KPU dan Pilkada Jakarta
Oleh : Muhammad Handar
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial Politik FIS UNJ Tahun 2009
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya, pemilihan kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah melalui DPRD membawa segala permasalahan atau kekecewaan pada masyarakat. Hal ini dikarenakan berbagai hal, diantaranya; pertama, politik oligarki yang dilakukan oleh DPRD dalam memilih kepala daerah dimana kepentingan partai dan kepentingan elit partai sering memanipulasi kepentingan masyarakat secara luas.
Kedua, mekanisme pemilihan kepala daerah selama ini cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Akibat dari ketergantungan tersebut memicu terjadinya kolusi dan money politics antara kepala daerah dengan anggota DPRD. Ketiga, terjadi penghentian dan pencopotan serta tindakan yang over dari para anggota DPRD terhadap kepala daerah, seperti kasus di Surabaya dan Kalimantan Selatan berdampak pada gejolak dan instabilitas politik dan pemerintahan lokal.
Jakarta ibukota negara dan pusat pemerintahan RI diibaratkan miniatur Indonesia. Kecil tapi memiliki daya magnet politik yang cukup tinggi dan menarik perhatian semua kekuatan politik. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta Tahun 2005 (dalam  Ahmad Baehaqi, 2010) penduduk Jakarta sekitar 8,6 juta.[1] Sebagai pusat pusaran politik, Jakarta menjadi negeri impian para politisi. Karena memenangkan kompetisi pemilihan umum di Jakarta bagi partai-partai politik dan elit kota akan membawa prestise dan sekaligus unjuk prestasi untuk menjadi barometer politik nasional.
Salah satu wujud kompetisi pemilihan umum tersebut ialah Pemilihan Kepala Daerah langsung (Pilkada langsung). Pilkada langsung merupakan salah satu aspek dinamika dalam mewujudkan demokrasi di level lokal. Hal itu sejalan dengan pernyataan O’Neall mengenai pilkada langsung yang menyatakan bahwa ‘all  politic is local’ yang dapat dimaknai sebagai demokrasi di tingkat nasional akan tumbuh berkembang dengan mapan dan dewasa apabila di tingkat lokal nilai-nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu.’ Dengan demikian, kondisi perpolitikan di tingkat nasional akan stabil, apabila kondisi perpolitikan di tingkat lokal mencerminkan keadaan yang kondusif, demokratis, serta dewasa dalam berpolitik. Salah satu wujud yang relevan dari hal tersebut ialah Pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Berdasarkan sumber buku; “Wajah Jakarta Setengah Bopeng (dalam Ahmad Baehaqi, 2010),[2] pada saat Pilkada 2007 lalu, terdapat 5.746.601 pemilih yang terdaftar, terdapat 1.987.539 (sebesar 34,59%) pemilih tidak menggunakan hak suaranya. Jika dibandingkan dengan perolehan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto, maka hanya berbeda tipis 36% (57% dari suara sah) jika dihitung dari jumlah total pemilih (bukan hanya dari suara sah yang dihitung KPUD). Dari fenomena golput yang begitu besar menjadi ‘warning’ bagi pemerintah dan KPUD untuk lebih mendapatkan perhatian. Karena dari data tersebut kita mengetahui bahwa masyarakat DKI Jakarta yang notabene masyarakatnya sadar politik dan lebih dinamis. Dengan demikian, hal ini perlu diantisipasi dan melakukan upaya preventif terutama dari pihak KPU Provinsi DKI Jakarta sebagai pihak penyelenggara agar masalah golput tersebut dapat diminimalisasi sehingga hal tersebut tidak terulang kembali pada Pilkada periode selanjutnya
Pembahasan mengenai KPU sebagai lembaga otonomi atau independen sesuai terdapat dalam Pasal 22E ayat 5 yang berbunyi sebagai berikut; ‘Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.’ Oleh karena itu, dalam hal ini penulis akan mencoba merefleksikan konsepsi KPU dalam  konteks mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan demokratis. Terutama dengan melihat titik unggul konsepsi KPU untuk diformulasikan dengan membaca problematika pemilihan umum dalam hal ini tak terkecuali mengenai pemilihan kepala daerah, sehingga pada akhirnya mampu melahirkan sebuah pemilihan umum yang jujur dan demokratis
Berbicara mengenai titik unggul konsepsi KPU berarti menghadapkan pada sebuah pertanyaan tentang relevansi dan signifikansi KPU tersebut. Pada titik mana dari konsepsi KPU tersebut yang masih tetap relevan dan memiliki signifikansi dalam menjawab problematika pemilu saat ini. Untuk menjawabnya, perlu memetakan terlebih dahulu konsepsi KPU tersebut sehingga dapat teridentifikasi titik unggul dari konsepsi pemilihan umum yang jujur dan demokratis setidaknya menekankan kepada tiga aspek penting yang menurut penulis memiliki relevansi dalam menjawab problematika pemilihan umum saat ini. Ketiga hal tersebut meliputi; a) Status Quo KPU sebagaimana terdapat dalam Pasal 22E ayat 5, b) Peran mahasiswa dan Ormas sebagai pengontrol jalannya pemilu, dan c) Fungsi partai politik sebagai meaningfull life of people. Keseluruhan titik unggul konsepsi KPU tersebut merupakan pengejawantahan dari refleksi pemilu sebagai penopang maju mundurnya sebuah demokrasi suatu bangsa.
a.      Status Quo KPU Sesuai Terdapat dalam Pasal 22E Ayat 5
Menurut kamus ilmiah populer, Status Quo memiliki arti keadaan tetap pada saat tertentu. Maksudnya adalah untuk mempertegas kembali peran dan fungsi KPU bahwa secara de facto, hal tersebut sudah tersirat dan tersurat di dalam Pasal 22E ayat 5 yang berbunyi ‘Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri’ dan secara de jure perlu ada suatu penguatan kembali (reinforcement) dari semua pihak lembaga negara yang terdapat di Indonesia bahwa KPU merupakan suatu lembaga otonomi atau independen terutama dalam  aspek pelaksanaan pemilihan umum tak terkecuali pemilihan kepala daerah di dalamnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pilkada mengenai tata penyelenggara pilkada langsung. Tugas KPUD sebagai pelaksana teknis mengenai jalannya pilkada dan harus kembali pula pertanggungjawaban tugas tersebut kepada KPU sebagai pusat pelaksanaan pemilu.

