Di abad millenium ini, kesejahteraan masih jauh dari apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Contohnya saja di kota-kota besar, masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam himpitan ekonomi. Mengais-ngais rezeky ditempat sampa, tidur beralaskan kadus dan belajar ditemani angin malam. Semua itu adalah pemandangan yang menjadi pernik-pernik kota Jakarta, bahkan ada juga karena tekanan ekonomi yang sekarang bernafas persainggan membuat mereka menghalalkan segala cara.
Hati kita mungkin akan tersentak hebat manakala kita sering melihat pemandangan itu apalagi bila kita melakukan hal yang sekiranya adalah mimpi dan cita-cita mereka, seperti makan 3 kali sehari, tidur dikasur yang empuk, sekolah demi menatap masa depan. Sungguh miris memang, apa lagi bila kita bandingkan pertumbuhan ekonomi anatara kehidupan di kota besar dan desa, pertumbuhan tersebut bisa di bilang sangat asimetris/ tidak merata. Tidak heran bila urbanisasi besar-besaran dan tingkat kiminal di kota kerap terjadi, penulis kira hal tersebut dikarenakan lapangan pekarjaan di Indonesia masih sangat minim ditambah lagi masyarakat pada umumnya tidak memiliki alat produksi dan keahlian yang khusus sebagai bekal kelangsungan hidupnya.
Indonesia adalah Negara yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani, akan tetapi yang menjadi masalah adalah mengikisnya luas tanah. Bila tanah sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup para petani semakin tergusur oleh industri dan proyek-proyek yang sebenarnya hanya menguntungkan sebagian orang saja ( seperti pembuatan lapangan golf ) sangat wajar bila tingkat kemiskinan dan juga kesejahteraan masih jauh dari apa yang kita harapkan.
Menurut Teori Marx pada dasarnya manusia adalah makluk yang produktif, makanan dan barang bisa mereka buat sendiri dari alam. Seandainya setiap orang memiliki tanah dan tanah para petani tidak digusur untuk kepentingan-kepentingan industry asing atau hanya untuk dijadikan tempat hura-hura seperti lapangan glof. Maka tiap orang/ petani akan sejahtera karena mereka bisa mengelolah tanahnya sesuai kebutuhannya seperti yang dikemukakan Teori Marx tentang sifat mendasar manusia. tidak seperti sekarang meski Indonesia terkenal negara agraris/ pertaniaan tidak semua penduduk Indonesia bisa menikmati nasi 3x sehari, buah-buahan yang segar dan sayur-sayuran yang menyehatkan badan. Karena tanah petani sudah banyak digusur dan dibeli oleh perusahaan –perusahaan asing, mengakibatkan berkurangnya produktifitas petani di Indonesia.
Dalam hal ini ada kesamaan dengan pemikiran Marx yang membagi kelas sosial antara proletar dan borjuis, dimana kelas proletar yaitu petani dan kelas borjuis adalah pemerintah dan kolonial. Kelas petani hanya memiliki tanah dan tenaga sedangkan kolonial dan pemerintah memiliki seragam peraturan, kekuasaan dan beserta pamong praja yang siap dikerahkan. Karena koloni dan pemerintah memiliki perangkat yang kuat seperti yang tertulis diatas maka mereka menjadi diktator. Mulai dari kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan seperti UU Nomor 5 tahun 1967, yang mengakibatkan dalam waktu singkat tidak kurang dari 69 juta hektar di 19 propinsi Indonesia dikuasai oleh 657 pemegang Hak Penguasaan Hutan. Tidak heran banyak perlawaan-perlawaan yang dilakukan persatuan tani, tokoh masyarakat seperti ulama dan pemimpin informal hadir sebagai ujung tombak dari perlawanan. Para tokoh ulama dan masyarakat disini berperan sebagai agen perubahan untuk melakukan kesadaran kelas, seprti Haji Tubagus Ismail, Haji Iskak dan Haji Wasid adalah salah satu contoh tokoh-tokoh lokal.

Akibat Pengikisan tanah

- Menghimpit kehidupan ekonomi masyarakat khususnya petani
- Kecemburuan sosial, antara desa kota.
- Berkurangnya produktifitas petani di indonesia yang mengakibatkan kekurangan pangan
- Hal tersebut adalah hujud dari eksploitasi yang membuat ekonomi masyarakat semakin melarat dan terfragmentasinya tanah rakyat yang notabennya petani dan buruh tani.

Sumber
o Rizer.G dan Goodman. DJ, Teori Sosiologi Modern, edisi keenam, Kencana 2004
o Kompas, Sep 24 2000 - 19:44:00 EDT

0 Komentar