Saya Dari Lampung, Tapi..
Saya Dari Lampung, Tapi..
Oleh:
Delisa Pramita
Sumber
gambar: tirto.id
Bapak
lahir di Lampung
Ibu
lahir di Lampung
Saya
pun lahir di Lampung
Kecil
sampai besar tinggal di Lampung.
“tapi
ko medok?” Tanya hampir setiap orang yang baru saya temui.
‘Seharusnya’
sudah dua setengah tahun saya menjadi anak rantau. Tapi ternyata bumi tidak
bisa menuntun saya untuk menulis perjalanan seperti itu. Pelit sekali ya? Saya
masih ingat saat baru tiba di Jakarta, Stasiun Gambir. Subuh-subuh sekali dan
saya masih harus memesan ojol menuju alamat kos di Pemuda Tiga. Dalam
perjalanan, abang ojol yang pertama melempar basa-basinya padaku.
“Dari
mana neng?” tanyanya.
“Lampung
pakde.”
“Ohh..
loh Lampung kok medok kayak Jawa ya?”
Awalnya
seru menjawab pertanyaan seperti itu. Dari abang ojol, ibu kos, tetangga kos, tetangga
kos lainnya, lainnya lagi, penjual nasi uduk di gang sempit, pemilik warteg,
warteg yang lainnya lagi, penjaga halte busway, teman se-prodi, teman
organisasi, hingga ntah siapa lagi sampai saya merasa bahwa ini tidak lagi
menyenangkan untuk dijawab.
Tak
puas dengan itu, beberapa kata yang sering saya gunakan selama hidup di Lampung
tidak dimengerti oleh manusia Jakarta. Misalnya yang paling sering terjadi
ketika saya ingin memberikan kembalian uang teman saya, saya bilang “ini
susuknya”. Respon teman saya selalu “Hah? Susuk?!” seketika aura disekitar
berubah seperti di film-film horor. Ini menyenangkan, saya menikmati setiap
ekspresi yang terukir di wajah teman-teman saya. Selain wajah yang kebingungan,
mereka juga tampak tertarik dengan bahasa yang sering keluar dari mulut saya
seperti basing/baseng, geh, mengkol, ngeh/engeh,
kamu orang/dia orang, dsb.
Begitu
juga saya, saya suka penasaran ketika ‘dia orang’ mengobrol dengan bahasa
sunda. Sesekali saya bertanya apa artinya. Sesekali saya juga mencoba untuk
menirukan intonasinya. Saat-saat seperti inilah saya merasa ‘waah.. kita semua
terselamatkan oleh bahasa Indonesia’. Palingan kalau saya bingung mengartikan
ke bahasa Indonesia, saya mencari sinonimnya atau kalau benar-benar tidak tahu
bahasa indonesianya yasudah pasrah saja, pokoknya artinya gitu. Begitu juga ‘dia
orang’.
Hal
lainnya yang membuat saya heran dengan pertanyaan ‘dia orang’ adalah perihal
gajah. Seseorang pernah bertanya, “di Lampung banyak gajah ya?”. Sejujurnya
saya tidak begitu mengerti maksud sebenarnya dari pertanyaan itu. Apakah bertanya
mengenai jumlah atau lebih kepada seberapa banyak jumlahnya hingga orang-orangnya
sering berpapasan dengan gajah. Saya tidak bisa menebak kira-kira jawaban apa
yang ingin didengar oleh 'dia orang'. Maksud saya, saya hanya bisa memberikan
perkiraan jumlah gajah di Lampung dari sumber internet dan memang seharusnya
gajah ada di kebun binatang, penangkaran atau Taman Nasional Way Kambas yang
ada di Lampung. Akan berbahaya kalau ada gajah yang bebas berkeliling kampung
atau kota kan? Tapi iseng saja saya jawab “iya, kita kalau pergi-pergi masih
naik gajah, jarang kendaraan mesin”. Mendengar jawaban seperti itu ada yang
tertawa tahu bahwa saya bercanda, ada yang justru diam seperti ingin mencoba
percaya bahwa itu benar karena hanya membayangkannya saja terasa benar-benar
unik dan menyenangkan.
Apalagi
kalau ditanya budaya Lampung. Sebenarnya ini sedikit sulit bagi saya, karna
tidak begitu detail yang saya ketahui tentang budaya Lampung. Karena seperti
suku lainnya, Lampung pun memiliki beberapa suku, namun yang paling dikenal
yakni suku Lampung Pesisir dan Lampung Pepadun. Keduanya masih sama sama
lampung tetapi memiliki perbedaan yang cukup mencolok yakni dari dialeknya (dialek
A & O) maupun tata cara adat istiadatnya. Sedangkan saya karena tinggal
di daerah penduduk suku jawa, perayaan apapun tentu menggunakan adat jawa, walau
nggak jawa yang kentel banget sih.
Makanya kalau bertemu orang dari jawa dan ngobrol, sering ditanya “jawa mana?”,
saya pun tidak tahu. Atau ketika bertemu sesama lampung di perantauan akan
ditanya “lampung mana?”, kemudian saya akan menjawab “sebenarnya saya jawa”. Ya
begitulah kami sebagai anak cucu bahkan cicit atau bahkan dibawah keturunan
lagi dari seorang transmigran jaman Belanda tahun 1905. Dibilang jawa, tidak
tahu jawa mana. Dibilang lampung juga bukan orang lampung asli. Wong cawa lampung pun nyak mak pandai
(wong ngomong lampung pun saya nggak bisa).
0 Komentar