b.      Peran Mahasiswa dan Ormas Sebagai Pengontrol Jalannya Pemilu
Dalam pelaksanaan pemilu tidak terlepas dari sebuah pengawasan yang ketat dari segenap elemen bangsa. Untuk menciptakan suatu pemilu yang demokratis perlu adanya pengawasan yang lepas dari pengaruh intervensi pemerintah dan partai politik. Diantaranya yaitu mahasiswa dan organisasi masyarakat (ormas). Peran mahasiswa sebagai ‘agent of change’ yang membawa segala aspek perubahan yang signifikansi bagi kehidupan bangsa dan negara, terlepas dari hal itu pula fungsi mahasiswa tersebut harus terintegrasi dalam sebuah idealisme yang mampu membawa sebuah kehidupan bangsa dan negara ini menjadi lebih baik terutama dalam menjaga stabilitas suatu kondisi pemilihan umum yang jujur dan demokratis. Selain itu, terdapat organisasi masyarakat seperti LSM, Akademisi, masyarakat dan lain-lain concern sebagaimana halnya peran mahasiswa dalam mengontrol setiap kondisi bangsa dan negara menjadi lebih baik serta berkeadilan.

c.       Partai Politik Sebagai Meaningfull Life of People
Peran dan fungsi partai politik tidak pernah terlepas dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara das sollen, peran dan fungsi partai politik harus menciptakan sebuah keteladanan dalam segala aspek kehidupan bangsa dan bernegara. Memberikan pendidikan politik yang berarti terhadap seluruh elemen bangsa dalam hal ini yakni masyarakat. Namun, secara das sein peran dan fungsi partai politik tersebut hanya melakukan sebuah pencitraan bagi kepentingan partainya dan golongan tertentu tanpa memandang dari segi untuk kepentingan bangsa dan negara. Sebagai contoh kasus buruknya parpol di Indonesia akibat setelah menapaki kekuasaan. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Andi Nurpati sebagai anggota KPU dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Setelah ditelusuri ada satu oknum tertentu dari pihak anggota KPU dalam pemilihan presiden yang memberikan kemulusan agar partai tersebut bisa menang dan setelah di putus jabatan secara tidak terhormat ada suatu imunity of  law bagi oknum tertentu agar tidak diproses hukum secara lebih mendalam. Dengan demikian dari suatu problematika yang pernah terjadi diharapkan ada suatu hal kepastian hukum di Indonesia sehingga orang yang bersalah harus dihukum sesuai prosedur. Selain itu, partai politik merupakan suatu organisasi yang seharusnya membawa suatu sikap yang patut untuk dihormati dan dihargai. Di samping itu, partai politik yang merupakan ibarat sebuah kendaraan bagi suatu calon menuju suatu puncak kekuasaan namun harus ditekan semaksimal mungkin agar peran dan fungsi partai politik tidak menjadi sia-sia. Karena partai politik merupakan tools dalam demokrasi dan penuh adanya kesadaran bagi segenap elit politik agar partai politik menjadi meaningfull life of people.
Dengan demikian, berharap dari tiga konsepsi unggul tersebut berharap bisa menambah masukan bagi pemerintah daerah setempat khsusnya KPU agar terselenggaranya pemilihan yang jujur dan demokratis.







[1] Ahmad Baehaqi, Wajah Jakarta yang Setengah Bopeng, (Jakarta: Schola Media LPM Didaktika UNJ, 2010), hal. 93.
[2] Ibid,. hal. 97-98.

0 Komentar