Stoicism Dalam Sosial Media
Stoicism Dalam Sosial Media
Oleh:
Raka Yuda Priyangga
Universitas Indonesia
Media sosial adalah ruang digital bagi seseorang untuk
melakukan interaksi sosial. Media sosial memperkenalkan platform untuk
berkomunikasi, networking, dan
membuat serta membagikan konten (Evasiuk, 2010). Di Indonesia sendiri, terdapat
160 juta pengguna media sosial (We are Social, 2020). YouTube, WhatsApp,
Facebook, dan Instagram menempati urutan teratas dalam penggunaannya di Indonesia.
Dengan pengguna sebesar itu, media
sosial tidak hanya digunakan sebagai sarana komunikasi saja. YouTube, misalnya,
digunakan banyak orang untuk membagikan konten edukasi dan hiburan. Hal
tersebut tentu akan membawa manfaat bagi penggunanya. Lebih jauh lagi, dalam
edukasi media sosial bisa mengembangkan pembelajaran aktif yang membuat siswa
menerapkan higher order thinking (Christine,
2019). Bahkan menurut data dari We are Social, enam puluh lima persen pengguna
memanfaatkan media sosial sebagai sarana bekerja.
Akan tetapi, tidak jarang media sosial justru membawa
dampak buruk bagi penggunanya terutama terhadap kesehatan mental. Dampak buruk
tersebut dapat berupa isolasi sosial, kecenderungan mengalami kecemasan,
depresi ataupun kesepian, pengalaman perundungan siber, hingga menurunnya
kepuasan dan kualitas hidup (Ozgur, 2016). Penelitian lain menyebutkan bahwa
waktu yang dihabiskan berlebihan meningkatkan risiko depresi (Jelenchik,
Eickhoff, & Moreno, 2013; Pantic et al., 2012). Terdapat korelasi antara
penggunaan media sosial dengan depresi (Palyan, 2019). Fear of Missing Out
(FOMO) juga merupakan fenomena sosial lain yang diperparah oleh kehadiran media
sosial. Hal ini muncul dari perasaan pengucilan sosial, isolasi, atau kecemasan
yang bisa begitu kuat sehingga orang akan meninggalkan apa yang mereka lakukan
untuk berselancar di media sosial (King Univeristy, 2019). FOMO juga
berhubungan dengan penggunaan media sosial yang lebih tinggi, distraksi dalam
mengemudi, dan menggunakan media sosial saat pembelajaran (Prsyblyski,
Murayama, DeHaan, & Gladwell, 2013).
Media sosial juga membuat seseorang merasa orang lain
memiliki hidup yang lebih baik.
Ketika seseorang mengunggah foto, video, atau kontennya ke media sosial, orang itu akan berekspektasi akan disukai dan
dikomentari oleh banyak orang. Namun, ketika hal itu tidak
terjadi maka akan memunculkan rasa kesal
dan insecurity. Hal tersebut membuat
emosi seseorang akan dikendalikan oleh
seberapa banyak like dan komentar di
media sosialnya. Hal lain yang bisa terjadi
adalah terjebak di ruang informasi yang salah. Hal ini karena algoritma media
sosial memberikan informasi berdasarkan apa yang kita klik atau sukai di media
sosial.
Hal-hal tersebut sudah memberikan alasan bagi kita untuk mengurangi penggunaan media sosial. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Social and Clinical Psychology menemukan bahwa mahasiswa sarjana yang membatasi waktu mereka di Facebook, Instagram, dan SnapChat hingga sepuluh menit setiap hari atau total tiga puluh menit penggunaan untuk semua media sosial umumnya memiliki citra diri yang lebih positif. Akan tetapi, bagaimana jika kita masih memerlukan media sosial? Baik untuk pekerjaan maupun hiburan. Apalagi, di masa pandemi COVID-19 ini media sosial merupakan salah satu cara mengurangi kebosanan dan berinteraksi dengan orang lain karena kegiatan tatap muka tidak bisa dilakukan. Filsafat Stoicism menghadirkan jawabannya.
