Langit Berpuisi dan Perempuan Ilusi

karya : Aulia Trisia

 

sumber gambar: https://pin.it/7Mr4q3Z

 

Masih tentang sepi.

Masih tentang sendiri,

dan yang pasti ia selalu berpuisi.

 

Malam itu, tepatnya sesudah magrib langit sedang berpuisi.

 

Puisi itu menceritakan betapa geramnya dia terhadap bumi, terutama penghuninya. Maka bisa di bayangkan betapa dahsyatnya langit berpuisi. Begitu mengerikan, tak ada kesan indah sedikitpun.

 

Dari sisi cahaya dia memancarkan tanduk iblisnya. Dari sisi lantunan bunyi dia melengkingkan suaranya dengan geram. Namun, suram untuk perempuan dalam genggaman puisi itu. Ia berguling-guling kian-kemari, menarik selimut ataupun seprai untuk menutupi mata, dan menutup kedua kupingnya dengan berbagai benda---bahkan bantalnya pun tak dapat membantu.

 

Maka bisa dipastikan perempuan itu ketakutan dan tidak dapat berkutik saat langit berpuisi. Ketika langit berhenti sejenak untuk mengambil jeda, perempuan itu langsung bernafas lega lalu meneteskan air mata. Bahkan air mata belum sepenuhnya menetes, langit pun mulai melanjutkan lagi berpuisi.

 

Betapa geram, membuat semuanya menjadi suram.

Rasakan! Nikmati saja hasil dari apa yang kalian buat.

Kali ini aku bukan sedang berpuisi,

tapi sedang aksi, untuk demokrasi negeri ini.

 

Kalian bilang mereka tertawa karena tahta.

Kalian bilang mereka tersenyum manis, namun membuat insan meringis.

Banyak yang bilang semua yang kalian ucapkan hanya ungkapan diksi tanpa ada isi.

Saya sangat mengapresiasi hal ini, namun yang harus kalian ingat mereka semua tak ada bedanya dengan fiksi.

 

Ya. Kalian. Mahasiswa.

Semuanya bilang bahwa aksi kalian berpohon tapi tak berbuah.

Percuma kalian berbuih,

Sampai berjuta kali langit berpuisi tetap saja tak akan ada yang berubah.

 

Tertawa saja.

Nikmati saja.

Biarlah langit berpuisi.

Kalian memang tersakiti.

Itu lebih baik dari pada sekedar aksi yang tak memiliki isi.

Dan mereka pun hanya ingin menikmati,

saat mahasiswa saling menghabisi karena aksi yang tak kunjung berhenti.

 

Perempuan itu terus saja menangis dalam diam. Tubuhnya gemetar. Ia benci ketika langit sudah mulai berpuisi dan hujan mulai turun membanjiri. Dia tak dapat berbuat apa-apa. Yang tadinya sepi dan sendiri sekarang di tambah lagi langit berpuisi. Dan yang pasti ia harus membutuhkan diksi untuk berjalan melawan politisi.

 

"Cukup sudah. Kali ini aku benar-benar sudah membenci dari sebagian ketenangan yang kau berikan." Perempuan itu terus saja mengungkapkan kegeraman isi hatinya.

 

Namun sepertinya langit pun tak mau kalah dalam berasumsi.

 

"Apa salahnya, aku hanya menunjukkan siapa aku. Tapi kalian tetap saja melakukan hal yang tak pantas di lakukan."

 

Kemudian suara dahsyat dari langit menggelegar keseluruhan dunia. Dan sepertinya bumi berhenti seperkian detik lalu berdetak lagi begitu cepatnya.

 

"Cukup!"

 

Perempuan itu mulai tersakiti.

 

"Jangan buat aku semakin takut."

 

"Aku benci itu!"

 

Langit pun menyanggah. "Tidak! Dulu kau mengagumiku!"

 

"I-iitu dulu. Dan tidak sekarang. Aku benci semuanya entah dari bagian apa pun itu dari mu!"

 

Tubuh perempuan itu gemetar. Ia telungkup dalam selimut. Ia meringkuk di dalam sangkar.

 

Perlahan air matanya mengalir. Semakin deras. Begitu pun dengan langit. Ia mengguyur bumi dengan hujan yang begitu lebat tanpa ada gerimis.

 

"Kembalikan semua ketenangan dan keindahan yang dulu kau buat! Jangan berubah seperti ini! Atau hanya aku saja yang berubah? "

 

"Jawab aku. Jangan hanya mengeluarkan kilatan tajam dan menikam mu itu. Aku tak butuh itu. Yang ku butuh dirimu dengan kelembutan dan menenangkan."

