Oleh: Yopi Sanjaya




Tahu apa yang lebih sakit dari sebuah perpisahan? Ketika suatu hubungan berakhir bahkan sebelum keduanya memulai. Pada malam di langit pekat itu, realita menamparku sangat keras, sangat keras hingga cukup membuatku tersadar dari penantian bertahun-tahun yang tak pernah ada akhirnya. Dengan segala tekad dan pergulatan batin yang terjadi, aku putuskan agar berhenti mengharapkan Fariz lagi. Aku sudah kehabisan cara untuk menunjukkan padanya bahwa cintaku yang lebih besar dari cintaku kepada diriku sendiri. Namun, Fariz tidak akan pernah tahu, karena baginya aku hanya sebatas sahabat perempuannya yang selalu siap mendengarkan keluh kesahnya.

Malam itu aku berbalik, menerjang hujan sendirian tanpa ada tangan teduh yang akan menggenggamku. Tanpa pelukan yang akan menghangatkanku. Dia pun tidak akan pernah datang lagi, lalu berapa lamapun aku menunggunya. Aku kehabisan cara untuk menjelaskan betapa aku telah jatuh terlalu dalam pada pesonanya. Rasanya baru kemarin ia datang ke rumahku dengan membawa segelas es kopi dan menemaniku terjaga semalaman karena harus mengerjakan tugas kuliahku.

Rasanya baru kemarin ia mengantarku pergi berbelanja dan tak pernah sekalipun ia mengeluh kelelahan. Selain itu, rasanya baru kemarin ia menangis di hadapanku sebab perempuan yang ia cintai harus pergi meninggalkannya. Namun kini perasaan itu harus didorong paksa keluar dari hati dan pikiranku. Bukan hanya sekali, berkali-kali Fariz datang padaku membawa bebannya. Kemudian pada akhirnya dia bagikan padaku sebab ku ulurkan bantuan setiap kali ia kembali. Namun, tidak pernah sekalipun ia sadari bahwa akulah yang paling mencintainya di antara wanita-wanita lain yang pernah hadir dalam hidupnya.

Kemarin, Fariz datang kembali setelah hampir tiga bulan menjauh dariku. Alasannya menjauhiku selalu sama, ialah karena dirinya sedang dekat dengan wanita lain. Ia meneleponku tepat setelah motornya terpakir di pekarangan rumahku. Memerintah agar aku keluar menemuinya. “Putus lagi?” tanyaku begitu berhadapan dengannya. “Iya. Baru tiga bulan loh, Ca.” Fariz mematikan mesin motornya lalu berjalan beriringan denganku untuk masuk ke halaman rumahku. 

Kami pun duduk di sana. “Aku sayang banget sama dia, Ca. Namun kayaknya cara aku mencintai dia salah, deh. Dia gak suka sama caraku memperlakukannya.” Setelah itu, Fariz membuka plastik kecil yang ia tenteng sedari tadi. Rupanya cemilan yang ia beli untukku. “Kenapa ya, Ca, hubungan aku tuh gak pernah berjalan lama. Paling lama cuma empat bulan doang. Susah banget sih nyari orang yang cinta sama aku sebesar aku ngasih cintaku buat mereka.”

Kita berbeda sudut pandang. Dari situ saja harusnya aku tahu bahwa Fariz tidak akan pernah paham sebesar apa perasaanku untuknya. Dan aku tidak pernah bisa membuatnya mengerti bagaimana aku melihat dirinya. Seandainya bisa sekali saja kita bertukar jiwa, mungkin dia akan tahu betapa tidak pernah sedetikpun terlintas dalam benakku untuk menggantikannya.

Ingin sekali aku meneriakan namaku sekeras mungkin di depan wajahnya. Memaksanya untuk mengerti bahwa hanya aku yang sebetulnya ia cari. Namun nyaliku tidak sebesar orang-orang yang mengikuti kegiatan jurit malam tersebut. Keberanianku seperti hilang tertiup angin setiap kali berhadapan dengan Fariz. Ia masih lanjut bercerita. Tentang bagaimana wanitanya pada akhirnya memilih mengakhiri hubungan mereka secara sepihak. 

Aku tidak tahu kenapa seorang Fariz harus menemui kisah cinta yang seperti ini. Apakah bagi wanita-wanita itu dia dianggap masih belum cukup? Dia yang selama ini aku banggakan itu ternyata tidak pernah mendapat kisah cinta semulus dalam film-film romantis yang pernah aku tonton.

Aku yang pada akhirnya tidak tahan melihat laki-laki yang amat ku sayangi itu terus menangis, dan kemudian membuka suara. “Pandangan dan pikiran kamu pergi terlalu jauh, Riz. Padahal ada beberapa hal yang bisa datang dari lingkungan terdekat kamu. Kamu selalu berani mencoba mencintai orang-orang yang belum lama kamu kenal dalam hidupmu. Kenapa gak coba untuk mencintai orang yang sudah hadir sejak lama di hidupmu?”

Aku yang baru saja menyebutkan kalimat-kalimat itu kini terkejut. Terkejut atas keberanian yang entah turun dari mana sehingga aku mampu mengucapkan rantaian kata itu dengan sangat lancar. Ekspresi sedih dari wajah Fariz kini berubah menjadi dilanda kebingungan. Ia pasti tidak habis pikir dengan perkataan yang baru saja aku lontarkan dari mulutku. 

“Maksud kamu, Ca?” “Aku. Ada aku yang selalu sayang sama kamu, Riz. Kalau kamu adalah aku, kamu gak akan heran dan bertanya-tanya kenapa aku bisa sesayang ini ke kamu.” Ingatlah bahwa penolakan tidak selalu diwakili oleh kata tidak. “Kamu kan sahabat aku, Ca. Aku gak mungkin lah simpan perasaan buat seseorang yang udah aku anggap sebagai keluargaku sendiri. Justru yang aku gak habis pikir adalah kenapa bisa kamu mencintai aku lebih dari sekadar cinta untuk seorang sahabat?”

Malam yang dingin itu membuat pertahananku akan mulai runtuh. Tembok pertahanan yang aku bangun selama ini, dengan mudah dihancurkan oleh laki-laki manis di depanku. Dengan penuh kecewa, ia memakai jaket merah kebanggannya. Dia bahkan segara mungkin beranjak untuk meninggalkanku dalam keadaan termenung pula.

 “Aku harap kamu pikirin ini baik-baik, Riz. Apa salahnya coba buka hati untuk sahabat kamu sendiri? Toh kamu tahu aku gak akan pernah nyakitin kamu.” Kemudian Fariz yang terbawa kesal dengan kejadian melontarkan perkataan yang menusuk hatiku secara dalam.

“Kamu pikir dengan kamu nyatain perasaan kamu ke aku gak bikin aku sakit hati, Ca? Kita ini sahabat, Ca. Gak mungkin bisa lebih. Aku harap sampai situ kamu paham.” Fariz bangkit dari duduknya dan dengan perlahan aku menyaksikan punggungnya menjauh. Batinku bergulat tentang siapa yang akan menang. Mengejarnya atau berbalik memunggunginya. Tapi pertahanan yang runtuh itu sudah dapat membuktikan siapa pemenangnya. Aku pun berbalik, dihiasi deras hujan yang entah bagaimana bisa turun bersamaan dengan air mata yang membasahi pipiku. Malam itu dunia menyadariku. Ada beberapa hal yang memang harus kau ungkapkan, namun ada pula beberapa hal yang lebih baik kita simpan dengan rapat. Sebab tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban.

 

0 Komentar