Stoicism adalah ajaran filsafat muncul pada periode Hellenistic dan berkembang dari Yunani hingga Romawi. Stoicism diperkenalkan oleh Zeno, lalu semakin berkembang atas kehadiran Marcus Aurelius, Seneca, dan Epicticus. Menurut, Seneca inti terdasar aliran ini adalah bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang sepenuhnya menyesuaikan dirinya dengan hukum alam (Reza, 2007). Aliran ini mengajarkan bahwa ada hal yang tidak bisa dikendalikan manusia. Manusia hanya bisa mengendalikan apa yang bisa dikendalikan dan menerima apa yang tidak bisa dikendalikan tersebut. Hal tersebut selaras dengan perkataan Epictetus, “Some things are in our control and others not. Things in our control are opinion, pursuit, desire, aversion, and, in a word, whatever are our own actions. Things not in our control are body, property, reputation, command, and, in one word, whatever are not our own actions.” Jika dianalogikan maka akan menjadi sebagai berikut, ketika seseorang kehilangan dompetnya maka ia harus menerima bahwa dompetnya telah hilang dan melakukan apa yang bisa dia lakukan yaitu mencari dompetnya. Seorang stoic akan tetap bersikap tenang dan bahagia, walaupun keadaannya tidak menguntungkan (Reza, 2007). Stoicism mengajarkan kita untuk mengendalikan diri seutuhnya, terutama dalam mengendalikan emosi. Lalu bagaimana Stoicism bisa relevan dalam penggunaan media sosial saat ini?
Dua hal yang bisa kita terapkan dari stoicism dalam bermedia sosial adalah kontrol ekspektasi dan kontrol diri. Marcus Aurelius pernah berkata, “Begin each day by telling yourself: today i shall be meeting with interference, ingratitude, insolence, disloyalty, ill-will and selfishness— all of them due to the offenders' ignorance of what is good or evil.” Berdasarkan perkataannya itu, kita harus berekspektasi buruk/rendah terhadap sesuatu agar kita bisa lebih menerima keadaan. Hal ini bisa kita terapkan dalam menggunakan media sosial. Saat mengunggah apapun kita tidak boleh terlalu berekspektasi terhadap respons dari orang lain. Lebih sedikit ekspektasi akan lebih mudah kita menerima keadaan.
Media sosial melalui algoritmanya membuat siapapun yang mendapat engagement paling banyak adalah yang terbaik. Seakan-akan siapapun yang mendapatkan engagement lebih banyak dialah yang paling bahagia. Dengan kontrol ekspektasi kita tidak perlu merasa bersaing terhadap engagement ini. Jika media sosial kita hanya berisi momen-momen keseharian maka kita tidak perlu berekspektasi tinggi terhadap engagement. Dengan kontrol ekspektasi ini kita bisa lepas dari stress, kekhawatiran, dan insecurity. Kebahagiaan kita adalah hal yang kita kontrol bukan dari algoritma suatu mesin seperti media sosial. Akan tetapi, hal itu menjadi berbeda ketika kita menggunakan media sosial untuk bekerja. Seseorang mungkin saja akan dinilai oleh atasannya berdasarkan engagement. Kalau hal itu terjadi, maka kita harus menggunakan akal untuk bersaing mendapatkan engagement, bukan mengeluh terhadap keadaan. Penggunaan akal inilah yang juga salah satu inti ajaran stoicism.
Hal kedua yang harus dilakukan adalah
kontrol diri. Dalam keseharian di media sosial kita biasa menemukan orang yang
tidak setuju dengan kita atau sebaliknya. Itu hal wajar dalam kehidupan. Namun,
terkadang kita terjebak dalam perdebatan yang tidak perlu. Hal ini tentu akan
membuat kita kesal dan berujung pada stress. Untuk itu, kita harus menghindari
perdebatan seperti ini. Lebih tepatnya menghindari rasa kesal terhadap
ketidaksukaan atau ketidaksetujuan orang lain dan sebaliknya. Epictetus pernah
berkata, “Yang membuat susah perasaan seseorang bukanlah sesuatu itu sendiri
melainkan penilaian mereka tentang hal tersebut.” Sebelum membalas orang lain
dengan penuh amarah, kita harus bertanya, perlukah untuk marah? Haruskah kita
membalas orang itu? Pentingkah dia mengetahui ketidaksetujuan kita? Apa
konsekuensinya? Dengan begitu, kita bisa menghindari keluarnya emosi yang tidak
perlu dan kekhawatiran tidak bisa memenangkan percakapan. Hal inilah yang
dimaksud dalam slogan Epictetus: endure
and renounce.
