seberapa besar kekuasaan yang di peroleh, bukan di sana tempat Tan Malaka. Kesuksesan Tan Malaka terletak pada sikap konsisten dalam berpolitik dan orisinalitas pemikirannya yang berpihak kepada rakyat. Pentingnya ilmu pengetahuan untuk membangun rakyat, seperti yang di tulisnya dalam madilog dan beberapa brosurnya yang menganjurkan kemandirian bangsa, menjadi relevan bila melihat kondisi bangsa kita dewasa ini yang menjadi bangsa yang sangat konsumstif dan berketergantungan dengan Negara lain.

     Tan Malaka tidak hanya bicara, tetapi dengan bukti. Dia bukanlah pemimpin flamboyan dan gagah di podium, tetapi dia membangun sekolah rakyat di Semarang, Purwekerto, Bandung, Yogyakarta, dan Batavia, Selama dua tahun di Jawa sebelum di buang ke Belanda (1922). Tan konsekuen denagn sikapnya yang tidak memercayai poltik kompromi (diplomasi) yang di jalankan Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir yang hanya menguntungkan Belanda. Tan Malaka adalah seorang Nasionalis sejati daripada seorang Komunis.

    Buku ini sangat di anjurkan untuk di baca oleh masyarakat luas, aktivis, mahasiswa, serta semua orang yang peduli akan pendidikan dan nasib bangsa-nya. Dalam buku ini juga penulis sudah sangat baik dalam menyusun kata dan mengambarkan sosok Tan Malaka bagi kalangan awam/pemula yang belum mengetahui sama sekali sosok Tan Malaka mulai dari kehidupan Tan Malaka, posisi pentingnya dalam perjuangan kemerdekaan, ide-ide briliannya yang radikal, orisinil dan revolusioner yang telah mengawal langkah juang para pahlawan kemerdekaan, pahit getirnya kehidupan yang di laluinya. Berikut kisah cintanya yang tulus dan sepi pamrih kepada bumi pertiwi. Buku ini merupakan catatan singkat yang meretas jejak pahlawan kemerdekaan. Sang revolusioner yang dilupakan, Tan Malaka. [7/04/2013]



1 Komentar