 

Langit tak mau di salahkan. Dia benar. Baginya. Dia menganggap perempuan itu terlalu berlebihan dan selalu ber-prasangka. Yang tidak diketahui perempuan itu sebenarnya dirinya sendiri yang berubah menjadi gila seperti ini. Dan langit hanya bertindak sesuai tugasnya tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi.

 

Atau bisa saja perempuan itu yang tertutupi dari sebagian ketenangan yang di miliki hujan. Pokoknya yang pasti apa yang di lakukan sekarang oleh langit membuat perempuan itu tersakiti. Apalagi jika langit sudah berpuisi, membuat semua penghuni merasa terbebani.

 

Mau tidak mau perempuan itu harus menahan ketakutannya. Ia terus saja berlindung di dalam selimut. Ia meringkuk dan kemudian tertidur sampai akhirnya ayam pun berkokok.

 

***************

 

 

Perlahan tapi pasti perempuan itu membuka pintu kamar yang langsung tertuju pada balkon. Ia mengadah menatap langit lalu di pejamkan matanya. Seperti ini ketenangan yang diinginkannya. Dalam sendiri walaupun sepi yang pasti ia tidak ingin langit berpuisi.

 

Alasannya ketika langit berpuisi dia tak bisa bersimpuh pada siapa pun. Karena dirinya sudah sepi dan sendiri. Ia tidak ingin menambah tersakiti karena geramnya langit yang sedang berpuisi. Baginya cukup sudah ia terbebani dengan kesendirian dan kesepiannya.

 

Gadis itu selalu berpikir mengapa dirinya yang menjadi terbebani karena langit sedang berpuisi. Ke mana para politisi yang membuat langit berpuisi seperti ini. Mengapa hanya perempuan itu yang merasakan betapa marahnya dan kecewanya bumi akan aksi ataupun demonstrasi akibat tindakan para politisi yang menyebabkan warga terbebani karena janji-janji tanpa realisasi.

 

"Aku diam saja langit sudah berpuisi. Bagaimana aku ikut aksi. Akan jadi seperti apa bumi ini?" Gadis itu bertanya dalam sepi.

 

"Seperti menggenggam sepi. Aksi-aksi yang sudah kalian lakukan itu hanya di biarkan seperti angin. Sadarkah kalian akan itu?"

 

Ia menghela nafas. Gadis itu mengadahkan kembali kepalanya. Sekejap saja kilatan itu kembali. Lalu tak lama langit berpuisi lagi. Sontak saja ia menunduk lalu kembali masuk ke kamar, kemudian telungkup lagi dan lagi.

 

Perempuan itu kembali menangis. Ia meratapi dalam sepi dan sendiri. Timbul di benaknya. Apakah ia harus aksi atau berpuisi? Agar langit menjadi tersaingi dan gadis itu harus menjadi tak tertandingi.

 

Dengan dada yang berdebar-debar perempuan itu bangun dari posisi telungkupnya. Ia membuka mata dan duduk dengan tegap.

 

"Saya tak boleh di bodohi. Saya tak boleh hanya tinggal diam saja. Saya harus ikut aksi. Agar keadilan dan kesejahteraan tidak hanya menjadi janji semata."

 

Seulas senyum dengan tekad terpancar di raut wajah perempuan itu. Ia harus berubah. Tidak boleh seperti itu. Tidak boleh diam tanpa kata padahal kesalahan merajalela.

 

Ketika ia ingin berkata lagi, langit sudah dulu berpuisi.

 

Kali ini di awali dengan puisi cinta lalu kemudian puisi murka.

 

Secara bersamaan langit mengeluarkan kilatan cahaya, menggelegarkan suara, lalu beraksara.

 

Itu semua dilakukan dengan tajam dan menikam. Membuat gadis itu tersadar dari keterpakuannya.

 

Ya. Gadis itu tersadar dari ilusi yang terbebani selama ini. Yang ternyata itu hanya ilusi tentang langit berpuisi.

 

Karena yang pasti, aksi sedang berlangsung dan tak kunjung berhenti untuk menagih janji -janji fiksi yang di buat oleh politisi di dalam negeri ini.

 

Sebut saja perempuan itu ratu ilusi.

Yang merasa sepi,

lalu menyendiri

ketika langit sedang berpuisi.

Ia tersakiti.

 

 

***************************

 

1 Komentar

  1. menangkan uang sebanyak-banyaknya hanya di AJOQQ :D
    AJOQQ menyediakan 9 permainan seru :)
    WA;+855969190856

    BalasHapus