Dengan mengurangi respons yang tidak perlu kita juga tidak
akan terjebak di dalam bubble kategori
informasi yang tidak disukai di media sosial. Saat ini media sosial menciptakan
bubble-bubble informasi yang membuat
kita berada di dalamnya berdasarkan apa yang kita lakukan di media sosial.
Contoh sederhananya adalah ketika kita rutin membuka akun produk-produk sepatu
maka media sosial akan merekomendasikan unggahan mengenai produk sepatu. Hal
tersebut akan membuat kita terjebak di ruang informasi yang tidak disukai
ketika rutin berdebat di ranah tersebut. Tentu hal ini akan membuat kita
tertekan. Maka dari itu, lebih bijak atau penuh bertimbangan dalam merespons
adalah kunci untuk tenang di media sosial.
Kesimpulannya, media sosial memang memberikan dampak buruk pada penggunanya baik disadari maupun tidak. Hal terbaik untuk mengurangi dampak buruk tersebut adalah dengan mengurangi intensitas penggunaannya dan melakukan kontrol diri yang baik. Akan tetapi, hal tersebut tentu tidak mudah untuk dilakukan, apalagi di situasi seperti saat ini. Stoicism mengajarkan kita untuk lebih menerima hal yang tidak bisa kita kendalikan dan mengendalikan apa yang bisa kendalikan untuk mengurangi efek buruk penggunaan media sosial. Tidak berekspektasi tinggi dan bertindak bijak atau penuh pertimbangan di media sosial adalah langkah terbaik. Melalui kedua hal tersebut kita bisa terhindar dari stress, rasa tertekan, kekhawatiran, dan bahkan insecurity. Media sosial adalah sarana kita untuk berinteraksi. Kitalah yang mengendalikan kebahagiaan di dalamnya, bukan sebaliknya.
Daftar Pustaka
Colter, R. S. (2017, November 28). Stoisisme: filsafat Romawi penawar depresi.
The Conversation. Retrieved Januari 16,
2021, from
https://theconversation.com/stoisisme-filsafat-romawi-penawar-depresi-87 687
Epictetus.
(n.d.). The Enchiridion. http://classics.mit.edu/Epictetus/epicench.html
Fadli, d. R. (2020, Juni 18). Pengaruh
Media Sosial pada Kesehatan Mental
Remaja. Halo Doc. Retrieved Januari 16, 2020, from https://www.halodoc.com/artikel/pengaruh-media-sosial-pada-kesehatan-
mental-remaja
Greenshow,
C., Galvin, S. M., & Willet, K. B. S. (2019, Oktober 02). What Should Be
the Role of Social Media in Education? Policy
Insights from the Behavioral and
Brain Sciences, 6(2), 178-185. 10.177/2372732219865290
King
University. (2019, September 4). Scared
to Stay In: The Psychology of FOMO. King University Online. Retrieved
Januari 16, 2021, from https://online.king.edu/news/psychology-of-fomo/l
Palyan, V. (2019, Agustus 7). The Impact of Social Media on Mental Health.
Spotlight on Mental Health Research. 10.35831/sormhr/260719vp RACHMATAN, R., & RAYYAN. (2020, November 02). Harga Diri dan Perundungan Siber pada Remaja. INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 5(2), 120-126.
Robertson, D. J. (2020, Juli 5). How to be Stoic on Social Media - Applying Stoicism to Online Debates. Medium. Retrieved Januari 16, 2020, from https://medium.com/stoicism-philosophy-as-a-way-of-life/how-to-be-stoic-on-social-media-7e5450c8984
S, S. A. (2020, Juni 17). Media Sosial, Tak Sekadar Jaringan Pertemanan.
Kompas. Retrieved Januari 16, 2020, from
https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/06/17/media-sosial-tak-sekadar-jar
ingan-pertemanan/
Wattimena, R. A.A. (2007, Februari 23). ANTARA KEUTAMAAN DAN KEPANTASAN ADAM SMITH DAN FILSAFAT STOA. Melintas, 23(2), 213-237. https://doi.org/10.26593/mel.v23i2.980.213-237
1 Komentar
BalasHapusmain poker dengan banyak penghasilan
ayo segera hubungi kami
WA : +855969190856